Pengembangan listrik dari tenaga panas bumi terganjal Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan persoalan kesepakatan harga jual. Dalam UU No 41/1999, ada larangan kegiatan produksi di kawasan yang dilindungi seperti cagar alam. Ketentuan UU dan kesepakatan harga menyebabkan potensi panas bumi belum dapat dimanfaatkan secara optimal.
Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Rony Gunawan mengatakan, meski kegiatan pengeboran panas bumi sudah tidak termasuk dalam kategori kegiatan pertambangan, hal itu tak berarti pengembangan panas bumi di Indonesia dapat berjalan bebas. Revisi UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi menyatakan bahwa panas bumi bukan termasuk kategori pertambangan.
”Kendati sudah ada perbaikan dalam UU tentang Panas Bumi, tetap saja pengembangan kami terbatas lantaran ada aturan yang melarang pemanfaatan kawasan hutan yang berstatus cagar alam. Itu diatur dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan,” kata Rony di Jakarta, Selasa (24/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rony juga membandingkan penetapan harga jual minyak Indonesia (ICP) oleh pemerintah yang dipatok lewat APBN. Tahun ini, misalnya, ICP ditetapkan 60 dollar AS per barrel. Dengan adanya penetapan harga jual listrik, hal itu akan membantu pengembang menghitung rencana investasi mereka.
Sekretaris Korporat PGE Tafif Azimudin menambahkan, pengembangan panas bumi di Kamojang, Jawa Barat, terhenti menyusul penetapan kawasan itu sebagai kawasan cagar alam. PGE mengembangkan panas bumi di Kamojang sejak 1983 dengan kapasitas terpasang 200 megawatt (MW).
”Di sekitar lokasi yang sudah kami kembangkan, masih ada potensi 100 MW lagi yang bisa dikembangkan. Namun, karena terbit UU No 41/1999, pengembangan potensi itu jadi terhenti,” kata Tafif.
Menurut anggota Dewan Energi Nasional Rinaldy Dalimi, salah satu solusi pengembangan panas bumi di kawasan lindung bisa berlanjut adalah merevisi UU No 41/1999. ”Pemerintah juga harus menetapkan harga jual listrik panas bumi kepada PLN dengan jelas agar tak ada lagi proses negosiasi antara pengembang dan PLN,” katanya. (APO)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Februari 2015, di halaman 18 dengan judul “Pengembangan Listrik Terganjal Aturan”.