Mendekati tahun politik, semua hal seolah-olah terkesan dikait-kaitkan ke arah sana, termasuk ketika berbicara soal kehutanan. Penguasaan hutan yang dominan oleh korporasi di rezim pemerintahan lalu dibanding-bandingkan rezim saat ini yang diklaim berpihak kepada masyarakat. Satu keuntungan bagi publik, data yang selama ini tersembunyi di rak-rak lemari Manggala Wanabhakti dibuka untuk umum.
Sempat ramai, ketika akhir Maret 2018, tokoh politik Partai Amanat Nasional, Amien Rais, menyebut penguasaan lahan 74 persen oleh asing di Indonesia. Pernyataan ini berbuntut hingga kini. Organisasi lingkungan Greenomics pun mengeluarkan data bahwa Zulkifli Hasan, politisi PAN yang kini menduduki ketua MPR, merupakan Menteri Kehutanan yang paling produktif mengeluarkan izin-izin pelepasan kawasan hutan.
Di masa itu, catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri Kehutanan tercatat mengeluarkan izin pelepasan kawasan hutan seluas 2,4 juta hektar atau setara 36 kali lipat luas DKI Jakarta. Sejumlah 90 persen izin pelepasan ini untuk ekspansi lahan hak guna usaha perkebunan sawit di sejumlah daerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bola pun terus bergulir, Menteri LHK Siti Nurbaya dalam Forum Merdeka Barat 9 di Jakarta, 3 April 2018, juga membeberkan seri data perizinan-perizinan yang diterbitkan Kementerian Kehutanan dari tahun ke tahun. Data vulgar— karena langsung ditulis nama kabinet penguasa saat izin dikeluarkan—itu pun ditulis dalam situs pribadi Siti Nurbaya Bakar di www.sitinurbaya.com.
Tercatat selama tujuh periode kabinet pemerintah, izin yang dikeluarkan 42.253.234 ha. Sebanyak 95,76 persen kawasan ini dikuasai swasta (perusahaan), hanya sekitar 4,14 persen yang dikelola masyarakat, dan 0,1 persen untuk pembangunan kepentingan umum.
Bahkan, soal izin-izin pelepasan maupun pinjam pakai bagi korporasi ditandatanganinya seluas 138.555 ha, Siti Nurbaya menyatakan pihaknya tinggal melanjutkan karena korporasi tersebut telah mengantongi izin prinsip dari menteri sebelumnya. ”Itu pun persetujuan prinsipnya sudah ada sebelum tahun 2015 (sebelum Kabinet Kerja),” kata Siti dalam siaran pers maupun situs pribadinya.
Reforma agraria
Ketika masuk pada rezim Presiden Joko Widodo, seperti janji dalam Nawacita, kebijakan saat ini mengarah pada pemberian kawasan hutan bagi akses 12,7 juta ha perhutanan sosial dan aset 4,1 juta ha pada kawasan hutan untuk distribusi tanah obyek reforma agraria. Dari sisi penguasaan kelola hutan, langkah ini diperlukan agar ketimpangan yang terjadi di masa lalu bisa teratasi.
Ketika Jokowi berkuasa, pengelolaan dan pemberian pelepasan kawasan hutan oleh korporasi mencapai 95,76 persen. Ruang kelola masyarakat sangat kecil. Di lapangan, konflik agraria dengan pemegang izin pun terjadi di berbagai tempat. Tahun 2017 saja Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat terjadi 30 konflik di sektor kehutanan.
Ketimpangan pengelolaan dari sisi akses, yaitu perhutanan sosial atau izin pengelolaan hutan oleh masyarakat di awal 2015 hanya mencapai 2 persen. Pemerintah berupaya mendongkraknya menjadi 28-31 persen.
Pengelolaan hutan dalam bentuk penguasaan aset atau izin pelepasan kawasan hutan sebanyak 12 persen. Di akhir kabinet ini, persentase ini akan ditingkatkan menjadi 38-41 persen. Untuk mencapai hal ini, sejak 2017, Menteri LHK mencadangkan 4,853 juta ha untuk program tanah obyek reforma agraria (TORA) dan 13,462 juta ha untuk perhutanan sosial.
Meski program TORA ini diharapkan dapat mengoreksi ketimpangan, Greenpeace Indonesia menilai program ini belum menyentuh persoalan ketimpangan struktur agraria, pemberian kontrol serta hak atas tanah terhadap masyarakat luas.
”Capaian pemberian izin perhutanan sosial pada tahun 2018 masih lebih kecil dibandingkan dengan rencana pelepasan hutan dari area hutan produksi konversi untuk dua tahun ke depan,” kata Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia.
Berkaca dari data KLHK, Greenpeace pun menyebutkan pada tahun 2018 ini pemerintah juga akan melepaskan kawasan hutan produksi konversi seluas 1.630.421 ha dan 1.754.222 ha pada 2019, yang sebagian besar dialokasikan untuk perkebunan. Dari setiap perizinan ini ada kewajiban menyisihkan 20 persennya untuk TORA.
”Jika mencermati angka pelepasan lahan, TORA ini lebih mengutamakan kepentingan pembangunan perkebunan skala besar ketimbang keberpihakan terhadap petani gurem atau petani yang tak memiliki tanah dan masyarakat adat,” ujar Arie.
Terkait rencana pelepasan lahan hutan untuk perkebunan, Greenpeace lagi-lagi mengingatkan pemerintah akan deforestasi hutan yang masih memiliki tutupan bagus. Ini karena transparansi dan keterlibatan publik dalam pengawasan izin-izin kehutanan masih rendah, terutama dalam hal peta lokasi.
”Soal transparansi, pemerintah telah menunjukkan niat baik dengan memaparkan ke publik soal siapa yang menguasai hutan. Namun, hingga saat ini publik belum memiliki akses data kehutanan untuk menunjukkan batas area hutan dan nonhutan,” katanya.
Dari sisi perhutanan sosial hingga Maret ini hanya seluas 1.500.669 ha. Tumpuan termudah yang akan digunakan KLHK untuk menggenjot jumlah ini diarahkan pada hutan-hutan konservasi.
Di wilayah taman nasional ini, KLHK bisa menggunakan kewenangannya untuk menetapkan zona pemanfaatan tradisional bagi ruang kelola masyarakat melalui skema kemitraan konservasi seluas total 500.000 ha. Ini pun yang disebut-sebut bisa menjadi jembatan dalam menyongsong penetapan hutan adat di kawasan konservasi yang masih terkendala pengakuan pemda.
Untuk hutan adat yang masuk skema perhutanan sosial, baru 24.378,34 ha yang dibagi dalam 21 surat keputusan penetapan dan 2 surat pencadangan. Ini sangat jauh dibandingkan pemetaan hutan adat yang mencapai 10 juta ha oleh Badan Registrasi Wilayah Adat.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto optimistis sedikitnya 2 juta ha bisa tercapai pada tahun ini. Ini berasal dari 99.000 ha kawasan hutan bergambut yang telah disiapkan surat keputusannya serta disusul 623.000 ha lainnya yang sedang berproses di sejumlah daerah.
Langkah mengatasi ketimpangan ini tentu tak semudah membalik telapak tangan. Keberpihakan dan kehati-hatian diperlukan agar kebijakan itu tak malah menguntungkan penunggang gelap yang selalu mencari kesempatan, terutama pada tahun-tahun politik seperti ini. (ICHWAN SUSANTO)
Sumber: Kompas, 10 April 2018