PEMILIHAN Umum 1999 membawa berbagai hasil sampingan bagi berbagai jenis keperluan. Salah satu hasil penting adalah bagi ilmu, penelitian, danpengembangan lembaga-lembaga penelitian swasta umum, dan perguruan tinggi, terutama di bidang psephologi, ilmu yang khusus berhubungan dengan analisis statistik pemilihan umum.
HAL ini semakin menjadi penting karena kegiatan ini relatif muda umur, baru setahun jagung. Lembaga-lembaga independen swasta dalam bidang jajak pendapat yang mencoba memberikan prediksi tentang hasil pemilihan umum adalah suatu gejala baru yang umurnya belum sampai satu dasawarsa.
Seiring dengan kebaruannya berbagai pendapat kontroversial dilontarkan. Pertama, ada yang sama sekali menolak hasil jajak pendapat itu, terutama pada saat jajak pendapat itu memberikan hasil yang tidak disukai. Kedua, yang menerima dengan tangan terbuka karena menguntungkan kepentingannya. Ketiga, ada yang mencoba memberikan penghargaan, sekurang-kurangnya terhadap usaha membuang waktu mengadakan polling. Keempat, dalam kalangan lembaga jajak pendapat kesempatan ini dipakai sebagai “kesempatan belajar”. Hasil tidak dipersoalkan. Kesempatan harus dipakai. Tidak ada yang salah dengan sikap ini; namun, bila keterusan bahaya ada di depan mata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemilihan Umum 1999 adalah batu ujian untuk memeriksa kehandalan lembaga-lembaga riset itu. Tulisan ini mencoba melihat seberapa jauh lembaga polling Indonesia bisa dipegang; berapa tepat mereka memprediksikan hasil pemilihan umum? Apa yang menghadang lembaga- lembaga itu dalam menjalankan kerjanya? Apa prospeknya pada masa depan?
Kesempatan pertama
Kesempatan ini hampir tidak pernah diperoleh pada masa-masa sebelumnya. Ketika berlangsung Pemilihan Umum 1955, bangsa ini masih terlalu muda sehingga kemampuan sangat terbatas untuk mendirikan lembaga-lembaga jajak pendapat, karena biayanya yang mahal. Pemilihan Umum Orde Baru tidak merangsang minat. Orde Baru malah tidak memberikan kesempatan bagi keperluan ini. Apa pun yang berbau penelitian swasta selalu dicurigai. Serendah-rendahnya mereka dianggap mengadakan sensus politik, dan paling celaka bila dianggap sedang melakukan tindak subversi untuk sekaligus “menjatuhkan pemerintah yang sah dan negara proklamasi”.
Tambahan pula beberapa alasan berikut ini masih bisa diajukan. Pemilihan umum itu begitu kotor sehingga tidak bisa dipakai untuk meramal, karena perbedaan antara hasrat hati dan kenyataan politik terlalu jauh. Karena teror dan intimidasi yang dijalankan hasil pemilihan umum itu begitu pasti bahwa Golkar akan memenangkan pertarungan, sehingga semua kerja prediksi seperti membuang garam ke laut. Oleh karena itu, jajak pendapat pemilihan umum sama sekali tidak berkembang sepanjang puluhan tahun Orde Baru.
Lembaga-lembaga survei
Apa yang dicapai oleh lembaga-lembaga jajak pendapat Indonesia? Untuk keperluan ini beberapa lembaga yang bergerak di bidang jajak pendapat diperiksa dan disaring. Bermacam-macam lembaga, beberapa perusahaan pers juga mengumumkan hasil penelitiannya sendiri. Namun, untuk keperluan tulisan ini beberapa kriteria dipakai. Pertama, lembaga-lembaga itu harus mengadakan survei langsung (face-to-face individual interview). Pertimbangan utama untuk keperluan pemilihan umum yang menyentuh semua tingkat, semua kelas dalam masyarakat wawancara telepon tidak cukup. Jajak pendapat per telepon hanya berlaku untuk kota besar-terutama karena pemilikan telepon yang belum merata-dan tidak bisa diandalkan untuk tingkat desa. Pembicaraan tentang Indonesia hanya mungkin bila dua wilayah itu dicakup.
Kriterium kedua, lembaga-lembaga itu mengadakan survei sebelum pemilihan umum berlangsung, jadi sebelum 7 Juni 1999. Berapa jauh jarak antara survei dan hari pemilihan umum tidak dipersoalkan. Dengan itu yang disebut sebagai exit-poll, jajak pendapat yang diadakan segera setelah seorang memilih, tidak dimasukkan. Ketiga, hanya penelitian yang sudah diumumkan di media massa-surat kabar, majalah berita, mingguan-yang ditinjau.
Dengan kriterium ini lembaga-lembaga yang memenuhi syarat adalah Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), International Foundation for Election Systems (IFES), Pusat Penelitian dan Pengembangan Kompas (Litbang), dan Research Productivity Center (RPC). Kecuali IFES yang berpusat di Washington, semua berpusat di Jakarta.
Tabel satu (lihat tabel 1) menunjukkan kegiatan lembaga tersebut. Sebagaimana dilihat di sana jarak waktu sebelum pemilihan umum yang paling jauh enam bulan dan yang paling dekat satu bulan. Wilayah sampel bermacam-macam. RPC mengambil lima kota besar dengan besar sampel 1.250 dan Litbang Kompas mengambil lima kota besar dengan sampel 1.500; LP3ES seluruh Jawa dengan sampel terbesar 2.970. Sedangkan IFES mencakup wilayah paling luas dengan 22 propinsi dengan besar sampel 1.507. Semua perbedaan di atas akan mempengaruhi hasil penelitiannya masing-masing.
Bolehkah dibandingkan?
Keberatan tentang membandingkan keempat lembaga ini pasti saja dikemukakan karena perbedaan yang terkandung di dalam survei masing-masing. IFES dan RPC mengadakan survei enam bulan sebelum pemilihan umum. Namun, yang terpenting adalah ketika survei diadakan banyak keputusan penting secara teknis tentang pemilihan umum belum diambil. Oleh karena itu, jenis penelitian yang dikerjakan sedikit berbeda. Mereka mencari tahu tentang propensity to vote, atau voting preference, kecenderungan orang memilih. Pada saat kebanyakan orang masih menimbang-nimbang antara satu sampai tiga partai andalan kesukaannya.
Litbang Kompas mengadakan survei dua bulan sebelum pemilihan umum sedangkan LP3ES satu bulan sebelumnya, ketika semua keputusan penting sudah dibuat. Secara emosional dan politik masyarakat sudah siap menghadapi pemilihan. Oleh karena itu, jenis penelitian keduanya hampir sama, yaitu tentang decision to vote, keputusan orang yang akan dijatuhkan pada tanggal 7 Juni 1999.
Selain perbedaan di atas beberapa hal lain perlu dikemukakan. Keberatan mungkin disampaikan keempat lembaga terpilih tentang analisis ini. LP3ES akan mengatakan bahwa surveinya hanya tentang Jawa dan tidak dimaksudkan tentang Indonesia. Litbang Kompas dan RPC akan mengatakan bahwa surveinya hanya tentang lima kota besar, dengan demikian hanya akan meramal voting behavior kota-kota besar; Oleh karena itu, tidak adil bila dari mereka dituntut ketepatan meramal Indonesia. Satu-satunya yang mengadakan survei dengan tujuan nasional adalah IFES dengan sampel 22 propinsi.
Di sana justru letak soalnya. Kelebihan survei tentang sampel adalah klaimnya tentang suatu populasi besar di luar dirinya. Tulisan ini mencoba mengangkat klaim itu ke tingkat yang mungkin sama sekali tidak dimaksudkan lembaga masing-masing di atas. Dengan pertimbangan dan asumsi ini saya mencoba membaca hasil survei lembaga-lembaga tersebut.
Dua kriterium dipakai untuk menilai hasil. Pertama, kemampuan meramal struktur hasil pemilihan umum. Yang dimaksudkan dengan struktur adalah komposisi pemenang, partai-partai mana saja yang berada dalam kelompok lima besar, enam besar, tujuh besar dan seterusnya; partai mana memenangi pemilihan sebagai nomor satu, dan urutan pemenang berdasarkan suara. Kedua adalah akurasi dan presisi dalam meramal persentase kemenangan. Akurasi menilai correctness, sedangkan presisi menilai exactness dari ramalan tersebut.
Membesarkan hati
Hampir semua lembaga polling di Indonesia mampu memprediksikan struktur hasil pemilihan umum itu dalam arti sebagai berikut ini. Semua lembaga, tanpa kecuali, mampu memprediksikan struktur besar lima besar partai politik pemenang pemilihan umum dan juga memastikan Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan ke dalam kelompok kecil. Keberhasilan itu semakin berarti karena mereka menemukan tujuh partai tersebut dari 48 partai politik yang bersaing dalam pemilihan.
Kedua, semua berhasil memprediksikan bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memenangi pemilihan umum tersebut. Namun, ketika diperhalus untuk memprediksi urutan kemenangan, sebagaimana sesungguhnya terjadi, tiga yang lain-RPC, LP3ES, Litbang Kompas-gagal dan hanya satu yang berhasil, dalam hal ini IFES, suatu lembaga asing, yang secara tepat memprediksikan urutan kemenangan lima partai tersebut.
Kini kita sampai ke tingkat yang genting, yaitu ketepatan. Sebelum menilai ketepatan perlu dikatakan serba sedikit tentang itu. Konvensi statistik sosial pada umumnya memberikan batas error margin lima persen, di atas atau di bawah angka prognosis, positif atau negatif, lebih tinggi atau lebih rendah dari angka yang dikemukakan dalam hasil sample survey. Dengan demikian bila suatu survei mengatakan, partai Partai Rakyat Demokratik memenangi 10 persen suara dan dalam pemilihan umum sesungguhnya PRD memenangkan lima persen atau 15 persen maka prediksi 10 persen masih dikatakan tepat.
Dengan pertimbangan seperti itu mari kita coba menilai hasil survei lembaga-lembaga utama di atas (lihat tabel 2). Ketika masuk ke tahap kedua, yang jauh lebih halus, yaitu akurasi dan presisi, yang biasanya jadi andalan utama lembaga-lembaga riset di dunia, hasil survei lembaga-lembaga polling yang bergerak di wilayah Indonesia terbagi dua, berhasil sebagian dan sebagian lagi gagal. LP3ES misalnya, untuk suatu alasan yang masih harus diperiksa lebih saksama, sama sekali gagal meramal partai-partai sekuler, PDI-P dan Golkar, di Jawa, wilayah yang menjadi populasinya. Rata-rata deviasi- selisih ramalan dan hasil sesungguhnya-untuk kedua partai tersebut 8,64 persen, jauh di atas batas lima persen. Di pihak lain LP3ES sangat tepat meramal partai-partai dengan ideologi dan/atau konstituensi Islam, meskipun sama sekali gagal meramal Partai Kebangkitan Bangsa di Jawa, dan sangat tepat meramal Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Amanat Nasional.
Ketika diproyeksikan lebih luas ke Indonesia secara umum boleh dikatakan semua lembaga survei berhasil dengan tepat meramal partai-partai sekuler, seperti PDI-P dan Golkar, dengan rata-rata deviasi kecil, 4,13 persen, di bawah ambang batas lima persen. Namun, boleh dikatakan semua gagal meramal partai-partai dengan ideologi/ konstituensi Islam dengan deviasi rata-rata 6,08 persen, di atas ambang batas lima persen. Satu-satunya yang berhasil meramal partai-partai Islam adalah LP3ES, meski sama sekali gagal tentang PKB di Indonesia, sebagaimana juga gagal tentang PKB di Jawa.
Gagal meramal
Mengapa semua gagal meramal partai-partai Islam? Alasannya tentu saja sangat kompleks. Selain karena metoda yang akan dikemukakan di bawah kesulitan dengan partai-partai tersebut terletak dalam dua bidang. Konstituensi-para pendukung dan calon pemilih Islam-ditempatkan dalam situasi yang sangat sulit untuk menghadapi partai dengan orientasi Islam yang begitu banyak, sebanyak 18 partai, dan menjadi 20 bila PAN dan PKB yang mempunyai konstituensi di sana dimasukkan.
Meskipun dalam setiap survei lembaga-lembaga di atas dikatakan bahwa para pemilih memiliki pengetahuan yang cukup tentang partai dan kemampuan membedakan satu partai dari partai lainnya cukup tinggi, namun tetap boleh dikatakan bahwa para pemilih Islam masih kebingungan. Oleh karena itu kemampuan party identification atau yang oleh IFES disebut sebagai party affinity sangat terbatas.
Sekurang-kurangnya mereka tidak mudah menentukan pilihan meskipun jumlah itu dikecilkan menjadi lima besar seperti PKB, PPP, PBB, Partai Ummat Islam (PUI), dan PAN. Perpindahan konstituensi dari satu partai ke partai lain sangat terbuka. Selain itu keterikatan mereka dengan tokoh pemimpin partai sangat kuat. Pada satu saat Amien Rais memukau pada saat lain Abdurrachman Wahid lebih menarik perhatian mereka, dan saat lain orang seperti Deliar Noer dan lain sebagainya.
Kecairan dalam pandangan dan kesediaan berpindah dari satu partai ke partai sangat menyulitkan jajak pendapat, karena seorang mengatakan lain pada saat jajak pendapat dan berbuat lain pada saat sesungguhnya. Oleh karena itu deviasi antara hasil survei dan hasil sesungguhnya menjadi besar (lihat kolom D dalam tabel 2; semakin besar angka di kolom ini semakin tidak tepat ramalan itu, semakin kecil angka menuju nol semakin tepat, tanpa membedakan positif atau negatif). Mungkin alasan itu bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa LP3ES sangat tepat meramal partai-partai Islam karena dari segi waktu mereka yang paling dekat ke tanggal pemilihan sesungguhnya. Pada waktu itu polarisasi di kalangan partai sudah semakin stabil. (Daniel Dhakidae, Kepala Litbang Kompas)
Sumber: Kompas, edisi Sabtu 14 Agustus 1999
Tabel 1
Survei Lembaga-lembaga Jajak-Pendapat
Lembaga Jajak-pendapat | Besar Sampel | Wilayah Sampel | Waktu Survei |
RPC | 1.500 | Lima kota besar* | Januari |
IFES | 1.507 | 22 propinsi | Des ’98-Feb’99 |
LP3ES | 2.970 | Seluruh Jawa | Mei |
Litbang Kompas | 1.500 | Lima kota besar* | April |
Keterangan:
Hasil LP3ES dimuat disebagian besar media nasional
Hasil RPC dimuat di The Jakarta Post, 23 Januari 1999.
*Lima kota besar: Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Medan
Hasil IFES dimuat sebagian besar media nasional
Hasil Litbang Kompas dimuat di Kompas, 12 Mei 1999.
*Lima kota besar: Surabaya, Jakarta, Bandung, Medan, dan Ujungpandang.
Sumber: Litbang Kompas
Tabel2
Prediksi Hasil Pemilihan Umum Lima Besar Partai Pemenang Pemilu(%)
Lima Besar Partai Pemenang Pemilu | Partai-partai lain | Total persentase survei | Deviasi rata-rata | |||||||||||||||
Lembaga”Polling” | PDI PERJUANGAN | GOLKAR | PKB | PPP | PAN | |||||||||||||
S | A | D | S | A | D | S | A | D | S | A | D | S | A | D | ||||
RPC | 30,85 | 33,76 | 2,91 | 17,01 | 22,46 | 5,45 | 19,58 | 12,62 | -6,96 | 16,63 | 10,72 | -5,91 | 23,17 | 7,12 | -16,05 | – | * | 7,46 |
IFES | 29,00 | 33,76 | 4,76 | 23,00 | 22,46 | 3,54 | 20,00 | 12,62 | 10,62 | 17,00 | 10,72 | 6,28 | 16,00 | 7,12 | 8,88 | 7 | * | 6,82 |
LP3ES | 27,78 | 33,76 | 5,98 | 23,61 | 22,46 | -1,15 | 25,00 | 12,62 | -12,38 | 8,33 | 10,72 | 2,39 | 8,33 | 7,12 | -1,21 | 6,45 | 100** | 4,62 |
Litbang Kompas | 29,50 | 33,76 | 4,26 | 17,50 | 22,46 | 4,96 | 5,70 | 12,62 | 6,92 | 20,44 | 10,72 | -9,72 | 15,67 | 7,12 | -8,55 | 10,59 | 100** | 6,88 |
Keterangan
S = hasil survei setiap lembaga penelitian
A = hasil aktual KPU
D = deviasi, selisih antara hasil aktual dan hasil survei
* Semua angka, kecuali IFES, diadaptasikan sehingga bisa dibandingkan
* Dengan adaptasi ini penampilan berbeda dari yang diumumkan di surat kabar
* Karena dasar perhitungan berbeda persentase tidak bisa dijumlahkan
**Pembulatan ke atas menyebabkan total persentase bisa lebih sedikit dari seratus.
Sumber: Litbang Kompas