Gangguan kesehatan anak bisa terdeteksi lebih dini melalui penapisan pada bayi baru lahir sehingga risiko kecacatan dan kematian dapat dihindari. Untuk menumbuhkan kesadaran warga terkait pentingnya penapisan tersebut, perlu intervensi dari pemerintah.
Dokter spesialis anak dari Divisi Neonatalogi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (RSCM/FKUI) Rinawati Rohsiswatmo menyampaikan hal itu di Jakarta, Jumat (31/8/2018).
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)–Ilustrasi: Bayi dalam inkubator di sebuah rumah sakit di Jakarta Timur, Sabtu (7/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penapisan atau skrining bayi baru lahir amat penting karena 70 persen dari angka kematian bayi terjadi pada minggu pertama kehidupan. ”Tujuh hari pertama kelahiran amat krusial, terlebih di enam jam pertama bayi lahir.
Kehamilan normal tak menjamin 100 persen bayi bugar setelah lahir,” ujarnya.
Ada tiga pemeriksaan dalam penapisan bayi baru lahir, yakni penapisan darah, pendengaran, dan jantung. Adapun penapisan darah meliputi pemeriksaan hipotiroid kongenital (HK), Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase (G6PD), CAH, dan PKU.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Rinawati Rohsiswatmo
Sulit dikenali
Rinawati, yang juga merupakan Ketua Satuan Tugas Skrining Bayi Baru Lahir Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), mengatakan, untuk kasus hipotiroid kongenital, angka kejadian di Indonesia 1 per 3.000 kelahiran. Dengan 5 juta kelahiran bayi per tahun berarti, ada sekitar 1.600 bayi lahir dengan kondisi itu.
Hipotiroid kongenital ialah gangguan tubuh karena kekurangan hormon tiroid sejak dalam kandungan. Pada bayi baru lahir, gejalanya tak tampak. Jika tak diatasi, bayi mengalami kerusakan fungsi otak dan gangguan fisik. Penurunan kecerdasan diminimalkan jika diobati sebelum 7 hari setelah bayi lahir.
Untuk itu, penapisan penting agar mendapat penanganan intensif. Cakupan penapisan bayi baru lahir di Indonesia kurang dari 2 persen. Jumlah ini tertinggal dari Singapura (lebih dari 99 persen), Thailand (94,1 persen), Malaysia (95 persen), Filipina (65 persen), dan Kamboja (3 persen).
Ketua Umum IDAI Aman Bhakti Pulungan menambahkan, pemerintah harus mengintervensi permasalahan ini melalui kebijakan serta dukungan pendanaan. “Program skrining pada bayi baru lahir harus menjadi program nasional, terutama untuk skrining hipotiroid kongenital. Sekarang ini belum semua rumah sakit yang memberikan skrining bayi baru lahir,” katanya.
Untuk itu, tenaga kesehatan, organisasi profesi, dan rumah sakit berperan penting untuk mendorong berlakunya program penapisan bayi lahir nasional. Layanan bayi baru lahir yang komprehensif dan bermutu amat memengaruhi kualitas generasi penerus bangsa di masa depan.
Berbagai risiko kecacatan, penurunan kualitas hidup, dan kematian bayi, bisa diminimalkan jika penanganan dilakukan sejak dini. “Kenyataannya, banyak pasien sudah dalam kondisi parah baru dibawa ke dokter,” ucap Aman.
Kompetensi tenaga kesehatan
Aman mengatakan, tantangan lain yang juga dihadapi terkait kesehatan anak adalah minimnya jumlah tenaga kesehatan. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia 2015, jumlah dokter di Indonesia, termasuk dokter umum dan spesialis, ada sekitar 89.000 orang. Sementara, jumlah perawat sekitar 224.000 orang, dan bidan sekitar 111.000 orang.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Aman Bhakti Pulungan
“Untuk rasio dokter anak dan pasien anak di Indonesia adalah 1 banding 22.332 anak. Penyebarannya pun masih belum merata ke seluruh Indonesia. Hal ini menjadi tantangan bersama,” ujarnya.
Rinawati menambahkan, catatan lain yang juga perlu diperhatikan adalah kurangnya integrasi antara pelatihan tenaga kesehatan dengan pengadaan alat kesehatan di fasilitas kesehatan. Meski pemerintah rutin mengadakan pelatihan bagi tenaga kesehatan secara masif, fungsinya tak akan maksimal jika tidak diimbangi dengan pengadaan alat yang berkualitas di layanan kesehatan.
“Sekarang ini masih jalan sendiri-sendiri. Jadi di suatu layanan kesehatan hanya ada peningkatan kompetensi dari tenaga kesehatan tetapi tidak diberikan alat yang memadai, begitupun sebaliknya. Seharusnya ini selaras, jadi penanganan kesehatan anak itu bisa komprehensif dan berkualitas,” ujarnya.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 1 September 2018