Hingga hari kedua hilangnya kontak dengan pesawat AirAsia QZ 8501 rute Surabaya-Singapura, posisi pesawat belum diketahui. Pemicunya, sinyal suar penentu lokasi pesawat dalam kondisi darurat saat terkena benturan tidak berfungsi.
”Tim kesulitan menentukan lokasi pesawat karena sinyal ELT (emergency locator transmitter) tidak terdeteksi,” kata Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) FHB Soelistyo, di Jakarta, Senin (29/12). Jika ELT aktif, sinyal alat itu seharusnya tertangkap radar Basarnas ataupun radar sejumlah negara tetangga.
ELT adalah alat suar penentu lokasi pesawat jika pesawat mendarat darurat atau jatuh di daratan. Jika pesawat mendarat atau jatuh di perairan, sinyal darurat itu akan dipancarkan underwater locator beacon (ULB).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alat suar darurat itu disimpan di ekor pesawat. Seharusnya, alat itu otomatis aktif saat pesawat mengalami benturan keras. Durasi sinyal ELT yang dipancarkan bervariasi, tetapi umumnya 24 jam atau 48 jam. Adapun masa aktif sinyal ULB lebih lama, yakni 30 hari.
Sinyal yang dipancarkan ELT dan ULB itu akan ditangkap satelit dan dikirimkan ke tim SAR terdekat untuk segera melakukan penyelamatan. Dengan sistem teknologi itu, seharusnya sinyal ELT dan ULB bisa dideteksi di mana pun pesawat berada.
Konsultan penerbangan Gerry Soejatman mengatakan, tak berfungsinya ELT dan ULB membingungkan para ahli penerbangan dan tim SAR. Padahal, sistem itu adalah pendeteksi lokasi terbaik pesawat yang mengalami tumbukan. Pada masa lalu, ELT selalu berfungsi saat terjadi tumbukan. Namun, beberapa waktu terakhir, ELT tak berfungsi.
Dalam berita Kompas, 17 Maret 2014, disebutkan, 81-83 persen ELT hidup saat terjadi tumbukan. Itu berarti ada potensi 17-19 persen ELT tak aktif saat pesawat jatuh. Banyak faktor jadi pemicu tak aktifnya ELT, di antaranya alat itu sengaja dirancang aktif pada benturan amat tinggi atau daya alat habis.
Kemungkinan lain sinyal ELT dan ULB tak terdeteksi diungkapkan Kepala Komite Nasional Keselamatan Transportasi Tatang Kurniadi. Kondisi itu bisa dipicu putusnya antena ELT sehingga tak bisa memancarkan sinyal atau ELT terjatuh di balik gunung sehingga satelit tak menangkap sinyal. Kemungkinan lain, ELT rusak sejak sebelum pesawat terbang. ”Karena itu, sering kali pesawat memiliki lebih dari satu ELT,” ujarnya.
Sementara itu ULB bisa tidak berfungsi karena terputusnya antena. Akibatnya, alat itu tak bisa memancarkan bunyi.
Meski demikian, banyak teknik bisa digunakan untuk mendeteksi posisi pesawat yang jatuh, baik di darat maupun di laut. Salah satunya, menggunakan alat pendeteksi logam bawah laut.
Namun, menurut Soelistyo, alat pendeteksi logam milik Basarnas memiliki keterbatasan. Karena itu, Basarnas minta bantuan peralatan milik TNI AL, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan sejumlah negara, seperti Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat.
Salah satu dari lima kapal yang dikerahkan TNI AL berfungsi sebagai penyapu ranjau. Hal itu untuk mempermudah mendeteksi keberadaan pesawat di bawah laut.
Adapun kapal BPPT yang digunakan adalah kapal riset Baruna Jaya IV yang memiliki alat sensor multibeam echo sounder dan side scan sonar. Kapal itu berpengalaman menemukan pesawat Adam Air yang jatuh di Selat Makassar pada 2007 dan dua kapal tenggelam lainnya.
Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Ridwan Djamaluddin mengatakan, selain Baruna Jaya IV, BPPT punya Kapal Baruna Jaya III untuk survei dasar laut. Jika Baruna Jaya III bisa memindai hingga kedalaman 10.000 meter, Baruna Jaya IV bisa memantau dasar laut sedalam 3.000 meter.
Upaya pencarian pesawat AirAsia ini menggunakan Baruna Jaya IV karena kedalaman Selat Karimata dan Laut Jawa 40-50 meter. ”Kapal-kapal itu canggih untuk mencari benda di bawah laut,” kata Soelistyo.
Tantangan jika sudah ditemukan adalah evakuasi pesawat ke permukaan. Indonesia belum punya alat evakuasi benda dari dasar laut. (DEA/MZW/YUN)
Sumber: Kompas, 30 Desember 2014