NASA bakal mendaratkan dua antariksawan di dekat kutub selatan Bulan pada 2024. Itu langkah awal mengirimkan manusia ke Mars. Tapi, penerbangan luar angkasa dalam waktu lama berdampak buruk terhadap fisiologi manusia.
KOMPAS/NASA–Antariksawati Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat NASA Peggy Whitson saat bekerja di luar Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) pada Januari 2017, Whitson menjadi salah satu antariksawan perempuan pemegang rekor perjalanan terlama di luar ISS.
Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat NASA bersama sejumlah lembaga riset dan industri penerbangan luar angkasa lain berencana mendaratkan dua antariksawan, salah satunya perempuan, di dekat kutub selatan Bulan pada 2024. Itu adalah langkah awal untuk mengirimkan manusia ke Mars pada dekade mendatang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, dampak penerbangan luar angkasa untuk waktu lama bagi fisiologi dan kesehatan manusia masih membayangi. Untuk sekali perjalanan dari Bumi menuju Mars, setidaknya dibutuhkan waktu selama sembilan Bulan. Agar penerbangan efektif, antariksawan ditargetkan bisa tinggal di Mars sekurangnya selama 12 bulan sehingga untuk perjalanan pulang pergi ke Mars setidaknya butuh 30 bulan.
Studi Larry Kramer, ahli radiologi di Pusat Ilmu Kesehatan, Universitas Texas, Houston, AS dkk yang dipublikasikan di jurnal Radiological Society of North America, Selasa (14/4/2020) menunjukkan penerbangan luar angkasa dalam waktu panjang mengubah otak manusia.
Untuk melakukan studi itu, Kramer memindai otak 11 antariksawan, salah seorang diantaranya perempuan menggunakan pencitraan resonansi magnetik (MRI), yaitu alat yang digunakan untuk mencitrakan bagian dalam tubuh menggunakan medan magnet. Pencitraan dilakukan sebelum dan sesudah mereka melakukan perjalanan ke luar angkasa hingga satu tahun setelah mereka kembali ke Bumi.
Citra MRI yang diperoleh menunjukkan paparan gravitasi mikro yang lama membuat otak antariksawan membengkak dan cairan serebrospinal yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang mereka juga mengalami kenaikan volume. Kondisi itu meningkatkan tekanan intrakranial atau tekanan di kepala yang membuat penglihatan antariksawan menjadi buram selama penerbangan.
Kramer menemukan bukti bahwa peningkatan tekanan di kepala itu akhirnya meningkatkan gravitasi mikro yang dialami antariksawan. “Temuan ini mendukung teori bahwa penerbangan luar angkasa meningkatkan tekanan di kepala yang sebelumnya diduga para peneliti terkait dengan perubahan penglihatan yang dialami antariksawan,” kata Kramer kepada Space, Rabu (15/4/2020).
Efek berkurangnya ketajaman penglihatan ini sebenarnya sudah lama dilaporkan antariksawan sejak era penerbangan ulang alik dimulai pada awal tahun 1980-an. Evaluasi medis di Bumi mengungkapkan saraf optik para antariksawan itu mengalami pembengkakan. Beberapa antariksawan diantaranya juga mengalami pendarahan retina dan mengalami perubahan struktural mata lainnya. Sejumlah ilmuwan menduga, berkurangnya penglihatan antariksawan itu dipicu oleh peningkatan tekanan intrakranial atau tekanan di kepala selama penerbangan ke luar angkasa.
KOMPAS/NASA–Antariksawan Christina Koch, Jessica Meir, dan Andrew Morgan dari Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat sedang merayakan Thanksgiving di luar angkasa pada 2019. Baik sang antariksawan maupun makanan mereka tampak melayang akibat kecilnya gravitasi.
Peningkatan tekanan di kepala
Selain memicu pembengkakan otak, gaya gravitasi mikro juga membuat kelenjar hipofisis atau pituitari, kelenjar kecil di otak yang memproduksi berbagai hormon penting tubuh, berubah bentuk dan menjadi padat seiring bertambahnya ketinggian yang dicapai antariksawan. “Kondisi itu menandakan peningkatan tekanan di kepala,” tambahnya.
Pembengkakan otak di sekitar kelenjar pituitari itu masih terjadi hingga setahun setelah antariksawan kembali ke Bumi. Kondisi itu menunjukkan dampak gaya gravitasi mikro di otak itu berlangsung lama.
Dalam kondisi normal di Bumi, lanjut Kramer, cairan tubuh menyebar merata ke seluruh badan. Saat mengangkasa, seiring berkurangnya gravitasi hingga mendekati nol, cairan tubuh akan bergerak naik hingga mengumpul di kepala.
“Darah yang biasanya terkumpul di kaki dan tangan akan menyebar ke kepala. Itu bukan hal lazim di Bumi, kecuali seseorang berdiri di atas tangannya (kaki di atas),” katanya.
Untuk mengatasi itu, peneliti mengusulkan sejumlah langkah penanggulangan. Salah satunya adalah mendorong agar antariksawan pada hari-hari tertentu selama penerbangan melakukan sesuatu secara terbalik, alias kepala di bawah dan kaki di atas. Teknik itu akan bekerja seperti gravitasi buatan sehingga darah akan mengalir kembali menuju kaki.
Cara lainnya adalah dengan membuat alat khusus pada kaki yang menjaga cairan dalam tubuh tidak bergerak ke atas ketika antariksawan mengangkasa.
KOMPAS/TWITTER/CHRISTINA H KOCH–Tangkapan layar laman Twitter pada akun Christina H Koch. Antariksawan Badan Antariksa Eropa (ESA) Luca Parmitano (kiri) serta antariksawati Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat Christina H Koch (kanan) menunjukkan kukis bertabur butiran coklat hasil panggangan mereka yang menjadi makanan pertama yang dimasak di luar angkasa.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Editor: ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 16 April 2020