Kesempatan Rusia, Biaya dan Risiko Ditanggung Indonesia
Rencana Badan Tenaga Nuklir Nasional membangun reaktor daya eksperimental atau pembangkit listrik tenaga nuklir skala kecil dipertanyakan sejumlah pihak. Proyek itu dinilai janggal karena diklaim menggunakan reaktor generasi keempat yang masih dalam penelitian dan baru terwujud tahun 2030.
Hal itu muncul dalam seminar “Dampak Sosial Teknologi Nuklir” di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (25/6), yang diadakan Masyarakat Reksa Bumi (Marem) dan Sosiology Research Center UGM. Hadir berbicara anggota Dewan Energi Nasional, Rinaldy Dalimi; Guru Besar Sosiologi UGM Heru Nugroho; pakar turbin dari LSM Marem, Lilo Sunaryo; dan pakar fisika nuklir eksperimen Iwan Kurniawan.
Iwan mengatakan, Batan menyebut reaktor daya eksperimental (RDE) akan memakai reaktor tipe high temperature gas cooled reactor (HTGR) generasi keempat. RDE buatan Batan yang ditargetkan selesai tahun 2019 itu diklaim punya sejumlah fungsi, tak hanya menghasilkan listrik, tetapi juga hidrogen dan untuk mencairkan batubara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, kata Iwan, hingga kini belum ada negara punya reaktor tipe HTGR multifungsi, seperti diklaim Batan. Reaktor tipe itu masih diteliti dan dikembangkan Sejumlah ahli bahkan memperkirakan prototipe HTGR generasi IV baru jadi tahun 2030.
“Lalu, kenapa Batan bisa mengklaim memiliki reaktor HTGR generasi IV tahun 2019? Teknologi kita kalah jauh dengan negara-negara maju,” katanya.
Pertanyaan lain
Seperti diberitakan, Batan berencana membangun RDE atau PLTN mini berkapasitas 10 megawatt di kompleks Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Banten. Pembangunan RDE dilakukan badan usaha milik negara Rekayasa Industri dan perusahaan milik Pemerintah Rusia, Rosatum (Kompas, 16/4).
Rencana Batan menggandeng perusahaan Rusia memancing pertanyaan. Rusia memang meriset teknologi reaktor HTGR di 26 laboratorium di negara itu. Namun, mereka belum membangun RDE berbasis teknologi HTGR.
Pada 2013, kerja sama Rusia-Amerika Serikat mengembangkan reaktor berbasis HTGR dihentikan karena kesulitan keuangan. “Rusia bisa dikatakan sedang mencari investor mengembangkan HTGR. Jadi, kerja sama dengan Batan tersebut kesempatan Rusia membangun HTGR dengan biaya dan risiko ditanggung Indonesia,” kata Iwan.
Untuk itu, Iwan minta proyek RDE dihentikan. Apalagi, risiko pengembangan PLTN sangat besar karena menghasilkan limbah nuklir berbahaya.
Menurut Rinaldy, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menyatakan, pengembangan energi nuklir pilihan terakhir. Indonesia punya sumber lain, terutama energi terbarukan yang aman dan murah. (HRS)
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Juni 2015, di halaman 18 dengan judul “Pembangunan PLTN Mini Dipertanyakan”.