Rendahnya nilai matematika dalam Ujian Nasional 2018 menunjukkan banyak guru dan siswa belum paham mengenai soal-soal penalaran. Metode ajar matematika perlu perombakan, dari sekadar penghafalan rumus menjadi pembelajaran yang komprehensif.
Berdasarkan data Pusat Penilaian Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), rata-rata 80 persen siswa SMP, SMA dan SMK yang mengikuti Ujian Nasional (UN) tahun 2018 mendapat nilai matematika kurang dari standar kompetensi, sebesar 55,1.
Persentase siswa dengan nilai UN matematika di bawah standar kompetensi itu adalah 77,93 persen untuk SMP, SMA jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (85,97 persen) dan jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (93,23 persen) serta SMK (92,86). Khusus untuk SMA dan SMK, akan diadakan UN perbaikan pada akhir bulan Juli.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pembina matematika dari Yayasan Simetri, lembaga yang melatih siswa-siswa Indonesia di olimpiade sains internasional, Surya Wijaya di Jakarta, Rabu (20/6/2018) mengatakan, soal-soal penalaran tingkat tinggi tidak menggunakan metode langsung. Misalnya, soal untuk menghitung luas bidang dijabarkan dalam bentuk cerita satu hingga dua paragraf.
“Butuh ketelitian membaca, memahami, dan menganalisa soal. Tiga kemampun ini memang kurang dimiliki siswa Indonesia,” tuturnya.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA–Pelajar menjajal simulasi matematika di Rumah Matematika di Surabaya. Rumah matematika tersbut akan menjadi pusat belajar matematika gratis bagi pelajar Surabaya.
Dua soal bertema kelipatan, bisa jadi contoh. Soal pertama bentuknya pertanyaan langsung seperti 0, 5, 10, 15. Untuk soal jenis ini umumnya siswa bisa mengerjakan. Namun, ketika pertanyaan tentang kelipatan itu dikemas dalam soal cerita, banyak siswa kebingungan mengerjakannya.
Salah satu contohnya, jumlah penduduk RI tahun 2018 sebanyak 250 juta. Setiap tahun rata-rata pertumbuhan penduduk 5 persen, sudah mencakup kelahiran dan kematian. Apabila diasumsikan pertambahan penduduk stabil, berapa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2050 ?
Surya menjelaskan, matematika terdiri dari empat tahap, yaitu membaca soal, mencari pola, mengeksekusi jawaban dan mengevaluasi jawaban. Tahap mencari pola bisa berupa pembuatan grafik, tabel, gambar atau rumus.
“Matematika bukan persoalan yang hanya memiliki satu rumus. Sebuah soal bisa memiliki banyak rumus untuk menuju pada satu jawaban yang benar,” kata Surya.
Agar bisa sampai ke kemampuan mencari rumus, guru harus pandai mengutak-atik soal. Permasalahannya, kebanyakan guru tidak memiliki waktu mengutak-atik soal karena harus juga mengurus administrasi kelas.
Kisi-Kisi
Selain itu, berdasarkan pengalamannya melatih guru-guru matematika, Surya menemukan fakta guru mengajar matematika di kelas berdasarkan soal-soal UN tahun sebelumnya. Soal-soal ini bentuknya sama, hanya berbeda angka.
“Tidak ada pengembangan nalar dan kreativitas pembahasan soal. Metode pembelajarannya hanya mengasah kemampuan menghitung angka yang bisa digantikan kalkulator,” ujarnya.
Ia juga mendapati guru tidak membahas materi tertentu dengan alasan hal tersebut tidak keluar di UN. Padahal, pelajaran matematika adalah satu kesatuan. Melompati materi tertentu, rentan mengakibatkan siswa tidak memahami pembelajaran secara komprehensif.
Menanggapi hal ini, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud Totok Supriyanto mengakui, sebagian siswa tidak bisa mengerjakan soal-soal berbentuk cerita.
Ketua Ikatan Guru Matematika Indonesia, salah satu bagian dari Ikatan Guru Indonesia, Khairuddin mengungkapkan, pelatihan guru-guru telah dilaksanakan sejak April lalu. Dari 67 kanal pelatihan, telah ditambah 19 kanal khusus pelatihan matematika dan fisika.
“Guru umumnya antusias belajar soal-soal dengan penalaran tingkat tinggi. Selain pelatihan, peningkatan motivasi terus dilakukan agar guru mau meluangkan waktu mengutak-atik soal,” kata guru matematika SMAN 1 Nurul Salam, Aceh Timur ini.–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 21 Juni 2018