Pemanfaatan energi baru dan terbarukan berpotensi untuk diterapkan pada fasilitas sektor pertahanan. Potensi ini dinilai semakin tinggi dengan berkembangnya teknologi pada era revolusi industri 4.0.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral FX Sutijastoto mengatakan, sektor pertahanan punya peranan besar dalam penggunaan energi. Namun, sebagian besar kebutuhan listrik mereka masih ditopang oleh pembangkit listrik konvensional.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI–Pembangkit listrik tenaga surya di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (23/4/2019), menjadi salah satu bentuk energi baru terbarukan yang terus dikembangkan. Sampai saat ini baru 9 persen pembangunan energi baru terbarukan yang dbangun dari 23 persen energi baru terbarukan yang ditargetkan selesai sampai tahun 2025.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Pada wilayah terpencil, seperti di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Utara, sebagian besar kebutuhan listrik masih mengandalkan pembangkit konvensional. Padahal, biaya untuk mengalirkan listrik ke wilayah terpencil cukup mahal karena jauhnya akses wilayah,” ucap Sutijastoto dalam Seminar Nasional Perwira Siswa Sekolah Komando Angkatan Udara Angkatan Ke-105, di Jakarta Timur, Selasa (30/4/2019).
KOMPAS/ADITYA DIVERANTA–Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Minera, FX Sutijastoto
Ia mengatakan, kendala akses wilayah dapat diatasi dengan potensi energi baru dan terbarukan (EBT). Sebagai contoh, pada era revolusi industri 4.0, banyak negara yang menerapkan diversifikasi EBT, mulai dari tenaga panas bumi, bioenergi, surya, angin, air, dan arus gelombang laut.
Sebagai contoh, pembangkit listrik dari panel surya atap dapat dimanfaatkan di wilayah terpencil. Setiap satu panel surya atap menghasilkan pasokan sekitar 10 kilowatt peak. Jumlah sebesar itu, menurut dia, dapat dimanfaatkan untuk aliran listrik pada prasarana jalan, seperti lampu penerangan.
Dari situ, kebutuhan listrik yang lebih besar kemudian dapat dipenuhi dengan diversifikasi EBT. Selain tenaga surya, pasokan listrik dapat dipenuhi dengan pembangkit tenaga angin dan panas bumi.
–Potensi Energi Baru Terbarukan
Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Yuyu Sutisna mengatakan, diversifikasi energi melalui EBT sebenarnya sudah mulai dilakukan tahun ini. TNI AU bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah membuat proyek percontohan Pos Satuan Radar yang didukung dengan energi surya.
Selain itu, ia menambahkan, kendaraan operasional di semua satuan radar dan pangkalan udara ingin diperbarui dengan kendaraan bertenaga listrik.
”Hal ini masih diuji coba secara bertahap. Ke depan, kami juga ingin mengarahkan penggunaan EBT tersebut pada 21 Pos Satuan Radar di wilayah terpencil,” ujar Yuyu.
KOMPAS/ADITYA DIVERANTA–Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Yuyu Sutisna
Target
Sutijastoto mengatakan, EBT yang diterapkan di Indonesia saat ini baru sekitar 9,42 gigawatt. Jumlah ini masih sangat sedikit apabila melihat total potensi EBT di Indonesia yang dihitung oleh ESDM, yakni mencapai 442 gigawatt.
Ia menargetkan, penerapan EBT dapat ditingkatkan hingga 23 persen dari potensi total pada 2025. Untuk mengejar hal ini, Kementerian ESDM telah menargetkan sejumlah program pemberdayaan EBT.
”Tahun ini Kementerian ESDM menargetkan 50.000 penerangan jalan umum sudah menggunakan perangkat panel surya. Secara total, pasokan listrik dari EBT kami harap mencapai target sebesar 45,2 gigawatt hingga tahun 2025,” kata Yuyu.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Surya Darma mengatakan, penerapan EBT di Indonesia perlu segera dilakukan. Sebab, selama ini Indonesia hanya mengandalkan komoditas sumber daya alam untuk berbagai macam kebutuhan. Apabila masih seperti itu, ia memprediksi pada 2030 stok sumber daya alam Indonesia akan semakin menipis.
”Logikanya, kalau sumber daya alam digunakan untuk berbagai hal, baik untuk pembangkit listrik, bahan bakar kendaraan, maupun sebagai komoditas impor, semuanya akan habis. Tidak menutup kemungkinan kalau nanti tahun 2030 kita malah mengimpor sumber daya alam dari negara lain,” ungkapnya.–ADITYA DIVERANTA
Sumber: Kompas, 30 April 2019