Kita seharusnya belajar dari pengalaman tahun lalu, kasus baru Covid-19 melonjak pada empat momen libur panjang. Libur panjang dengan kecenderungan masyarakat melakukan perjalanan terbukti telah memicu lonjakan kasus.
Prediksi peningkatan kasus Covid-19 pasca-perayaan libur Lebaran menjadi kenyataan. Zona merah Covid-19 di Indonesia kembali meningkat.
Penambahan zona merah Covid-19 karena jumlah tren penambahan kasus positif Covid-19 kembali naik. Kasus positif Covid-19 di Kudus, Jawa Tengah, meningkat drastis. Satgas Covid-19 pada Rabu (9/6/2021) menyebut total kasus di Kudus dalam tiga minggu terakhir, tepatnya pasca-Lebaran 2021, meningkat hingga 7.594 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Angka ini menjadikan Kudus kota dengan lonjakan kasus tertinggi di Indonesia, sebagai imbas dari Lebaran 2021. Hampir 50 persen dari total jumlah desa di Kabupaten Kudus, masuk dalam zona merah Covid-19. Selain penambahan kasus harian, kasus aktif juga mengalami lonjakan dalam sepekan lebih terakhir. Penularan Covid-19 meningkat ditandai dengan positivity rate naik drastis. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan standar aman positivity rate Covid-19 di bawah 5 persen.
Setelah Lebaran, angka positivity rate tersebut terindikasi meningkat. Jika kita menilik Provinsi DKI Jakarta, sungguh sangat miris. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi DKI Jakarta, positivity rate kasus baru harian di Ibu Kota kembali di atas 10 persen.
Pada Sabtu (1/5/2021), positivity rate di Jakarta tercatat sebesar 12,3 persen. Perinciannya, dari 6.957 orang yang dites dengan metode PCR, sebanyak 854 orang dinyatakan positif Covid-19. Sementara pada Minggu (2/5/2021), ada 6.765 orang yang dites dan 757 orang di antaranya terpapar Covid-19. Positivity rate pada hari tersebut mencapai 11,2 persen. Jauh di atas standar positivity rate Covid-19 sebesar 5 persen yang ditetapkan oleh WHO.
Beberapa faktor
Pertanyaannya, mengapa positivity rate Covid-19 meningkat? Sekurangnya ada beberapa penyebab peningkatan tersebut, antara lain banyak data dari hasil tes swab PCR yang jika hasilnya negatif, tidak langsung dikirim ke sistem data pusat. Pemeriksaan positif bisa langsung dicatat agar pasien bisa langsung diisolasi. Dengan demikian, data yang diterima Kementerian Kesehatan lebih banyak merupakan data kasus positif Covid-19, sehingga hasil pemeriksaan negatif tidak dimasukkan.
Sebab lainnya, pemeriksaan positif dicatat agar segera bisa diisolasi. Tentu saja ini mengakibatkan positivity rate naik. Sementara itu, menurut Menteri Kesehatan, jumlah pemeriksaan atau testing Covid-19 kurang, sementara kasus positif di masyarakat kemungkinan banyak.
Anjuran agar masyarakat yang melakukan perjalanan melakukan isolasi mandiri selama lima hari setelah tiba di tempat tujuan, sudahkah dipatuhi? Hal ini berlaku baik bagi masyarakat yang positif dari hasil pemeriksaan acak, ataupun yang dinyatakan negatif.
Tidak mengherankan jika berdasarkan perhitungan Kompas, sampai pekan ketiga pasca-Lebaran, terjadi peningkatan 3.704 kasus (10,1 persen) dibandingkan dengan kasus mingguan sebelum Lebaran. Angka ini diyakini belum menjadi puncak imbas Lebaran. Sebagai perbandingan, puncak kasus pasca-liburan Natal-Tahun Baru terjadi sekitar satu bulan setelah hari terakhir liburan.
Jawa Tengah, di samping Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, merupakan beberapa provinsi potensi tujuan mudik. Penerapan protokol kesehatan menjadi kunci utama menekan potensi penularan, terutama pada saat mudik Lebaran. Dalam kenyataannya, prinsip ini tidak selalu diterapkan di daerah tujuan sehingga terjadi ”ledakan” penderita di beberapa daerah.
Kita ambil contoh kota Kudus yang tiba-tiba terkejut setelah terjadi ”ledakan” penderita, bahkan sejumlah rumah sakit di kota tersebut tidak mampu menampungnya. Seperti telah disinggung di atas, Kudus menjadi kabupaten dengan jumlah kasus paling tinggi. Kota-kota sekitarnya seperti Semarang, Pati, bahkan Asrama Haji Donohudan pun penuh penderita dari kota tersebut.
Lonjakan kasus juga terjadi di Jawa Timur, sesama provinsi tujuan mudik, dengan kenaikan 92 kasus antara sepekan sebelum Lebaran dengan tiga pekan sesudah Lebaran. Sepekan lebih terakhir, kasus Covid-19 melonjak di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Lamongan.
Peningkatan kasus di Bangkalan didominasi oleh kluster tenaga kesehatan. Sementara di Lamongan, ledakan kasus bermula dari warga sakit yang sebelumnya pergi ke Bojonegoro dan Sidoarjo. Bahkan Tugas Covid-19 di masing-masing kabupaten telah menerapkan karantina wilayah (lockdown) terbatas.
Covid-19 bukan tidak mungkin dicegah pasca-liburan, termasuk pasca-Idul Fitri. Lonjakan kasus bisa dicegah, terutama di pintu-pintu masuk baik udara, laut maupun darat. Bahkan pembatasan perjalanan orang dengan moda-moda transportasi tersebut telah dilakukan, terutama darat.
Namun, seperti yang kita saksikan, upaya kucing-kucingan dengan aparat tetap dilakukan. Seharusnya karantina terpusat wajib dilakukan untuk para pelaku perjalanan yang memiliki gejala, baik yang menggunakan moda transportasi laut, udara tanpa kecuali.
Pemantauan dan pelacakan kontak wajib dilaksanakan bagi pelaku perjalanan jika tak menjalani karantina terpusat dan melakukan isolasi mandiri.
Notifikasi berjenjang pada pelaku perjalanan harus ditindaklanjuti ke kabupaten/kota. Pelacakan kasus dan pemantauan pelaku perjalanan ditingkat kabupaten/kota bisa memanfaatkan aparat pemerintahan desa/kelurahan dan kelompok masyarakat dengan tetap memerhatikan hak dan privasi warga serta tidak menimbulkan diskriminasi dan stigma bagi pelaku perjalanan.
Isolasi atau karantina?
Terdapat perbedaan antara isolasi dan karantina yang perlu dipahami masyarakat. Karantina ditujukan bagi orang sehat yang tidak memiliki gejala Covid-19, tetapi melakukan kontak erat dengan kasus positif atau baru melakukan aktivitas berisiko tinggi terpapar, seperti mobilitas yang tinggi saat pandemi. Sementara isolasi harus dilakukan orang bergejala atau yang positif korona dari hasil diagnosis yang akurat.
Karantina adalah upaya memisahkan seseorang yang terpapar Covid-19, baik dari riwayat kontak atau riwayat bepergian ke wilayah yang telah terjadi transmisi komunitas, meskipun demikian belum menunjukkan gejala apa pun atau sedang dalam masa inkubasi yang bertujuan untuk mengurangi risiko penularan. Karantina dilakukan meskipun belum menunjukkan gejala apa pun atau sedang dalam masa inkubasi.
Seseorang dinyatakan selesai karantina apabila exit test pada hari kelima memberikan hasil negatif. Jika exit test positif, orang tersebut dinyatakan sebagai kasus terkonfirmasi Covid-19 dan harus menjalani isolasi. Jika exit test tidak dilakukan, karantina harus dilakukan selama 14 hari.
Berbeda dengan isolasi, karena di sini merupakan upaya memisahkan seseorang yang sakit yang membutuhkan perawatan atau seseorang terkonfirmasi Covid-19, dari orang yang sehat yang bertujuan untuk mengurangi risiko penularan. Pada kasus terkonfirmasi yang tidak bergejala (asimtomatik), isolasi dilakukan selama sekurang-kurangnya 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi.
Sedangkan pada kasus terkonfirmasi yang bergejala, isolasi dilakukan selama sepuluh hari sejak muncul gejala ditambah dengan sekurang-kurangnya tiga hari bebas gejala demam dan gangguan pernapasan. Dengan demikian, untuk kasus-kasus yang mengalami gejala selama sepuluh hari atau kurang harus menjalani isolasi selama 13 hari.
Kita perlu belajar untuk mengantisipasi lonjakan kasus baru Covid-19 pasca-liburan panjang. Kita pun seharusnya telah belajar dari pengalaman tahun lalu, kasus baru Covid-19 melonjak pada empat momen libur panjang. Libur panjang yang diiringi dengan kecenderungan masyarakat melakukan perjalanan terbukti telah menjadi pemicu lonjakan kasus Covid-19.
Apalagi perjalanan libur panjang yang kerap diiringi penurunan kepatuhan terhadap protokol kesehatan. Pos komando di desa/kelurahan setempat harus mengawasi pelaksanaan karantina. Mereka juga perlu melaksanakan upaya preventif lainnya secara paralel seperti testing dan penelusuran (tracing).
(Anies, Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro)
Editor: YOHANES KRISNAWAN
Sumber: Kompas, 22 Juni 2021