Pembatasan sosial berskala besar tidak akan efektif menekan meluasnya wabah Covid-19. Pemeriksaan virus korona baru secara massal dan penelusuran kontak menjadi kunci penanggulangan penyakit itu.
ADWIT B PRAMONO UNTUK KOMPAS–Pengendara yang melintasi perbatasan Minahasa dan Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, mengantre untuk memeriksakan suhu tubuhnya, Rabu (1/4/2020). Minahasa Tenggara membatasi lalu lintas ke wilayahnya secara mandiri untuk mencegah penularan Covid-19 atau penyakit infeksi yang disebabkan virus korona baru.
Pembatasan sosial skala besar untuk mencegah meluasnya wabah Covid-19 mesti diikuti penelusuran kontak dan pemeriksaan virus secara massal dan agresif. Hal itu bertujuan untuk mempercepat tindakan pengobatan dan isolasi bagi pasien agar tidak menulari orang lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, Rabu (1/4/2020), mengatakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Presiden kini telah mendeklarasikan Indonesia dalam situasi kedaruratan kesehatan masyarakat. Pembatasan sosial berskala besar pun dipilih sebagai solusi untuk menghadapi permasalahan tersebut.
”Pembatasan sosial berskala besar perlu diimplementasikan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, pastikan pula tes pada penduduk berisiko terinfeksi (Covid-19) dilakukan dengan cakupan lebih luas. Itu diperlukan agar dapat mengidentifikasi warga yang sudah terinfeksi agar bisa segera dilakukan isolasi ketat,” ujarnya.
Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan melakukan pelacakan kontak (contact tracing) pada kluster penularan yang sudah ditemukan. Selain itu, dukungan dari jejaring pengamanan sosial-ekonomi harus dipastikan agar masyarakat disiplin mematuhi aturan pembatasan sosial dan tidak memicu gejolak sosial.
”Intervensi ini perlu dilakukan selama sebulan penuh lalu dievaluasi apakah perlu diperpanjang atau intervensi tambahan. Yang paling penting, pembatasan sosial harus disertai pemeriksaan secara besar-besaran untuk mendeteksi orang yang terinfeksi dan mempertegas aturan pembatasan sosial agar penularan bisa ditekan,” tutur Pandu.
Karakter wilayah
Secara terpisah, Deputi IV Kantor Staf Presiden Juri Ardiantoro menjelaskan, kebijakan terkait pembatasan sosial berskala besar telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. Langkah itu dinilai paling rasional dipilih dengan pertimbangan karakter wilayah, demografi penduduk, dan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat.
Pembatasan sosial berskala besar sudah berjalan selama ini, seperti belajar di rumah, bekerja di rumah, beribadah di rumah, dan pembatasan kegiatan di tempat umum. Penetapan peraturan pemerintah itu bisa menjadi dasar hukum bagi pemerintah, gugus tugas, dan pemerintah daerah untuk pengambilan kebijakan lain terkait percepatan penanganan Covid-19.
”Setelah peraturan presiden ini terbit, maka pembatasan sosial betul-betul lebih tegas dan efektif serta terkoordinasi. Peraturan ini juga menjadi dasar hukum bagi pemerintah dan gugus tugas untuk menerbitkan kebijakan berlalu lintas, arus orang dan barang, serta kegiatan lain di masyarakat,” kata Juri.
Pelaksanaan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak bisa dilakukan di semua daerah. Pemerintah daerah baru bisa menjalankan PSBB jika sudah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kesehatan.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Kompleks Wisma Atlet yang telah beroperasi menjadi Rumah Sakit Darurat Penanganan Covid-19 di Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (1/4/2020). Akibat penyebaran virus korona baru yang meluas, pemerintah mengumumkan status kedaruratan kesehatan dan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Juri menuturkan, penerapan PSBB harus dipertimbangkan secara komprehensif menyangkut aspek epidemiologis besarnya ancaman, efektivitas dukungan sumber daya, teknik operasional, serta pertimbangan ekonomi, sosial, politik, budaya, pertahanan, dan keamanan.
”Jadi harus memenuhi kriteria itu dan hal itu tidak mudah serta tidak sederhana. Misalnya, jumlah kasus atau kematian akibat penyakit yang meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah yang ada kaitan epidemiologi dengan wilayah dan negara lain,” ujarnya.
Adapun mekanisme yang perlu dilakukan bagi daerah yang akan memberlakukan PSBB, yakni pemerintah daerah, baik gubernur, bupati, atau wali kota, dapat mengusulkan kondisi daerahnya ke Menteri Kesehatan dengan pertimbangan dari Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Pelaksanaan PSBB di daerah juga bisa dilakukan berdasarkan usulan langsung dari gugus tugas.
”Apabila Menteri Kesehatan menerima usulan dari ketua pelaksana gugus tugas dan kemudian ditetapkan wilayah tertentu atau daerah tentu itu melaksanakan kebijakan ini, wajib bagi daerah untuk melaksanakan keputusan Menteri Kesehatan yang berasal dari usulan ketua pelaksana gugus tugas percepatan penanganan Covid-19,” kata Juri.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menambahkan, pedoman-pedoman teknis terkait penerapan PSBB akan segera diterbitkan. Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bersama Kemenkes dan beberapa kementerian/ lembaga terkait, termasuk TNI/Polri, sedang menyelesaikan pedoman operasional.
Pedoman tersebut meliputi, antara lain, akan mengatur kriteria pembatasan, kewenangan dan tanggung jawab, koordinasi, hingga fasilitas-fasilitas yang dikecualikan dalam pembatasan sosial. ”Pedoman operasional sebagai acuan teknis penerapan PSBB akan ditetapkan dalam peraturan menteri sehingga sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan dan wajib diikuti,” kata Muhadjir.
Berdasarkan laporan harian dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia hingga 1 April 2020 pukul 12.00 mencapai 1.677 orang dengan 157 kematian yang tersebar di 32 provinsi. Sementara pasien yang sembuh secara akumulatif berjumlah 81 orang.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan, setidaknya ada 5.000 petugas kesehatan yang diterjunkan ke masyarakat untuk melakukan penyelidikan epidemiologi terkait penularan Covid-19. Para petugas ini juga bertugas memelajari pola kesehatan dan penyakit di populasi penduduk yang terdapat kasus infeksi Covid-19.
Distribusi alat tes cepat
Yurianto menambahkan, saat ini sudah didistribusikan 4.500 alat pemeriksaan cepat (rapid test) yang digunakan untuk penapisan awal kasus positif Covid-19. Lebih dari 6.500 spesimen juga telah dikirimkan ke 34 laboratorium pemeriksaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Spesimen ini diperiksa dengan metode PCR (polymerase chain reaction).
Selain itu, 340.000 alat pelindung diri didistribusikan ke sejumlah daerah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan. Sekitar 360 rumah sakit rujukan disiapkan untuk melayani perawatan pasien Covid-19 yang terdiri dari rumah sakit milik pemerintah, TNI, Polri, BUMN, dan swasta.
Yurianto menambahkan, pemerintah mendorong pemanfaatan mesin pemeriksaan TB PCR yang ada di 132 rumah sakit dan di beberapa puskesmas terpilih untuk pemeriksaan Covid-19. Penggunaan mesin ini diharapkan bisa mempercepat pemeriksaan pada orang yang diduga terinfeksi penyakit tersebut.
”Hari ini atau besok, cartridge yang khusus Covid-19 akan masuk. Ini tidak mudah karena akan butuh perubahan pada setting mesin. Namun, harapannya bisa memperpendek waktu pengiriman dari pasien ke laboratorium pengujian. Ini juga lebih baik karena pemeriksaannya melalui antigen bukan antibody seperti pada alat rapid test,” ujarnya.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 2 April 2020