Setiap suku di Indonesia memiliki pengetahuan yang beragam tentang langit. Mereka memanfaatkan pengetahuan tentang benda-benda langit itu untuk berbagai keperluan. Namun, sangat sedikit pengetahuan astronomi masyarakat itu yang terdokumentasikan sehingga terancam hilang.
Sejak ribuan tahun lalu, suku-suku di Nusantara memanfaatkan pengetahuan astronomi lokal untuk bercocok tanam, mencari ikan, menavigasi pelayaran antarpulau, membuat kalender, hingga penentuan nasib baik. Mereka memiliki nama hingga cerita dibalik setiap nama bintang yang disematkan, sama seperti penamaan benda-benda langit dalam astronomi modern yang bertumpu pada budaya Romawi, Yunani dan Arab.
MARTHA SUHERMAN–Galaksi Bimasakti muncul di atas perumahan penduduk di Bromo. Masyarakat di Jawa dan Indonesia menyebut galaksi Milkyway alias Jalur Susu ini dengan Bimasakti yang diambil dari cerita tokoh pewayangan Bima.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dosen Departemen Sejarah Universitas Indonesia Didik Pradjoko usai Seminar Astronomi Budaya di Jakarta, Sabtu (10/11/2018) mengatakan pengetahuan tentang bintang-bintang itulah yang membawa nenek moyang bangsa Indonesia jadi bangsa pelaut dan pedagang antarpulau, jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa barat di Nusantara.
Pengetahuan itu pula yang membawa mereka melanglang buana hingga Madagaskar di barat Samudera Hindia hingga Polinesia di selatan Samudera Pasifik. Namun seiring berkembangnya teknologi dan masuknya pengetahuan astronomi modern, pengetahuan astronomi masyarakat mulai terpinggirkan.
Dalam kajian sejarah, lanjut Didik, ada mata kuliah sejarah maritim. Umumnya, fokusnya masih tertuju pada jalur pelayaran, jenis perahu, kota pelabuhan, hingga perdagangan di masa lampau. Pengetahuan astronomi yang dijadikan pemandu gerak para pelaut itu belum banyak diteliti. “Astronomi maritim belum jadi kajian khusus,” tambahnya.
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG–Kapal pinisi dalam program “Pinisi Bagi Negeri”, tengah berlayar di perairan Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (12/4/2017). Kapal model seperti inilah yang membawa pelaut Bugis-Makassar mengarungi lautan luas sejak ribuan tahun lalu dengan menggunakan bintang sebagai alat navigasi.
Pendokumentasian terkendala
Sejumlah kalangan sebenarnya sudah mencoba mendokumentasikan pengetahuan itu dengan meneliti naskah kuno. Namun, itu tidak mudah karena bahasa dalam naskah kuno banyak yang berupa kiasan.
Pendokumentasian juga bisa dilakukan dengan mewawancarai masyarakat atau tokoh adat yang masih memiliki pengetahuan tentang bintang-bintang di langit dalam budaya mereka. Mereka yang jadi sumber informasi itu umumnya sudah sepuh dan banyak yang lebih dahulu meninggal sebelum pengetahuannya tuntas digali.
Kalaupun ada narasumber yang masih hidup, banyak diantara mereka yang tidak mampu menunjukkan posisi atau wujud dari nama-nama bintang yang disebut. “Pengetahuan tentang benda langit lebih banyak yang dihapal, sudah tidak dipraktikkan atau dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari,” tambah peneliti etnoastronomi di Planetarium dan Observatorium Jakarta dan Pembina Himpunan Astronomi Amatir Jakarta Widya Sawitar yang banyak meneliti astronomi jawa.
Namun, mendokumentasikan pengetahuan astronomi lokal saja, nyatanya tidak cukup. “Tantangan terbesarnya adalah mencari persinggungan antara pengetahuan astronomi lokal dengan astronomi modern,” kata Abdul Rahman Hamid, mahasiswa doktoral Ilmu Sejarah Universitas Indonesia dan dosen Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin Makassar yang meneliti astronomi mandar.
Kesulitan mencari padanan penamaan bintang versi suku-suku Indonesia dengan nama yang digunakan dalam astronomi modern itu bisa membuat keterputusan pengetahuan. Di satu sisi, lanjut Hamid, orang tua hanya memahami istilah astronomi versi mereka, sementara anak muda lebih memahami astronomi modern yang diajarkan di sekolah.
Selain itu, tantangan lain telaah budaya astronomi adalah luasnya pengetahuan astronomi lokal seiring banyaknya suku di Indonesia. “Meski bintang atau obyek langit yang diamati sama, perspektifnya berbeda antara masyarakat agraris dan masyarakat bahari,” tambah Trigangga, pensiunan peneliti di Museum Nasional Indonesia yang memiliki banyak pengetahuan tentang astronomi hindu.
KOMPAS/NAWA TUNGGAL (NAW)–Sebuah prasasti ada di petirtaan Candi Belahan, yang juga disebut sebagai Sumber Tetek di Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Rabu (2/3/2016). Ditafsirkan prasasti tersebut memuat sengkalan memet untuk mendokumentasikan peristiwa gerhana bulan pada 7 Oktober 1009 di Jawa, sekaligus mencantumkan adanya pengetahuan tentang gerhana matahari melalui relief sosok Batara Kala yang hendak menelan bulan, serta sosok Dewa Surya dan Dewi Candra. Prasasti ini menunjukkan masyarakat Jawa pada masa itu sudah memiliki pengetahuaan tentang benda-benda langit.
Kendala lain pengembangan astronomi budaya di Indonesia adalah terbatasnya sumber daya yang meneliti di tengah luasnya ilmu. Belum lagi, sejumlah peneliti dan dosen yang memiliki pengetahuan tentang budaya astronomi juga sudah pensiun dan belum memilki pengganti.
Potensi hilang
Potensi hilangnya pengetahuan astronomi lokal itu makin besar karena sudah sangat jarang masyarakat yang memanfaatkannya. Jika penggunaan pengetahuan astronomi lokal untuk kegiatan bahari tergantikan oleh teknologi, maka pemanfaatannya untuk pertanian terancam oleh perubahan iklim.
Kajian astronomi budaya juga menuntut telaah lintas disiplin ilmu, mulai dari sejarah, antropologi, arkeologi dan astronomi. Selama ini, masing-masing pihak berjalan sendiri-sendiri. Karena itu, koloaborasi dan koordinasi ilmuwan lintas bidang perlu didorong sehingga pengetahuan astronomi yang jadi warisan pemikiran nenek moyang bangsa Indonesia tidak keburu hilang.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 12 November 2018