Kunci mencegah penyebaran virus Zika ialah mengendalikan nyamuk Aedes aegypti, sama seperti pada demam berdarah dengue. Namun, itu sulit dilakukan karena pengendalian nyamuk penular penyakit itu tak terintegrasi dengan sektor di luar kesehatan.
“Kontrol vektor terintegrasi belum berjalan,” ucap Guru Besar Bidang Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Saleha Sungkar dalam Diskusi Panel Virus Zika, Rabu (17/2), di Jakarta.
Pembicara lain dalam diskusi itu adalah Koordinator Regional Kantor Regional Asia Tenggara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tjandra Yoga Aditama, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio, dan dokter spesialis penyakit dalam pada Divisi Penyakit Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Leonard Nainggolan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Tjandra, merebaknya Zika di sejumlah negara jadi momentum mendorong warga mencegah perkembangbiakan vektor penyakit. “Ini momentum kontrol vektor. Toh, nyamuk Aedes harus dibasmi,” ucapnya.
Pentingnya membasmi nyamuk Aedes bagi Indonesia adalah untuk menekan kasus DBD. Selama Januari 2016, Kementerian Kesehatan mencatat 3.298 kasus DBD di Indonesia dengan jumlah kematian 50 kasus. Kejadian luar biasa DBD terjadi di 11 kabupaten/kota dengan 492 kasus dan 25 orang di antaranya meninggal. Sementara Zika belum menimbulkan kematian.
Menurut Amin, para ahli meyakini ada kaitan antara infeksi Zika dan kasus mikrosefalus pada bayi baru lahir serta sindrom saraf penyebab kelumpuhan sementara bernama Sindrom Guillain-Barré. Namun, hal itu belum cukup bukti ilmiah.
Sebenarnya, gejala infeksi Zika ringan dan bisa sembuh sendiri. Penularan ke manusia lewat nyamuk Aedes aegypti yang juga menularkan virus dengue. Jadi, pembenahan sistem pengendalian DBD sekaligus menekan potensi penularan Zika.
Kolaborasi
Terkait hal itu, kolaborasi sektor kesehatan dengan sektor lain jadi kunci pengendalian nyamuk penular Zika. Elemen kunci lain adalah advokasi dan edukasi, pembuatan kebijakan berbasis bukti, pendekatan terintegrasi, dan pembangunan kapasitas.
Namun, itu belum berjalan optimal. Selain sistem pembuangan sampah buruk, sosialisasi pencegahan DBD tak berkesinambungan, konstruksi infrastruktur tak dirancang mencegah perkembangbiakan nyamuk, dan taman belum memakai tanaman yang tak disukai nyamuk.
Secara terpisah, dokter spesialis penyakit dalam pada Divisi Tropik dan Infeksi FKUI/RSCM, Erni Juwita Nelwan, menjelaskan, pencegahan Zika dan DBD bisa dari hal sederhana di rumah. Misalnya, rutin menguras tempat penampungan air dan merapikan gudang. Gigitan nyamuk Aedes aegypti bisa dicegah dengan mengenakan baju bermotif terang.
Menurut Principal Architect Atelier Riri, Riri Novriansyah, DBD bisa dicegah lewat pendekatan desain rumah dan menanam tanaman beraroma tak disukai nyamuk, seperti lavender. “Nyamuk suka tempat lembap dan gelap. Jadi, perlu sirkulasi udara dan pencahayaan alami di rumah,” ujarnya. (JOG/C08)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Pengendalian Nyamuk Belum Terintegrasi”.