Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi memastikan keberadaan Punan Batu, suku pemburu peramu yang hidup berpindah di hutan di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Untuk mengetahui asal-usul, kaitan dengan etnis lain, dan kondisi kesehatan mereka, pemeriksaan genetika akan dilakukan.
Upaya menjalin kontak dengan Punan Batu di Bulungan dilakukan peneliti Eijkman sejak Agustus lalu. Pemeriksaan genetika dimulai dari Senin (15/10/2018) sampai Sabtu (21/10).
”Keberadaan Punan Batu kerap dianggap dongeng. Ada orang Kalimantan tinggal di gua dan hidup berpindah dengan cara berburu dan meramu,” kata Wakil Direktur Eijkman Herawati Sudoyo Supolo di Bulungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/AHMAD ARIF–Masyarakat Punan Batu tinggal berpindah-pindah di gua-gua karst dan hutan di pedalaman Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, seperti terlihat, Senin (15/10/2018). Hingga saat ini kebanyakan di antara mereka belum memiliki identitas penduduk dan belum terlayani fasilitas pendidikan dan kesehatan. (Kompas/Ahmad Arif)
Punan Batu ialah komunitas etnis di Kalimantan yang paling sedikit diketahui publik. Kajian sebelumnya menyebut bahwa mereka ada di hutan, seperti sensus Punan 2002-2003 oleh Center for International Forestry Research (Cifor). Siapa mereka, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara hidupnya belum dijelaskan.
Suku Punan Batu belum diakui negara. Nama mereka tidak masuk daftar Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang diterbitkan Kementerian Sosial. ”Mereka (Punan Batu) belum terdata karena belum dilaporkan daerah,” kata Direktur KAT Kemensos Harapan Lumban Gaol.
Tanpa identitas
Sandi (20), anggota suku Punan Batu, menuturkan, mereka hidup di gua-gua karst dan hutan di hulu Sungai Sajau turun-temurun. Mereka hidup terpisah dalam kelompok kecil. ”Yang paling dekat jalan kaki sekitar sehari dari sungai. Paling jauh 15 hari jalan kaki,” ujarnya.
Orang Punan Batu berpindah tempat tinggal di hutan mengikuti hewan buruan dan ketersediaan umbi-umbian hutan sebagai pangan pokok. Mereka berpindah jika ada anggota komunitas meninggal. Itu mirip dengan praktik melangun pada Orang Rimba di Provinsi Jambi.
Tanpa Identitas
Sandi (20), anggota suku Punan Batu mengatakan, dari turun temurun mereka hidup di gua-gua karst dan hutan di hulu Sungai Sajau. Mereka hidup terpisah dalam kelompok-kelompok kecil. “Yang paling dekat jalan kaki sekitar sehari dari sungai. Paling jauh ada yang 15 hari jalan kaki,” kata dia.
Menurut Sandi, orang Punan Batu berpindah-pindah tempat tinggal di hutan mengikuti keberadaan binatang buruan dan ketersediaan umbi-umbian hutan, yang merupakan makanan pokok mereka. Selain itu, mereka juga akan berpindah jika ada anggota komunitas yang meninggal dunia. Fenomena ini mirip denga praktik melangun pada Orang Rimba di Provinsi Jambi.
”Anak-anak kami mau sekolah, tetapi tak mungkin jika harus pindah ke kota. Kami hidup dari hutan. Untuk identitas, kami berharap bisa mendapat pengobatan gratis,” kata Sandi.
Jumlah suku Punan Batu di Bulungan ada 100 keluarga. Mayoritas dari mereka belum punya KTP sehingga tak memiliki kartu jaminan kesehatan. ”Anak-anak tak bisa baca-tulis. Tak ada yang sekolah,” ucapnya.
Herawati mengatakan, penelitian terhadap orang Punan Batu ini diharapkan bisa mengetahui asal-usul mereka dan apa kaitannya dengan komunitas etnis lain, termasuk dengan Punan dari daerah lain.
Selain pemeriksaan genetik juga akan dilakukan pemeriksaan kesehatan, terutama kaitannya metabolisme tubuh mereka. Dengan adanya penelitian ini diharapkan juga masyarakat Punan Batu juga bisa lebih mendapatkan pengakuan dan hak-hak dasarnya, terutama pendidikan dan layanan kesehatan.
Selama ini Lembaga Eijkman telah mengambil sampel genetik orang Punan Aput dan Punan Tubu di Kabupaten Malinau. Punan merupakan sebutaan untuk membedakan dengan Dayak yang bercocok tanam.
Sekalipun Punan Aput dan Tubu dulu juga hidup berpindah-pindah dengan berburu dan meramu, namun saat ini mereka sudah menetap. Sejauh ini baru Punan Batu yang diketahui masih hidup berpindah-pindah di hutan Kalimantan.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 16 Oktober 2018