Penyediaan obat antivirus (direct acting antiviral/DAA) oleh pemerintah belum bisa menjangkau semua penderita hepatitis C. Akibatnya, sejumlah pasien hepatitis C yang menjalani terapi interferon putus berobat karena terkendala biaya. Obat itu diusulkan masuk program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi hepatitis C 1,01 persen atau sekitar 2,5 juta orang. Ada 50 persen dari jumlah total pasien menderita hepatitis C menahun dan 10 persen dari pasien menuju fibrosis hati yang bisa memicu kanker hati.
Namun, Kepala Subdirektorat Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Sedya Dwisangka mengatakan, pemerintah baru menyediakan obat DAA bagi 2.000 orang. Obat itu difokuskan ke 6 provinsi, yakni Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Jadi, penyediaan pengobatan gratis terbatas daripada estimasi jumlah penderita hepatitis C. Sebab, anggaran minim,” kata Sedya, di Jakarta, Jumat (26/1).
Biaya terapi
Obat DAA lebih murah daripada terapi interferon yang mencapai Rp 150 juta per orang. Adapun obat DAA butuh biaya Rp 15 juta per orang. Tingkat keberhasilan obat DAA hingga 90 persen. ”Hepatitis cepat memicu komplikasi. Kami berharap program baru ini makin banyak cakupannya,” ujarnya.
Ke depan, program penyediaan obat itu akan dimasukkan program JJKN-KIS. Itu butuh penyesuaian 2-3 tahun sambil pemerintah mencari jenis DAA paling efektif dan efisien.
Asisten Deputi Direksi Bidang Pengelolaan Fasilitas Kesehatan Rujukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Beno Herman mengatakan, obat DAA belum ditanggung BPJS Kesehatan karena tak terdaftar di Formularium Nasional serta Badan Pengawas Obat dan Makanan. ”Kami perlu memastikan DAA ini efektif,” ujarnya.
Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta Gerald Mario menuturkan, RSKO tak dimasukkan pemerintah dalam program DAA. Padahal, ada 400 pasien hepatitis di RS itu. ”Pasien hepatitis banyak karena pengguna narkoba suntikan dibawa ke RSKO,” ujarnya.
Persaudaraan Korban NAPZA Indonesia (PKNI) menyebut, hasil riset besaran pengeluaran pasien hepatitis C Juli 2017 sampai Januari 2018 menunjukkan, 37 persen dari jumlah pasien tak tahu hepatitis C ditanggung BPJS Kesehatan.
Konsultan Penelitian PKNI, Catherine Thomas, mengatakan, hal itu menyebabkan sebagian pasien hepatitis C putus berobat karena tidak punya dana. (DD18)
Sumber: Kompas, 27 Januari 2018