Tak ada pujian, apalagi tepuk tangan. Hanya suara-suara alam yang menemani mereka di bentangan bukit-bukit karst yang sepi, tempat rangka puluhan manusia prasejarah ditemukan terkubur selama ribuan tahun di sana.
Di sini waktu seperti berhenti. Pagi, siang, dan senja hanya bisa dirasakan pada “jam tubuh” mereka yang sudah terbiasa beradaptasi dengan alam. “Tahu-tahu hari sudah sore,” kata Asep.
Asep adalah arkeolog muda dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Selama dua pekan terakhir di bulan April 2015, ia ikut terlibat dalam ekskavasi lanjutan di situs prasejarah Gua Harimau di wilayah Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gua Harimau, itulah nama yang diberikan penduduk di sana. Gua Harimau, itu pula nama resmi yang sejak 2008 masuk dalam peta penting penelitian arkeologi prasejarah Indonesia. Masyarakat setempat dan kalangan ilmuwan memang menggunakan kata “gua” (juga dalam pelafalannya, seperti halnya lema yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia), bukan “goa” yang salah kaprah itu untuk menyebut liang atau lubang besar di kaki perbukitan.
Lokasi ceruk itu cukup tersembunyi. Persis di pinggang perbukitan karst, tertutup pepohonan tinggi dan belukar. Sejak dua tahun lalu, jalan setapak yang terjal penuh semak yang menutup pinggang bukit sudah dipapas, dibuatkan anak-anak tangga hingga ketinggian sekitar 50 meter. Di bawahnya, sungai kecil (penduduk menyebutnya Aek Kaman Bawah) yang lebih menyerupai parit mengalir dan bermuara ke Sungai Ogan.
Saat ditemui di lokasi penelitian, Asep sedang duduk di atas bongkahan batu di sisi luar Aek Kaman Bawah. Bersama dua tenaga lokal yang membantunya, siang itu Asep sibuk mengayak tanah bercampur batu kerakal dan serpih-serpih aneka bentuk dari hasil galian sehari sebelumnya di sektor galeri barat Gua Harimau.
Para peneliti arkeologis dibantu sejumlah tenaga lokal melakukan penggalian lanjutan di lokasi temuan rangka manusia prasejarah di situs Liang Bua NTT.–KOMPAS
Tanah galian itu diturunkan dari ceruk yang ada di dinding tebing bukit ke bibir sungai dengan cara dikerek dengan seutas tali. Tiap sebentar, suara Rully-juga arkeolog muda; dari Balai Arkeologi Palembang-menyeru dari atas, menginformasikan bahwa ember-ember plastik berisi material galian yang diikatkan di kerekan tali siap diluncurkan, menyusur tebing berkemiringan kurang dari 45 derajat.
“Kebanyakan sisa-sisa fauna, seperti cangkang, labi-labi, moluska, siamang, monyet, dan ikan. Di antara sisa-sisa fauna itu juga terdapat artefak batu, juga serpih dan rijang. Umumnya terbuat dari batu obsidian,” kata Asep sembari menunjukkan serakan hasil temuan mereka yang digeletakkan di pinggiran sungai.
Temuan spektakuler
Dunia mereka adalah masa silam yang dingin, terkurung dalam dinding tebing batu berceruk di pinggang bukit. Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti menyebutnya rumah peradaban masa silam. Sementara Prof Harry Truman Simanjuntak, ahli prasejarah dari Puslit Arkenas, mengibaratkannya sebagai “real estat” prasejarah.
Baik ahli paleoantropologi Harry Widianto maupun Truman Simanjuntak melihat betapa penting keberadaan situs Gua Harimau. Selama ini Sumatera dianggap bukanlah kawasan penting untuk melacak keberadaan manusia prasejarah. Selain tak kunjung ditemukan rangka manusia, jejak peradaban berupa lukisan gua dari masa paleolitikum ataupun neolitikum seperti banyak ditemukan di wilayah Indonesia timur-terutama di Sulawesi dan Kalimantan-juga tak pernah tersingkap keberadaannya di Sumatera.
Baru pada penelitian intensif tahun 2008, tim yang “dimandori” Truman Simanjuntak berhasil mengupas lapisan budaya prasejarah di Gua Harimau dan Pondok Silabe lewat temuan mereka yang tergolong spektakuler. Hingga penggalian terbaru pada April 2015, sedikitnya 82 individu rangka manusia purba-sebagian bahkan masih terlihat utuh-sudah diidentifikasi berasal dari 4.000-2.500 tahun lalu.
Malah di sektor galeri barat, pada kedalaman dua meter, tim kembali menemukan rangka manusia. Persis di sisi kanan bawah tebing galian sebelumnya di kotak yang sama, tempat rangka terdahulu ditemukan pada kedalaman kurang dari satu meter. Rully menyebut fenomena ini sebagai “kuburan bertingkat”.
“Dari hasil analisis karbon C-14 terhadap artefak yang ada di sekitarnya, didapat pertanggalan dari masa sekitar 14.000 tahun lalu,” ujar Truman Simanjuntak.
Tak pernah dalam sejarah ekskavasi di satu situs prasejarah di Tanah Air ditemukan rangka manusia sebanyak itu. Dari ciri-ciri morfologis rangka temuan, Harry Widianto menyimpulkan bahwa manusia penghuni Gua Harimau didominasi oleh ras Mongoloid.
Meski demikian, dalam penelitian lanjutan juga ditemukan beberapa rangka bercirikan Australomelanesid. Ras ini pendahulu ras Mongoloid yang bermigrasi ke Nusantara di akhir Zaman Es pada sekitar 11.000 tahun lampau. Adanya rangka individu ras Australomelanesid di antara puluhan ras Mongoloid di Gua Harimau itu memunculkan dugaan sempat terjadi semacam “perjumpaan” antargenerasi di antara mereka.
Data temuan semakin lengkap ketika pada penelitian tahun 2009, arkeolog E Wahyu Saptomo menemukan guratan-guratan pada dinding belakang gua yang diidentifikasi sebagai lukisan purba. Pindi Setiawan, ahli komunikasi visual dari FSRD ITB yang mendalami fenomena lukisan prasejarah-ia dilibatkan dalam penelitian tahun 2010-memastikan bahwa guratan-guratan berwarna dasar merah kecokelatan tersebut adalah ciri khas lukisan manusia purba.
Menyadari potensi besar kawasan situs prasejarah Gua Harimau, hampir setiap terjun ke lapangan, Truman Simanjuntak menyempatkan untuk menyosialisasikan arti penting keberadaan tinggalan prasejarah di kawasan ini. Di pekan terakhir April lalu, misalnya, di hadapan para kepala desa, ia memaparkan potensi arkeologis yang ada di sana untuk menggugah mereka agar ikut melestarikannya.
Jika para arkeolog prasejarah melacak peradaban masa silam hingga ke lereng-lereng bukit di tengah hutan, arkeolog “klasik” Nurhadi Rangkuti dan rekan-rekannya dari Balai Arkeologi Palembang kini mulai fokus pada serangkaian penggalian di kawasan rawa di pantai timur Sumatera. Di sini, di wilayah Karang Agung Tengah, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, mereka harus berkubang lumpur di dalam lubang-lubang galian.
“Kami sedang mengembangkan penelitian arkeologi lahan basah, wetland archaeology. Di sini bertaburan situs permukiman pra-Sriwijaya,” kata Nurhadi.
Penggalian arkeologis di pantai timur Sumatera Selatan sudah dilakukan secara intensif sejak 2001. Sejumlah temuan sudah didata. Umumnya berupa sisa-sisa bangunan tempat tinggal bertiang kayu dengan berbagai perlengkapan hidup sehari-hari. Juga sisa-sisa tulang manusia, antara lain berupa fragmen tempurung kepala, gigi, tulang belakang, dan beberapa sisa tulang lainnya yang belum bisa diidentifikasikan.
“Analisis C-14 pada sampel tiang kayu mengindikasikan situs ini berasal dari abad ke-4 Masehi,” kata Nurhadi terkait penelitian mereka pada minggu ketiga Mei 2015 di lokasi yang jauh dari “zona nyaman” sebagai seorang ilmuwan.
Masalahnya, masih adakah di antara kita yang peduli pada kerja kebudayaan yang mereka lakukan? Masih adakah bentuk penghargaan yang patut kita persembahkan untuk mereka yang lebih memilih jalan sunyi, jauh dari riuh dan gelimang materi serta tepuk tangan di panggung depan negeri kata-kata ini? Masih adakah?—Kenedi Nurhan
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Juni 2015, di halaman 1 dengan judul “Jalan Sunyi Para Penggali Peradaban”.