Indonesia tidak mau terburu-buru untuk meratifikasi Amendemen Kigali pada Protokol Montreal terkait pengurangan penggunaan refrigeran hydrofluorocarbon (HFC) untuk menekan emisi gas rumah kaca. Sebelum menyepakati perjanjian itu, pemerintah akan memastikan dahulu kesiapan dari sektor industri.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agus Sugardiman di Jakarta, Kamis (28/2/2019), mengatakan, pemerintah tidak segera meratifikasinya karena harus segera ditindaklanjuti tiga bulan setelah ditandatangani. Hal ini berbeda dengan perjanjian lainnya yang baru ditindaklanjuti beberapa tahun setelah diratifikasi.
Indonesia mesti mempertimbangkan kesiapan industri karena baru beberapa tahun beralih dari Hydrochlorofluorocarbons (HCFC) ke HFC. “Kalau tahun sekarang ikut diratifikasi, mereka harus kembali mengubah teknologi. Itu berat bagi industri. Selain itu, pengganti HFC harganya masih mahal,” kata Ruandha.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)–Pekerja memasukkan ikan beku dari gudang berpendingin ke dalam kontainer di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta, Rabu (5/10/2016). Para pengusaha yang berada di kawasan tersebut berencana mogok operasi pada 10 Oktober mendatang sebagi bentuk protes atas naiknya sewa lahan hingga lebih dari 400 persen.
Ruandha menyampaikan pendapatnya di sela-sela Workshop on HFC Enabling Activities dalam Rangka Implementasi Protokol Montreal di Jakarta, Kamis. Lokakarya yang diikuti oleh perwakilan sektor industri itu merupakan rangkaian persiapan Indonesia untuk meratifikasi Amendemen Kigali.
Amendemen Kigali yang dihasilkan pada Oktober 2016 di Rwanda merupakan perkembangan Protokol Montreal yang diratifikasi Indonesia pada 1992. Amendemen itu untuk menggalang kekuatan global dalam menekan pemakaian HFC yang sebelumnya ditawarkan sebagai pengganti HCFC, refrigeran pada lemari pendingin, pendingin ruangan, bahan pembuatan busa, dan pemadam api (Kompas, 4/12/2017).
Penggunaan HCFC dihapuskan karena berpotensi merusak lapisan ozon dan meningkatkan gas rumah kaca. HFC lebih ramah terhadap ozon, tetapi memiliki gas rumah kaca ribuan kali lebih besar dibandingkan karbon dioksida (CO2). Melalui Amendemen Kigali, negara-negara di dunia berupaya mengganti pemakaian HFC dengan bahan kimia lain yang lebih ramah iklim. Sekarang, sudah 68 yang meratifikasi dari total 197 negara.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Workshop on HFC Enabling Activities dalam Rangka Implementasi Protokol Montreal yang diadakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, Kamis (28/2/2019).
Meski demikian, Indonesia harus meratifikasi agar tetap bisa mengimpor HFC atau pun refrigeran pengganti. Menurut Ruandha, amendemen itu ditargetkan akan diratifikasi dalam waktu dua-tiga tahun ke depan.
Pemerintah sedang mempersiapkan inventarisasi penggunaan HFC di Indonesia; tata niaga impor HFC, termasuk pengaturan lisensi impor dan harmonised system (HS) code HFC; dan penetapan garis dasar (baseline) konsumsi HFC di Indonesia tahun 2020, 2021, dan 2022.
“Kita masih punya waktu menjelang diterapkan pada 2023. Jadi, kita inventarisasi kebutuhan kita 2020, 2021, dan 2022 sehingga bisa diperkirakan kebutuhan HFC. Kemudian, kita bisa lakukan simulasi dan modeling, industri mana saja yang kebutuhannya tinggi,” kata Ruandha.
Target
Pada Amendemen Kigali untuk kelompok negara berkembang, Indonesia termasuk ke grup 1. Adapun target pengurangan konsumsi HFC dibandingkan garis dasarnya, yaitu 0 persen pada 2024, 10 persen pada 2029, 30 persen pada 2035, 50 persen pada 2040, dan 80 persen pada 2045.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Ruandha Agus Sugardiman (kiri)
Ruandha menambahkan, pencapaian target itu dapat dicapai dengan adanya alih teknologi pada sektor industri manufaktur dan pelayanan. Namun, ahli teknologi itu tetap mempertimbangkan bahan pengganti HFC yang harganya kompetitif dan tersedia secara luas di pasar.
Ruanda juga mendorong Kementerian Perindustrian sebagai pembina sektor industri untuk memfasilitasi industri dalam mencari teknologi pengganti HFC agar produk yang dihasilkan tetap kompetitif, berdaya saing, dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan keselamatan.
Kepala Pusat Industri Hijau, Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Kementerian Perindustrian Teddy Caster Sianturi mengatakan, sektor industri memang butuh waktu beradaptasi untuk mengurangi konsumsi HFC.
Perubahan tidak bisa mendadak karena industri punya stok bahan baku, perlu penyesuaian teknologi, dan pertimbangan lainnya. “Terutama pada bagian pelayanan yang porsinya cukup besar,” kata Teddy.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Teddy Caster Sianturi
Meski demikian, upaya mengurangi konsumsi HFC menjadi peluang bagi pemerintah dalam mengatasi ketergantungan impor. Pesan dari Ruandha untuk mencari teknologi dan refrigeran pengganti HFC cukup menantang. Kementerian Perindustrian akan berdiskusi dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Kementerian Ristek Dikti, dan dunia usaha untuk menjajaki kemungkinan ini.
“Insvestasi di sektor hulu memang besar. Maka kami berinisiatif melihat mata rantainya. Apakah bisa jawab tantangan itu atau akan terus bergantung pada impor,” ujarnya.(YOLA SASTRA)–PASCAL S BIN SAJU
Sumber: Kompas, 28 Februari 2019