Daya Dukung Lingkungan Menjadi Acuan
Tren pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan, bahkan cenderung menambah lahan kritis, terbukti memicu peningkatan intensitas dan skala bencana. Pemerintah dituntut mengubah paradigma pembangunan dengan ukuran kemampuan daya dukung lingkungan.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Jakarta, Senin (20/3), mengakui, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup belum ditetapkan pemerintah.
“Tentang daya dukung dan daya tampung ini sangat sarat muatan akademik sehingga perdebatan akademiknya sangat panjang,” kata Siti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia mengatakan, penetapan peta daya dukung dan daya tampung lingkungan sebenarnya telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal itu juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP Instrumen Ekonomi. Namun, PP ini belum diterbitkan.
Siti mengatakan, peta daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup seharusnya bisa menjadi bahan pertimbangan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), serta berbagai penyusunan kebijakan/program pemerintah.
Melihat posisi pentingnya hal ini, Siti menjanjikan akan meminta jajaran Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan segera menyelesaikannya. “Saya tahu persis ada teori carrying capacity yang secara metodis ada cara hitung-hitungannya sampai ke konsep daya dukung tersebut. Sedapat mungkin harus punya simulasinya,” katanya.
Agus Maryono, Ketua Kelompok Kerja Banjir dan Kekeringan Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia yang juga pengajar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengatakan, pemerintah agar mengubah paradigma penilaian proyek atau pembangunan dengan ukuran kemampuan daya dukung. “Kegiatan apa pun harus mampu mempertahankan daya dukung, bahkan meningkatkan daya dukung,” ujarnya.
Agus mencontohkan, dalam pembangunan jalan tol yang memangkas daerah tangkapan air, perlu diikuti dengan membuat instrumen penangkap air hujan. Demikian halnya, pembangunan suatu proyek yang banyak menyedot air tanah harus diikuti dengan upaya mengisi kembali air tanah.
Pakar Kajian Agraria dan Ekologi Politik Institut Pertanian Bogor, Soeryo Adi Wibowo, berharap para kepala daerah lebih memiliki visi pembangunan berkelanjutan. Kenyataan selama ini, berdasarkan Riset Daya Dukung Pulau Jawa pada 2008 yang dilakukan Soeryo bersama sejumlah pakar untuk Kementerian Koordinator Perekonomian, peraturan daerah yang terbit setelah otonomi daerah motifnya lebih kuat berbasis ekonomi dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) daripada pengelolaan SDA berbasis ekosistem.
Dari 278 perda yang dikaji, 47 persen tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan 45 persen mencantumkan soal daya dukung, tetapi hanya administratif. “Ini belum dikaji dari izin-izin yang diterbitkan daerah,” katanya.
Tata ruang
Ari Mochamad dari Thamrin School mengatakan, meningkatnya tren bencana hidrometeorologi harus dilihat secara komprehensif dari hulu hingga hilir.
“Biasanya kita hanya fokus pada lokasi bencana, padahal itu tidak bisa dipisahkan dari kondisi hulu hingga ke hilir. Bagaimana pada satu lokasi dibiarkan mengubah ruang, mengubah kawasan tutupan lahan, dan ini yang terus terulang. Bagaimana masyarakat juga industri membuang sampah sembarangan, itu bisa menyebabkan masalah,” ujarnya.
Menurut Kepala Badan Geologi Ego Syahrial, tanah longsor biasanya terjadi karena di daerah zona kerentanan gerakan tanah tinggi atau menengah digunakan lahan pertanian, permukiman, ataupun industri.
“Lokasi-lokasi rawan longsor tersebut sudah dipetakan dan sering kali masyarakat sadar bahwa daerah mereka rawan longsor, tetapi tidak mempunyai pilihan lain,” katanya.
Ahli longsor dari UGM, Faisal Fathani, mengatakan, upaya penataan ruang berbasis mitigasi bencana merupakan kunci dalam mengurangi risiko bencana, utamanya banjir dan longsor. Misalnya, daerah sempadan sungai harus dijaga agar tidak dibangun rumah tinggal atau tempat usaha maupun bangunan. Semua pihak, baik pemerintah pusat hingga daerah, parlemen, pihak swasta, maupun warga masyarakat, harus bersama-sama menegakkan aturan dan regulasi untuk pengurangan risiko bencana ini.
Terkait penurunan kualitas lingkungan, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, sudah disepakati dalam rapat kerja untuk perbaikan kualitas hutan dengan reboisasi, baik dengan cara Gerhan maupun penyebaran benih melalui udara. Reboisasi ini diharapkan bisa memperbaiki semua daerah aliran sungai. Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat menjadi wilayah yang diprioritaskan saat ini.(ICH/ISW/NDY/INA/AIK)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Maret 2017, di halaman 13 dengan judul “Pemerintah agar Ubah Paradigma”.