Pengendalian terpadu penyakit tular melalui vektor belum berjalan. Pengendalian terpadu seharusnya tak hanya memadukan semua metode pencegahan penyakit, tetapi juga keterpaduan sektor kesehatan dan sektor nonkesehatan. Sebab, masalah sektor non-kesehatan memengaruhi keberhasilan pengendalian vektor.
Hal itu tampak dari kasus demam berdarah dengue (DBD) yang tak kunjung teratasi. “Pengendalian vektor tak hanya urusan Kementerian Kesehatan dan dinas kesehatan,” ucap Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Arif Sumantri pada temu media, Kamis (31/3), di Jakarta.
Pengendalian vektor jadi ranah utama Kemenkes dan dinas kesehatan, tetapi tak efektif jika sektor non-kesehatan tak berwawasan kesehatan karena birokrat sektor kesehatan tak berwenang mengurusi sektor lain. Contohnya, Kementerian Dalam Negeri berwenang mengurus otonomi daerah untuk mendorong kepala daerah aktif mengendalikan vektor. Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memastikan konstruksi infrastruktur tak jadi tempat berkembang biak vektor penyakit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Perusahaan Pengendalian Hama Indonesia Boyke Arie Pahlevi mencontohkan, Kota Medan adalah daerah endemik DBD. Itu karena drainase kurang baik sehingga menjadi sarang nyamuk. Perbaikan drainase adalah ranah Dinas Bina Marga Kota Medan.
Regulasi spesifik
Misriyah, Kepala Subdirektorat Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, mengatakan, pemerintah punya Peraturan Menkes No 374/2010 tentang Pengendalian Vektor. Kerja sama sektor kesehatan dan non-kesehatan bisa mengacu pada Peraturan Pemerintah No 66/2014 tentang Kesehatan Lingkungan.
Namun, Peraturan Menkes No 374/2010 hanya berlaku di internal sektor kesehatan. Sementara PP No 66/2014 belum spesifik soal pengendalian vektor terpadu. Apalagi, Pasal 1 Ayat 12 menyatakan, yang dimaksud menteri di PP itu ialah Menkes.
Regulasi spesifik pengendalian vektor terpadu penting agar kasus DBD di Indonesia tak terus berulang. Sejak kasus pertama di Surabaya, Jawa Timur, pada 1968, tak ada kabupaten/kota bebas DBD. Menurut Kemenkes, pada 2015, 511 kabupaten/kota berpotensi jadi tempat berkembang biak nyamuk vektor DBD, 90 persennya endemik DBD.
Untuk itu, menurut Boyke, pihaknya mengusulkan Peraturan Presiden tentang Pengendalian Vektor Terpadu. Pihaknya akan membahas hal itu bersama Kamar Dagang dan Industri Indonesia serta mengundang kementerian terkait. (JOG)
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 April 2016, di halaman 14 dengan judul “Pengendalian Terpadu Belum Berjalan”.