CATATAN IPTEK
Lebih dari 6 miliar orang di seluruh dunia harus menghirup udara yang tercemar setiap hari, menyebabkan 7 juta jiwa meninggal prematur tiap tahun. Sebanyak 600.000 korban adalah anak-anak.
Laporan Global Environment Outlook (GEO) 2019, yang diluncurkan dalam Sidang PBB tentang Lingkungan (UNEA-4) di Nairobi bulan lalu menyebutkan, polusi udara menjadi penyebab utama kematian yang dipicu pencemaran lingkungan. Dari sekitar 9 juta kematian dini per tahun yang dipicu persoalan lingkungan, hampir 80 persennya akibat polusi udara. Ini berarti sekitar 14 persen total kematian global disebabkan polusi udara.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Kabut menyelimuti kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Kamis (7/6/2018). Kondisi ini disebabkan oleh fenomena inversi yang terjadi karena lapisan inversi, campuran polusi udara, ditambah radiasi matahari yang menghalangi terurainya udara yang mampat dari permukaan hingga ketinggian 500 meter di atas permukaan laut (mdpl). KOMPAS/RIZA FATHONI
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski demikian, polusi udara merupakan pembunuh senyap sehingga tidak banyak mendapatkan perhatian dibandingkan epidemik lainnya. Korban polusi udara rata-rata tidak meninggal seketika, namun digerogoti berbagai penyakit mulai dari asma hingga kanker paru-paru. Sebanyak 43 persen kanker paru-paru dipicu oleh polusi udara. Sebanyak 1 dari 4 kasus stroke dan jantung juga bisa dikaitkan polusi udara.
Hasilnya, beban nasional terbesar dari kasus asma baru yang disebabkan oleh paparan NO2 terjadi di China dengan 760.000 kasus baru per tahun, disusul India sebesar 350.000 kasus baru per tahun, Amerika Serikat 240.000 kasus baru per tahun, dan Indonesia 160.000 kasus baru per tahun, serta Brasil 140.000 kasus baru per tahun.
Sejumlah pencemar yang berdampak besar terhadap kesehatan di antaranya ozone (O3), nitrogen dioksida (NO2) dan sulfur dioksida (SO2), selain partikel-partikel kecil yang bercampur dengan gas dengan konsentrasi tinggi. Partikel yang berukuran kurang dari 10 mikrometer (particullate matter/PM 10) atau yang lebih kecil lagi PM 2,5 menjadi amat membahayakan karena bisa bebas masuk ke dalam tubuh melalui paru-paru lalu mengikuti aliran darah.
Studi yang dilakukan Federico Karagulian (2015) di 51 negara menemukan, sektor transportasi menyumbang 25 persen sumber utama pencemar PM 2,5, 15 persen dari aktivitas industri, 20 persen dari rumah tangga, 22 persen dari sumber manusia namun belum jelas asalnya, dan 18 persen debu alami dan garam. Nitrogen dioksida, umumnya dikeluarkan dari pembangkit listrik batu bara, industri dan transportasi. Sedangkan sulfur diioksida utamanya dihasilkan dari pembakaran minyak fosil, baik batu bara maupun minyak dan smelter biji tambang yang mengandung sulfur.
Tak hanya sumber pencemar dari paparan di luar ruangan, polusi udara juga bisa dari dalam ruangan juga tak kalah berbahaya. Berbagai sumber pencemar dalam ruangan itu di antaranya, jamur dan serbuk sari, asap rokok, produk rumah tangga yang mengeluarkan gas radon dan karbon monoksida, serta berbagai material bangunan memakai asbes, formaldehid, hingga timbal.
Sekalipun banyak studi sudah memperingatkan tentang bahayanya, tren tingkat pencemaran udara secara global terus meningkat. Indonesia termasuk negara yang banyak disorot karena tingginya tren pencemaran udara dan dampak yang dialami masyarakatnya.
Studi terbaru dari para peneliti George Washington University Milken Institute School of Public Health (Milken Institute SPH), Amerika Serikat yang dipublikasikan di jurnal The Lancet Planetary Health edisi April 2019 menyebutkan, polusi NO2 menyebabkan 4 juta anak di seluruh dunia menderita asma setiap tahun dan 64 persen di antaranya tinggal di perkotaan.
Laporan terbaru Air Quality Life Index (AQLI) oleh Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC) juga menyebutkan, Indonesia menjadi satu dari 20 negara berpolusi tertinggi di dunia jika dilihat dari pencemaran PM 2,5. AQLI menunjukkan bahwa polusi partikulat di Indonesia mulai muncul menjadi masalah sejak 1998.
Mulai tahun itu hingga 2016, konsentrasi polusi partikulat meningkat 171 persen. Jakarta jadi kota paling terpolusi di Asia Tenggara dengan empat kali di atas batas aman tahunan menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (Kompas, 1 April 2019).
Selain sumber pencemaran yang rutin, dalam kurun tertentu Indonesia memiliki sumber pencemar udara yang volumenya amat besar, yaitu kebakaran hutan dan lahan. Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) saat puncak kebakaran hutan tahun 2015, konsentrasi PM10 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah bisa mencapai 3145 ?g /m3 dan di Jambi 868 ?g / m3. Volume ini melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh WHO sebesar 50 ?g / m3. Laporan GEO 2019 menyebutkan, polusi udara yang akibat kebakaran hutan dan lahan pada periode itu menyumbang 100.000 kematian dini di Indonesia.
Dengan tren ini, Indonesia seharusnya lebih serius lagi memperhitungkan dampak buruk polusi udara, yang secara teknis bisa dikurangi melalui berbagai kebijakan dan perubahan gaya hidup. Dari aspek kebijakan, negara bisa lebih serius lagi membatasi penggunaan kendaraan pribadi dan menggantinya dengan transportasi publik, terutama yang bersumber daya listrik.
Namun, seiring itu, kita juga sudah harus meninggalkan sumber listrik berbahan batubara dengan energi terbarukan, selain membatasi industri kotor. Beberapa negara seperti China yang selama ini kota-kotanya dikenal memiliki kualitas udara terburuk di dunia pun mulai berbenah. Contohnya, Ibukota China, Beijing, sejak 18 Maret 2017 mengganti seluruh kebutuhan energinya 11,3 juta kilowatt dengan pembangkit energi ramah lingkungan, seperti gas alam, panel surya, dan angin.
Penutupan pembangkit listrik tenaga batubara dilakukan bertahap di China sejak 2013, selain juga bertahap menutup—atau lebih tepatnya memindahkan—industri kotornya, seperti semen, ke luar negeri, salah satunya yang paling masif ke Indonesia. Menurut Yu Lei dkk (MIT Press, 2014), industri semen dan PLTU batubara adalah penyumbang pencemaran udara tertinggi di China.
Ke depan kita harus sudah menghitung bahwa pembengkakan beban negara yang harus dibayar kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan salah satunya adalah karena pilihan kebijakan pembangunan yang keliru. Manfaat ekonomi dari industri dan energi kotor harus dikomparasikan dengan dampak kesehatan yang pada akhirnya akan membebani negara.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 17 April 2019