Penelitian mengenai pendingin udara atau air contitioner yang hemat energi berkembang, tetapi terkendala kebijakan politik dan pasar untuk memproduksinya. Dibutuhkan kebijakan pemerintah dan kesadaran pihak pengusaha dan industri agar pendingin udara ramah lingkungan semakin memasyarakat.
Zat pendingin atau refrigeran pada pendingin ramah lingkungan bisa menggunakan hidrokarbon, amoniak, dan karbondioksida. Zat ini menghasilkan emisi rendah yang tidak merusak lapisan ozon. Pendingin ruangan ini tidak menggunakan energi listrik yang terlalu besar.
KOMPAS–Produk elektronik, termasuk pendingin ruangan atau mesin pengatur suhu udara, dijual di toko elektronik di Kawasan Benhil, Jakarta, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Amoniak sudah digunakan untuk membuat lemari es kapasitas industri, tetapi untuk pendingin ruangan di rumah, apartemen, maupun gedung perkantoran belum banyak perubahan,” kata Guru Besar Teknik Mesin Universitas Indonesia M Idrus Alhamid di Depok, Jawa Barat, Senin (6/5/2019). Ia melakukan riset mengenai pendingin udara ramah lingkungan,termasuk yang bertenaga surya.
Ia menjelaskan, hidrokarbon merupakan pilihan refrigeran yang ekonomis karena di Indonesia sudah diproduksi dalam jumlah banyak, termasuk oleh Pertamina. Kegunaannya sejauh ini adalah sebagai gas untuk memasak.
Persepsi hidrokarbon sebagai bahan bakar ini menjadikan ada kecemasan bagi industri untuk menggunakannya sebagai refrigeran. “Alasan yang paling banyak dikemukakan ialah ketakutan refrigeran hidrokarbon akan mudah terbakar dan meledak. Padahal, yang perlu dilakukan adalah menciptakan kompresor yang aman,” tutur Idrus.
Menurut dia, berbagai negara di Asia seperti China dan Jepang sudah menciptakan kompresor bagi pendingin ruangan be-refrigeran hidrokarbon. Indonesia bisa mengimpor dari kedua negara tersebut apabila belum mampu memproduksi kompresornya, meskipun sangat mungkin riset mengenai kompresor dan manufakturnya dilakukan di dalam negeri.
“Harus ada kebijakan pemerintah menuntut komitmen manufaktur dan konsumen untuk menggunakan produk pendingin yang hemat energi dan ramah lingkungan,” kata Idrus.
Optimal
Salah satu bagian dari riset pendingin udara ramah lingkungan dilakukan oleh Nyayu Aisyah (25), lulusan doktor termuda di Fakultas Teknik UI. Di bawah bimbingan Idrus, Nyayu menerbitkan disertasi berjudul “Analisis dan Optimalisasi Sistem Pompa Panas dan Pendingin yang Ramah Lingkungan”.
“Permasalahan di kalangan industri pendingin ruangan di Indonesia adalah menggunakan refrigeran seperti R22 (klorodifluorometan) yang merusak ozon karena senyawa klor di dalamnya tinggal dalam waktu lama di udara,” kaya Nyayu ketika dihubungi sedang di Tokyo, Jepang. Ia sedang dalam proses melanjutkan penelitian pascadoktoral di Universitas Waseda.
Dia mengatakan, industri kemudian mengganti R22 yang sangat merugikan lingkungan ini dengan R-410A, campuran zat difluorometan dan pentafluorometan. Refrigeran jenis ini tidak merusak lapisan ozon, tetapi tetap berisiko menghasilkan panas dan berkontribusi kepada pemanasan global.
DOKUMENTASI UNIVERSITAS INDONESIA–Nyayu Aisyah, doktor termuda di Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Ia meraih gelar doktor di bidang Teknik Mesin pada usia 25 tahun dengan riset mengenai sistem pendingin ruangan yang hemat energi dan ramah lingkungan. Upacara kelulusannya dilakukan di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (23/4/2019).
Kesadaran masyarakat menggunakan pendingin udara ramah lingkungan akan membantu menurunkan terjadinya pemanasan global. Namun, refrigeran ramah lingkungan kurang diminati karena penggunaannya membutuhkan energi listrik yang lebih besar.
Penelitian Nyayu menggunakan refrigeran hidrofluoroolefin yang diproduksi oleh Asahi Chemicals, sebuah perusahaan bahan-bahan kimia dari Jepang. Selain menggunakan zat itu, ia juga mengembangkan sistem pendingin udara yang optimal dan efisien dibandingkan dengan pendingin udara reguler.
“Selain ada pengaturan pemakaian energi melalui piranti lunak, juga ada penelitian mengenai suhu optimal terjadinya evaporasi,” ujarnya.
Hidrofluoroolefin tidak menipiskan ozon. Waktu tinggal zat ini di atmosfer juga singkat dan mudah terurai. Apabila dikombinasikan dengan kinerja pendingin udara yang optimal, akan tercipta sistem yang efisien dan ramah lingkungan. Apalagi, di negara tropis seperti Indonesia pendingin udara semakin dianggap sebagai kebutuhan rumah tangga dan perkantoran.
Dari riset tersebut, Nyayu mendapati penggunaan hidrofluoroolefin sebagai refrigeran menghasilkan nilai koefisiensi kinerja atau jumlah karbondioksida yang diproduksi adalah nol hingga 10. Bandingkan dengan refrigeran R-410A yang nilai koefisiensi kinerjanya selalu di atas 100, artinya menghasilkan banyak karbondioksida yang memanaskan udara.
“Riset untuk mencapai sistem optimal masih harus dilakukan. Tapi, kita bisa membuat pendingin udara jauh lebih ramah lingkungan,” katanya.–Oleh LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 7 Mei 2019