Pelajaran dari KLB Difteri

- Editor

Kamis, 14 Desember 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Berita penetapan difteri sebagai status kejadian luar biasa sungguh sangat memprihatinkan. Pemberitaan terakhir, sudah ada kasus kejadian luar biasa (KLB) di 20 provinsi. Kementerian Kesehatan menyebutkan, hingga November 2017 sudah ada 561 kasus difteri, di mana sebanyak 32 orang meninggal.

Penyakit ini memang jahat karena dampak dari toksinnya yang menimbulkan komplikasi saluran napas dan miokarditis (radang dinding otot jantung). Penderita bisa mengalami paralisis atau lumpuh kranial (saraf kesadaran) dan perifer (saraf tepi) di otak. Sendi, tulang, dan ginjal pun bisa terserang difteri.

Siapa pun dan semua orang yang belum diimunisasi atau divaksinasi sangat mudah berisiko menjadi target serangan difteri. Ini bisa terjadi di belahan dunia mana saja, tak terkecuali negara maju. Bedanya di negara maju, angka fatalitasnya sangat mudah dikendalikan karena ditunjang oleh standar hidup yang lebih baik, mudahnya imunisasi massal, diagnosis yang lebih baik, dimungkinkannya pengobatan segera, dan perawatan yang lebih efektif.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Indikasi masalah
Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal, menurut data Kementerian Kesehatan, penyakit ini sudah bisa dikuasai pada tahun 1990, tetapi kemudian muncul lagi pada 2009, dan dikuasai lagi pada 2013. Munculnya kejadian luar biasa ini seakan memberi sinyal bahwa ada masalah dalam memberikan perawatan di daerah wabah sehingga perlu penyempurnaan dalam kebijakan politik kesehatan kita. Masalah yang dimaksud termasuk—tetapi tidak terbatas pada—cakupan vaksinasi yang buruk, sistem surveilans penyakit, dan keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan.

Apakah program imunisasinya mulai kendor atau tidak efektif? Dari pengamatan, program imunisasi patut dicurigai efektivitasnya. Bisa jadi karena kurangnya persiapan dan kapasitas pemimpin di tingkat lokal dalam menjalankan program vaksinasi seperti faktor melacak dan menghitung vaksin yang akurat dan distribusi serta penyerapannya; target populasi, jadwal vaksinasi, strategi kampanye, kriteria kelayakan yang longgar.

Dalam kaitan ini, rasanya sulit diterima mengingat selama ini program posyandu dengan imunisasinya seakan menjadi satu paket di wilayah kerjanya. Profesionalitas mestinya dikedepankan, lagi pula ada program updating kompetensi setiap tahun.

Kemungkinan lain, justru sifat biologis penyakit difteri itu sendiri. Bahwa penularan memang tak pernah terputus sama sekali, dan wabah yang terisolasi akan terus terjadi, terutama di kalangan anak-anak, sepanjang tahun, dan penyakit ini mempertahankan endemisitas tingkat rendah di beberapa wilayah. Pada momen tertentu, setelah beberapa tahun mengalami penurunan infrastruktur kesehatan masyarakat, termasuk penurunan tingkat cakupan imunisasi difteri-tetanus dan vaksin pertusis (DTP) di antara anak-anak, biasanya terjadi kebangkitan difteri, terutama di pusat-pusat perkotaan.

Hal ini yang secara serius perlu kita cermati bersama agar peta jalan untuk keluar dari kasus wabah segera terealisasi. Munculnya epideminya kemungkinan dimulai di antara anak-anak dari daerah tempat program imunisasi anak-anak yang tidak memadai, lalu menyebar dengan cepat ke orang dewasa yang tidak dilindungi secara memadai.

Peran vaksinasi
Jika menengok dari Ukraina, pada tahun 1991 negara ini mengalami kembalinya epidemi difteri setelah beberapa dekade terkontrol dengan angka kurang dari 40 kasus sporadis yang dilaporkan setiap tahun. Kejadian meningkat berawal di ketiga provinsinya. Dua tahun kemudian epidemi telah menyebar ke separuh dari wilayah (provinsi), dan dua tahun kemudian semua (27) wilayah terpengaruh dengan puncaknya pada 1995 dengan angka di atas 5.000 kasus dan lebih dari 200 kematian dilaporkan terjadi.

Hal yang sama terjadi di bekas induknya, wabah merebak bertepatan dengan pecahnya Uni Soviet pada awal 1990-an, saat tingkat vaksinasi turun sangat rendah sehingga terjadi ledakan kasus difteri. Setahun kemudian ledakan meluas sebanyak 2.000 kasus, hingga menyebar ke seluruh bagian Eropa lain, di antaranya Belgia, Finlandia, Polandia, dan Jerman. Ini semua sangat terkait dengan karakter anak-anak yang tak divaksinasi.

Jelaslah bahwa vaksinasi sangat berkontribusi dalam konteks penyakit difteri. Dengan meluasnya penggunaan vaksin, dilaporkan tingkat difteri turun dengan cepat sejak tahun 1920-an. Analisis ini menunjukkan bahwa ada kaitan erat antara sifat biologis penyakit dan program imunisasi sebagai penangkal serangan yang menakutkan. Untuk itu, menjadi sangat jelas dalam menentukan langkah keluar dari masalah wabah difteri.

Namun, harus diingat betapapun peta jalan itu jelas, akan menjadi kompleks ketika situasi ini dipersulit dengan kenyataan lemahnya dukungan ekonomi pada program promosi kesehatan, lengketnya desentralisasi sistem kesehatan masyarakat, yang berarti setiap wilayah sangat bervariasi dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga menyulitkan pemerintah pusat bergerak untuk keluar dari masalah ini.

Langkah pencegahan
Dalam upaya mendukung keberhasilan peta jalan bebas difteri, sangat penting untuk memperhatikan kebersihan pribadi. Hal ini mengingat fakta bahwa difteri ditularkan melalui inhalasi tetesan pernapasan di udara dan juga dapat melalui kontak fisik dengan barang-barang rumah tangga dan atau barang-barang pribadi yang terkontaminasi. Pengetahuan orangtua terhadap gejala demam, sakit tenggorokan, dan kelenjar bengkak seperti apa yang menuntut tindakan membawa pasien ke dokter juga diperlukan.

Kementerian Kesehatan juga perlu untuk bahu-membahu dengan Majelis Ulama Indonesia terkait kemungkinan penguatan lagi dari fatwa untuk mewajibkan orangtua memvaksinasi anak-anak kita, dan jika sudah, pengingatannya secara periodik perlu terus dilakukan. Selain itu, kebijakan yang mendukung gagasan (yang mungkin saja diperdebatkan) untuk menolak pendaftaran siswa yang tidak divaksinasi ke sekolah perlu segera mulai dipertimbangkan.

Dengan demikian, pemerintah harus memprakarsai program penguatan peningkatan imunisasi di antara anak-anak dan orang dewasa yang berisiko, terutama di daerah wabah, dan sekiranya sudah semakin siap, strategi imunisasi massal di lakukan dalam upaya untuk meminimalisasi epidemi yang bersifat meningkat secara eksponensial ini.

Hal lain adalah perlunya kampanye imunisasi massal diawali segera dan dilanjutkan dengan program memperkenalkan imunisasi anak rutin dengan toxoids DTP, yang diikuti oleh dosis penguat anak dari vaksin toksin diphtheria-tetanus (DT) yang dikombinasikan dengan dosis tokenoid tetanus-diphtheria remaja dewasa dan dewasa (Td).

Dengan situasi seperti ini, wabah yang menjadikan kita semua bersedih, yang semestinya bisa dihindari dengan penguatan dan penegakan program imunisasi universal pada bayi dan anak-anak, mestinya bisa dihindari. Nasi sudah menjadi bubur. Mari kita semua membantu program bersama ini agar tidak terulang.

DJOKO SANTOSO, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Sumber: Kompas, 14 Desember 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Sejarah Ilmu Kedokteran
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Berita ini 14 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:27 WIB

Sejarah Ilmu Kedokteran

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB