Ujian nasional berbasis komputer yang dimulai 2014 untuk SD, SMP, dan SMA memang mampu mengurangi praktik pembocoran soal. Namun, tetap saja ini modifikasi ujian penghabisan yang dipandang tokoh pendidik Josephus Ignatius Gerardus Maria Drost SJ (1925-2005), sesungguhnya tidak diperlukan.
Drost menuangkan pemikiran itu pada bukunya, Reformasi Pengajaran, Salah Asuhan Orang Tua? (2000). Drost, lahir di Jakarta dan menjadi pastor Jesuit yang kemudian dikenal sebagai tokoh pendidik dan pembelajar yang banyak memberikan sumbangan pemikiran segar untuk pembaruan pendidikan di Indonesia.
Drost lulus dari Institut Teknologi Bandung tahun 1957 sebagai sarjana fisika. Ia menerima tahbisan imamat sebagai pastor pada 1960 di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Drost pernah ditugaskan sebagai Kepala SMA Kanisius Jakarta pada 1976-1987. Selanjutnya, sebagai Kepala SMA Gonzaga Jakarta (1987-1991). Namun, sebelumnya Drost pernah menduduki jabatan lebih tinggi sebagai Rektor IKIP Sanata Dharma pada 1964-1967 (kini Universitas Sanata Dharma) di Yogyakarta.
Tes meninggalkan sekolah
Ujian akhir di setiap jenjang SD, SMP, dan SMA disoroti Drost semata sebagai tes hasil menghafal. Anak didik yang pandai menghafal akan mendapatkan nilai yang baik.
Seperti di negara lain, Drost menganjurkan agar ujian akhir itu digantikan menjadi tes untuk meninggalkan jenjang sekolah tersebut. Materi ujiannya berupa tes psikologis untuk memberikan gambaran yang tepat mengenai kemampuan belajar anak di jenjang sekolah berikutnya.
Kini, ujian nasional berbasis komputer (UNBK) dimaksudkan pemerintah untuk pencapaian standar pendidikan. Drost menawarkan hal yang lebih dari sekadar mencapai sebuah standar pendidikan. Drost menyodorkan pemikiran tes untuk meninggalkan jenjang sekolah itu guna mencapai sebuah kematangan emosional dan intelektual ketika ingin memulai studi di jenjang berikutnya.
Pengamatan Drost cukup relevan hingga kini. Kurikulum universitas cukup baik, tetapi tidak cocok bagi kebanyakan mahasiswanya. Mahasiswa juga tak memiliki kemampuan belajar yang baik di universitas, tetapi memaksakan diri sehingga menjadi lulusan yang tidak bermutu dan sulit mendapatkan pekerjaan.
Kunci keberhasilan
Pembentukan potensi belajar dengan kematangan emosional dan intelektual menjadi kunci keberhasilan anak didik di setiap jenjang pendidikan. Ini yang tidak pernah kita sadari.
Drost mencatat kebiasaan buruk, yaitu mencari kambing hitam, ketika lulusan universitas itu tidak bermutu. Tak ada yang berani mengaku bahwa sewaktu masuk universitas itu tidak mempunyai kematangan emosional dan intelektual. Itu karena memang mereka tidak bisa memperolehnya melalui proses pembelajaran di sekolah menengah.
Kemudian ada catatan Drost yang tidak kalah menariknya. Ada kekeliruan besar mengenai tujuan pendidikan bagi orangtua dan sekolah yang semata ingin menjadikan anak pandai dalam hal meraih nilai pelajaran yang baik.
Itu dianggap sebagai kekeliruan besar oleh Drost karena tujuan pendidikan sesungguhnya untuk membantu anak tumbuh menjadi orang dewasa yang mandiri dalam kehidupan bermasyarakat. Orang dewasa mandiri itu sebagai orang yang mengetahui dirinya, baik keunggulan maupun kelemahan, yang kemudian mampu bertanggung jawab serta penuh perhatian kepada sesamanya.
Pemikiran-pemikiran Drost ini tidak akan pernah usang. Tetapi, ini bisa hilang karena mata kita selalu dibutakan oleh prestasi-prestasi semu yang dituangkan di atas kertas hasil nilai ujian nasional.(NAWA TUNGGAL)
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Mei 2016, di halaman 12 dengan judul “Ujian Nasional, Ujian Penghabisan yang Tidak Perlu”.