Hari ini, Selasa (6/1), pencarian korban jatuhnya pesawat AirAsia nomor penerbangan QZ 8501 memasuki hari kesepuluh. Proses pencarian pun masih terus dilakukan tim pencari dan penyelamat.
Hingga kemarin, tim pencari dan penyelamat (SAR) berhasil mengevakuasi 37 jasad korban jatuhnya pesawat AirAsia QZ 8501. Untuk mengevakuasi jasad korban ke kendaraan pengangkut, tangan para petugas SAR harus bersentuhan dengan jasad korban.
Sejauh ini, lebih dari seratus korban belum ditemukan. Mengingat telah sekian lama berada dalam laut, dipastikan kondisi jasad korban terus mengalami pembusukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika telah ditemukan, tim pencari dan penyelamat harus berurusan dengan kondisi jasad yang licin, rentan, dan menimbulkan aroma tak menyenangkan. Lebih dari itu, keberadaan jenazah berisiko bagi kesehatan anggota tim pencari dan penyelamat di lapangan.
Jenazah yang tenggelam di laut cenderung membusuk sedikit lebih lambat dibandingkan jika berada di udara terbuka. Namun, proses pembusukan jasad jauh lebih cepat dibandingkan jika terkubur dalam tanah.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia (AIFI) dokter Ferryal Basbeth, Senin (5/1), memberikan perbandingan 1 : 2 : 8 untuk udara terbuka, air, dan tanah. Artinya, kondisi jenazah yang sudah dua hari di dalam laut masih seperti kondisi jasad di udara terbuka selama sehari, tetapi sudah seperti yang terkubur di tanah delapan hari.
Dokter Spesialis Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Oktavinda Safitry, menjelaskan, proses pembusukan awal terjadi karena di dalam tubuh terdapat bakteri-bakteri komensal, yakni yang bermanfaat bagi manusia semasa hidup. Ketika sudah meninggal, protein dalam tubuh didegradasi bakteri-bakteri tersebut.
Selanjutnya, proses pembusukan disempurnakan oleh bakteri dan kuman. Keberadaan bakteri atau kuman itu berasal dari lingkungan luar jasad, seperti udara, air, atau tanah.
Jenazah yang tenggelam seperti pada kasus jatuhnya AirAsia QZ 8501 akan mengapung setelah tiga sampai empat hari karena keluarnya gas-gas pembusukan. Jasad mengapung selama tiga-empat hari, kemudian tenggelam lagi karena gas-gas pembusukan sudah keluar dari tubuh dan jaringan kian hancur.
Dengan demikian, anggota tim SAR harus berurusan dengan berbagai kuman dan bakteri saat menemukan jenazah dan mengevakuasinya. Salah satunya dengan Escherichia coli, yang bermanfaat untuk mengurai makanan di dalam usus besar manusia, tetapi bisa menyebabkan diare saat di luar.
Meski demikian, Oktavinda berpandangan, risiko kesehatan mereka yang terpapar dengan jenazah tak jauh berbeda dengan mereka yang tidak terpapar. Karena itu, risiko kesehatan tidak terkait dengan jenazah. ”Kuman penyakit dalam tubuh orang meninggal biasanya juga sudah mati karena kuman hidup dalam darah. Tidak usah ada jenazah tenggelam pun kuman memang banyak di air dan udara,” paparnya.
Dari luar tubuh
Menurut Oktavinda, hal yang perlu diwaspadai tim SAR saat mengevakuasi jenazah adalah kuman serta bakteri yang berasal dari luar tubuh, terutama saat proses pembusukan berlanjut dengan campur tangan mikroorganisme dari lingkungan.
Apalagi jika jenazah sudah diangkat dari laut. Oleh karena bakteri dan kuman cenderung cocok dengan udara terbuka yang panas dan lembab.
Meski demikian, kewaspadaan terhadap berbagai penyakit dari infeksi harus ditegakkan karena kita tidak tahu yang bisa terjadi. Toh, memasang perisai untuk melindungi diri terhadap risiko kesehatan tidak merugikan.
Direktur Lembaga Eijkman Amin Soebandrio menganjurkan penggunaan alat pelindung diri yang lengkap bagi para petugas evakuasi jenazah. Alat pelindung diri itu minimal terdiri atas kacamata, masker, sarung tangan, dan apron (kain semacam yang digunakan koki pada bagian depan tubuh).
”Intinya, kita harus menganggap semua cairan tubuh manusia berpotensi infeksi. Apalagi, berhadapan dengan jenazah yang membusuk, tentu akan terpapar dengan bagian tubuh yang lebih dalam,” ucap Amin.
Memang, kemungkinan tertular penyakit infeksi yang berbahaya akibat mengevakuasi jasad korban bencana selama ini relatif kecil. Akan tetapi, jenazah bisa saja memiliki penyakit berbahaya semasa hidup.
Sebagai contoh, penyakit hepatitis. Petugas evakuasi bisa saja terciprat darah jenazah yang telah terinfeksi virus hepatitis sehingga harus terlindung dengan APD. Di Afrika, misalnya, sejumlah tenaga kesehatan yang menangani jenazah pasien tertular ebola akhirnya turut terpapar virus ebola.
Kendala identifikasi
Selain risiko penularan penyakit kepada petugas, kekhawatiran tertuju pada potensi kian sulitnya identifikasi jenazah seiring proses pembusukan. Ferryal menjelaskan, tim Identifikasi Korban Bencana (Disaster Victim Identification/DVI) amat bergantung pada data primer, yakni sidik jari, asam deoksiribonukleat atau DNA, dan profil gigi, untuk hasil identifikasi yang sahih.
Menurut Ferryal, sidik jari dan DNA amat sulit diharapkan. Sebab, kulit jasad yang terus terkelupas membuat sidik jari pun ikut hilang dan DNA tubuh rusak akibat air laut.
Data primer yang bisa diandalkan adalah profil gigi, yakni segala data terkait 32 gigi jenazah, termasuk kapan dicabut, ditambal pada gigi mana saja, dan tindakan medis lain. hal itu lantaran gigi adalah bagian tubuh paling tahan terhadap pembusukan akibat air.
”Sayangnya, kurang dari 1 persen penduduk Indonesia yang memiliki dental record (data gigi),” kata Ferryal. Meski tim DVI mendapat data lengkap terkait profil gigi, identitas jenazah tak akan ditemukan jika data gigi semasa hidup tidak ada.
Ke depan, identifikasi masyarakat harus jadi prioritas di tengah kondisi Indonesia yang rawan bencana.(J Galuh Bimantara)
Sumber: Kompas, 6 Januari 2015