Penyebab Rentetan Gempa di Jailolo Belum Diketahui
Rentetan gempa bumi di Jailolo, Halmahera Barat, Maluku, telah mencapai 1.600 kali. Sejauh ini belum bisa diketahui penyebab dan implikasi dari rentetan gempa bumi tersebut. Dibutuhkan pemantauan dan riset lebih mendalam karena dikhawatirkan ini menandai adanya pergerakan magmatis yang cukup besar.
“Kejadian gempa-gempa kecil dalam jumlah yang banyak atau disebut swarm di Jailolo sejak 27 September 2017 kemungkinan terkait dengan aktivitas migrasi fluida atau magmatik. Melihat tingginya kegempaan, saya menduga ada sesuatu yang besar tengah terjadi,” kata Irwan Meilano, ahli geodesi kebumian dari Institut Teknologi Bandung, Minggu (1/10), di Jakarta.
Menurut Irwan, aktivitas magmatik ini bisa saja menjadi erupsi, contohnya di Gunung Miyakejima, Jepang, pada 2000. Namun, aktivitas itu bisa juga tidak berujung letusan seperti terjadi di Jalilolo pada 2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pergerakan magmatik yang ditunjukan dengan gempa-gempa kecil dalam jumlah banyak ini, menurut Irwan, bisa juga meningkatkan tegangan di daerah Halmahera dan memicu terjadinya gempa tektonik lebih besar. “Perlu diingat, wilayah Halmahera merupakan zona kegempaan sangat aktif. Ini wilayah pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan lempeng laut Filipina,” katanya.
Irwan menyarankan penting dilakukan riset yang mendalam untuk memahami gempa swarm di Halmahera Barat, untuk memahami pola migrasi magmatik tersebut terkait dengan aktivitas gunung api yang mana. Tanpa dukungan data, sulit mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.
“Riset kegempaan, deformasi (GPS), dan geologi detail sangat mendesak untuk dilakukan. Tujuannya, salah satunya mengamati kemungkinan adanya peningkatan aktivitas vulkanik di gunung api di wilayah Halmahera,” katanya.
Rahma Hanifa, peneliti gempa dari ITB, menyebutkan, gempa swarm juga dilaporkan terjadi di sekitar Kaldera Yellowstone, supervolcano di Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan Newsweek pada 1 September 2017, gempa swarm terdeteksi terjadi di Yellowstone sejak Juni 2017 dan pada 30 Agustus 2017 mencapai rekor tertinggi dengan frekuensi mencapai 2.357 kali.
Pemantauan intensif
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Daryono mengatakan, frekuensi gempa swarm di Jailolo hingga kini masih tinggi, walaupun trennya mulai menurun. “Sejak terekam pada Rabu (27/9) hingga Minggu sore (kemarin), jumlah gempanya sudah mencapai 1.600 kali,” katanya.
Di antara gempa ini, yang dapat dianalisis parameternya sebanyak 412 kejadian. Sementara gempa bumi yang dirasakan dengan kekuatan kurang dari Magnitudo 5,0 sebanyak 74 kejadian. Selebihnya gempa-gempa yang terekam relatif kecil dan sulit diketahui mekanismenya.
Daryono mengatakan, sejauh ini masih kesulitan membaca pola dari gempa swarm ini. “Saat terjadi swarm di kawasan ini pada 2015 terlihat banyak sesar turunnya yang menggambarkan terjadi proses intrusi magma. Namun, sekarang kebanyakan berupa patahan mendatar (strike slip) yang menggambarkan gempa tektonik,” ujarnya.
Sejauh ini, kata Daryono, belum bisa memastikan apa yang terjadi di Jailolo. Dia sepakat bahwa dibutuhkan penelitian dan pemantauan yang lebih intensif di kawasan ini.
Nova Heryantoko dari BMKG mengatakan, setelah gempa swarm di Jailolo pada 2015 sebenarnya telah ada penelitian yang dilakukan Puslitbang-BMKG bekerja sama dengan Pusat Riset Ilmu Kebumian (GFZ-Jerman).
“Dalam penelitian tersebut salah satunya dengan memonitor seismik dan memasang GPS. Pengolahan data GPS ini dilakukan langsung oleh GFZ. Kita masih menunggu hasilnya,” katanya. (AIK)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Oktober 2017, di halaman 14 dengan judul “Pemantauan dan Riset Mendalam Dibutuhkan”.