Pembuatan kanal sekat di masa kritis dengan maksud mendistribusikan air ke embung untuk membasahi gambut di saat terbakar sangatlah rentan. Itu mensyaratkan perawatan intensif agar tak justru menimbulkan kekeringan ataupun gangguan hidrologi pada masa mendatang. Untuk itu, pembagian tugas sesuai keberadaan kanal sekat dan sekat kanal penting dipetakan agar tiap pihak jelas tanggung jawabnya.
“Kanal sekat ini harus dipelihara, jangan rusak. Bahaya,” kata Raffles Brotestes Panjaitan, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa di Jakarta.
Perawatan kanal penting, terutama pada sekat-sekat kanal yang dibangun agar air sungai masuk saat pasang. Jika sekat kanal itu lepas, air gambut malah terkuras ke sungai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemeliharaan kanal disesuaikan lokasi. Apabila lokasi di areal perusahaan, perawatan tanggung jawab manajemen. Apabila di area penggunaan lain atau lahan warga, tanggung jawab pemda. Apabila kanal di hutan konservasi, unit pelaksana teknis KLHK yang memeliharanya. “Pemda, terutama provinsi, harus merawat. Dana sudah dianggarkan,” kata Raffles. Dana alokasi khusus kehutanan dan lingkungan Rp 4 miliar per kabupaten.
Pemda agar memberdayakan warga lokal atau membentuk masyarakat peduli api untuk memelihara kanal sekat dan sekat. Pelibatan masyarakat, katanya, sukses dalam praktik pembuatan sekat kanal di Sei Tohor, Kepulauan Meranti, Riau.
Di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, progres pembuatan kanal sekat dan embung di Kelurahan Guntung Payung mencapai lebih dari 95 persen. Untuk pembuatan kanal sekat 9.000 meter, terealisasi 8.500 meter, dan pembuatan 90 embung terealisasi 84 embung.
“Sesuai instruksi Presiden, pembuatan sekat kanal dan embung itu salah satu cara meminimalkan dampak kebakaran hutan dan lahan gambut. Dengan sekat kanal, air dari kali dialirkan ke kanal dan embung sehingga lahan gambut selalu basah dan ada airnya,” kata Panglima Kodam VI/Mulawarman Mayor Jenderal TNI Benny Indra Pujihastono saat meninjau pembuatan kanal.
Kanal sekat dan embung dibuat sesuai instruksi Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Kalimantan Tengah, 24 September. Tujuannya agar gambut tetap basah dan tersedia air untuk pemadaman. Di Kabupaten Pulang Pisau, misalnya, dibangun 28 embung ukuran 10 meter x 10 meter dan dua embung berukuran 30 meter x 30 meter.
Pembuatan kanal sekat dan embung itu meliputi pengerukan dan pembersihan 7 km kanal di kedua sisi Jembatan Tumbang Nusa dan pembuatan 28 sekat kanal kecil (tali air) berupa papan kayu berukuran 2 meter x 1,5 meter. Sekat dipasang di parit penghubung antara kanal utama dan embung. Parit penghubung itu lebarnya 2 meter, panjang 300 meter.
Direktur Save Our Borneo Nordin mengatakan, sekat kanal yang hanya berupa papan kayu tak akan optimal menahan air yang ada di dalam embung. “Sekat itu paling lama bisa bertahan 2-3 bulan. Dikhawatirkan, saat Sungai Kahayan surut, air di area gambut ini justru habis menuju sungai dan gambut kembali kering serta rentan terbakar,” katanya.
Nordin juga menyampaikan, pembuatan embung untuk menyediakan sumber air untuk pemadaman memang diperlukan. Namun, saat ini titik api berjarak 3-5 kilometer dari lokasi embung. “Seharusnya dibuat sumur-sumur bor di lokasi rawan kebakaran. Untuk mengelola lahan gambut, sekat kanal tidaklah cukup, tetapi kanal yang ada harus diblok atau ditimbun total agar air dalam gambut tidak mengalir ke sungai,” paparnya.
Berkaca pada program lahan gambut sejuta hektar, tanpa konsistensi dan disiplin pengawasan, kanal sekat adalah “bom waktu”. (ICH/ISW/DKA/JUM)
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Oktober 2015, di halaman 14 dengan judul “”Bom Waktu” Bernama Kanal Sekat”.