Penderita kanker limfoma atau kanker kelenjar getah bening berharap pemerintah mempertimbangkan pengaplikasian terapi sel punca pada kanker limfoma yang berpotensi membantu kondisi mereka. Hingga saat ini, mereka terus berusaha untuk berbagi informasi mengenai terobosan pengobatan yang dapat membantu kondisi mereka.
Infodatin Kementerian Kesehatan 2015 mengenai Data dan Kondisi Penyakit Limfoma di Indonesia menjabarkan, sekitar satu juta orang di dunia menderita kanker limfoma dan 1.000 orang didiagnosis menderita limfoma setiap hari. Terdapat dua tipe kanker limfoma, yaitu limfoma Hodgkin (LH) dan limfoma non-Hodgkin (LNH). Sekitar 90 persen orang merupakan penderita LH.
Jumlah penderita kanker limfoma di Indonesia belum terlalu signifikan, tetapi mengalami pertambahan setiap tahun. Koordinator Divisi Kanker Limfoma Cancer Information and Support Center (CISC) Dian Anggraini menyatakan, divisi yang baru dibentuk sekitar satu tahun lalu itu awalnya beranggotakan sekitar 10 orang. Namun, kini anggotanya telah mencapai 142 orang yang semuanya merupakan penyintas kanker limfoma.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Umum CISC Aryanthi Baramuli Putri menyebutkan, posisi kanker limfoma tidak berada dalam urutan teratas kanker pembunuh di Indonesia sehingga informasi mengenai kanker ini masih dirasa kurang. Berbagi informasi antara penyintas kanker limfoma dari dalam dan luar negeri memberikan harapan baru kepada penderita. Apalagi, belum semua penderita mengetahui potensi terapi sel punca dalam pengobatan.
”Para penderita antusias mendengar kemungkinan itu. Di Indonesia sudah ada terapi sel punca, tetapi belum (diterapkan pada penderita kanker limfoma). Kami senang dapat bekerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia sehingga dapat berbagi pengalaman,” tutur Aryanthi seusai acara support group discussion dengan tema ”Berbagi Pengalaman dan Inspirasi Relawan Kanker bersama Ethan Zohn”, di Jakarta, Rabu (11/10).
Ethan Zohn, mantan atlet profesional, adalah seorang penyintas kanker limfoma yang menjalani dua kali terapi sel punca setelah divonis menderita tipe kanker langka, yaitu kanker limfoma Hodgkin CD20-positif stadium 2B pada 2009.
”Saya menjalani terapi sel punca autologous. Namun, setelah 20 bulan kondisi saya kembali memburuk pada 2011. Saya menjalani terapi sel punca allogenic setelah mendapatkan transplantasi sel kakak saya,” ungkap Ethan. Terapi sel punca populer di AS untuk menyembuhkan kanker darah dan limfoma.
Terapi sel punca mulai dikembangkan di dunia pada 1996 untuk menangani penyakit degeneratif atau penurunan fungsi tubuh, mutasi, dan keganasan sel. Terapi dilakukan dengan menyuntikkan sel punca atau sel induk yang belum terdiferensiasi menjadi sel matang ke pasien untuk memperbaiki organ atau jaringan tubuh yang rusak.
Sel punca dapat diambil dari tubuh pasien sendiri (autologous) ataupun orang lain (allogenic). Di Indonesia, terapi ini masih dalam penelitian dan pengembangan sejak 2007. Baru-baru ini, terapi sel punca berhasil memberikan perbaikan 30 hingga 100 persen untuk penyakit seperti diabetes melitus, nyeri sendi pada lutut, stroke, dan jantung di Rumah Sakit Umum Dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur (Kompas, 14/8).
Ethan mengatakan, jumlah dana yang dihabiskannya untuk terapi sel punca autologous sebesar 300.000 dollar AS atau setara Rp 4,056 miliar dengan kurs Rp 13.523. Jumlah ini di luar biaya pengobatan dan perawatan selama dia sakit. Bahkan, terapi sel punca allogenic yang dia jalani setelahnya dinyatakan melebihi biaya terapi yang pertama.
Direktur @america dan Deputy Cultural Affairs Attaché Kedubes AS Jed Taro Dornburg mengatakan, Pemerintah AS berusaha untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. ”Salah satu dari banyak cara yang kami lakukan adalah dengan membawa penyintas kanker untuk berbagi pengalaman dalam menghadapi kanker,” ujar Jed. (DD13)–ELSA EMIRIA LEBA
Sumber: Kompas, 12 Oktober 2017