Berapa hasil dari satu pertiga dikurangi dengan satu perenam?
Chief Executive Officer PT Zenius Education, perusahaan rintisan penyedia jasa pembelajaran elektronik (e-learning), Wisnu Subekti menyampaikan, pertanyaan tersebut sering membuat kening orang Indonesia berkerut. Alasannya sederhana.
Mengutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), pelajar Indonesia memiliki tingkat kompetensi yang rendah pada bidang membaca, sains, dan matematika berdasarkan penilaian Program for International Student Assessment (PISA) pada 2015.
Skor kompetensi membaca sebesar 397 poin, sains 403 poin, dan matematika 386 poin pada 2015. Meskipun ada sedikit perbaikan, tingkat kompetensi Indonesia masih di bawah rata-rata negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sebanyak 76 persen pelajar Indonesia bahkan tidak lolos ke level dua pada penilaian PISA. Hanya 0,3 persen yang lolos di level tertinggi, yaitu level lima dan enam,” kata Wisnu dalam acara “Investor Gathering Bizcom Indonesia: The Future of Education Technology” in Indonesia di Jakarta, Kamis (24/1/2019).
Menurut Wisnu, pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Namun, pemerataan akses dan kualitas pendidikan masih belum tercapai. Oleh karena itu, teknologi pendidikan merupakan salah satu solusi yang dapat mengatasi masalah tersebut.
Zenius merupakan satu dari perusahaan penyedia jasa belajar daring yang mulai menjamur di Indonesia. Perusahaan lain yang tidak kalah bunyinya antara lain PT Ruang Raya Indonesia atau Ruangguru dan PT Lingkar Edukasi Semesta atau Circledoo.
Wisnu berpendapat, pembelajaran elektronik dapat memberikan akses pendidikan ke daerah terpencil dan menghemat biaya operasional pembelajaran.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019, pemerintah meningkatkan alokasi anggaran untuk pendidikan menjadi Rp 492,5 triliun. Anggaran disalurkan melalui belanja pemerintah pusat Rp 163,1 triliun, transfer ke daerah Rp 308,4 triliun, serta pembiayaan investasi dana pengembangan pendidikan nasional (DPPN) Rp 20 triliun, dan dana abadi penelitian Rp 990 miliar. (Kompas, 24/1/2019).
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, peningkatan anggaran tidak disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan. Ini karena penggunaan anggaran masih berorientasi pada pembangunan fisik, seperti pembayaran gaji guru dan pembangunan infrastruktur sekolah.
“Alokasi anggaran untuk penelitian dan pengembangan serta riset masih kecil. Padahal, tren pendidikan Indonesia telah berkembang terlihat dari akses pembelajaran kini membaik, generasi muda menyukai materi yang menarik, serta peran guru menjadi lebih sederhana,” kata Hetifah.
Ia pun memberikan contoh terkait komitmen pemerintah yang dinilai masih setengah-setengah. Kemdikbud memiliki Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm). Namun, alokasi anggaran yang diberikan masih belum cukup. Sedangkan Pusbangfilm berperan penting untuk menciptakan video edukatif dan menarik bagi anak-anak di era teknologi digital saat ini.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA–Suasana “Investor Gathering Bizcom Indonesia: The Future of Education Technology” in Indonesia di Jakarta, Kamis (24/1/2019)
Direktur Pendidikan Tinggi, Iptek, dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Amich Alhumami, menyampaikan, pemerintah menyadari pentingnya investasi pembelajaran secara digital. Hanya saja, pembangunan sekolah secara fisik tetap diperlukan sebagai penunjang kegiatan pembelajaran.
Amich melanjutkan, ada sejumlah tantangan untuk menerapkan teknologi digital di bidang pendidikan. Contoh tantangan yang dihadapi adalah infrastruktur digital dan ahli teknologi digital yang masih kurang di Tanah Air. Kondisi ini diperparah dengan guru yang masih menerapkan metode pembelajaran yang konservatif.
Selain itu, penerapan teknologi pendidikan juga memerlukan intervensi secara sosial, ekonomi, dan politik agar dapat diterima. “Namun, Indonesia telah mengimplementasikan digitalisasi di sejumlah aspek,” katanya.
Misalnya, sejumlah sekolah dan universitas telah menggunakan buku pelajaran elektronik, memiliki perpustakaan digital, serta menerapkan sistem daring dalam ujian nasional.
Ketimpangan pendidikan
Jumlah partisipasi sekolah level menengah dan atas untuk masyarakat semua golongan terus meningkat selama 2000-2017. Namun, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017, ketimpangan pendidikan antara kelompok masyarakat bawah dan atas masih tinggi.
Kuintil satu atau golongan masyarakat berpenghasilan paling rendah memiliki tingkat partisipasi sebesar 58,7 persen. Sedangkan kuintil empat atau masyarakat berpenghasilan tinggi sebesar 82,4 persen.
Kondisi yang lebih memprihatinkan terjadi pada level pendidikan tinggi. Masih mengutip Susenas BPS, kuintil satu memiliki tingkat partisipasi hanya 10 persen. Adapun kuintil empat memiliki tingkat partisipasi hingga 62,2 persen.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA–Amich Alhumami
Menurut Amich, ketimpangan pendidikan terjadi akibat adanya ketimpangan pendapatan. Wilayah yang memiliki ketimpangan ekonomi tinggi cenderung memiliki ketimpangan pendidikan yang juga tinggi.
“Pemerintah, misalnya, telah melanjutkan program wajib belajar 12 tahun. Namun, itu tidak mudah. Pada keluarga yang tidak mampu, ada siswa sekolah dasar yang keluar sekolah untuk membantu mencari nafkah bagi keluarga,” ujar Amich.
Masalah tidak berhenti sampai di situ. Letak geografis tempat tinggal dan sekolah yang berjauhan juga menjadi hambatan para pelajar untuk memperoleh pendidikan.
Investasi modal manusia
Amich melanjutkan, tidak bisa dipungkiri, pendidikan yang menyeluruh dan berkualitas merupakan bentuk dari investasi modal manusia. Ketika investasi tersebut terpenuhi, Indonesia akan memiliki generasi muda yang terdidik. Ini akan membantu memacu pertumbuhan ekonomi bangsa.
“Jadi, harus ada ikhtiar lebih serius supaya layanan pendidikan merata dan capaian pendidikan bisa meningkat. Pemerintah berkomitmen pada pengembangan sumber daya manusia pada 2019,” katanya.
Menurut dia, sejumlah kementerian terkait telah bertemu dengan para penyedia fasilitas belajar daring. Pertemuan tersebut bertujuan untuk mengetahui potensi pembelajaran elektronik dan inovasi pengembangannya yang tepat.
Wisnu menambahkan, guru tidak perlu khawatir akan digantikan dengan keberadaan teknologi pendidikan. “Saya percaya hanya guru tidak kompeten yang akan digantikan teknologi. Sementara guru yang kompeten tidak akan tergantikan,” ucapnya.–ELSA EMIRIA LEBA
Sumber: Kompas, 29 Januari 2019