Pemanfaatan panas bumi atau geotermal di Indonesia sebagai pembangkit listrik perlu digenjot. Risiko investasi dari tingkat eksplorasi dan kepastian garansi jangka panjang melalui feed in tariff atau tarif khusus menjadi tantangan pengembangan panas bumi di ”Negeri Cincin Api” ini.
Sejumlah pihak terkait menanti penerapan beberapa kebijakan Pemerintah Indonesia. Salah satunya, kemudahan eksplorasi dan eksploitasi panas bumi pada kawasan hutan lewat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Dalam UU itu, pemanfaatan panas bumi termasuk pemanfaatan jasa lingkungan bukan tambang.
Kebijakan lain, penugasan pemerintah pada PT Sarana Multi Infrastruktur untuk memberikan dana penyediaan infrastruktur sektor panas bumi. Dana itu bisa dipakai untuk pemberian pinjaman, penyertaan modal, ataupun penyediaan data dan informasi panas bumi (pengeboran eksplorasi).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Para pembicara menyampaikan paparannya dalam Pertemuan dan Eksibisi Geotermal Internasional -Indonesia (IIGCE) Ke-6 di Jakarta Convention Center, Jumat (7/9/2018). Tampak para pembicara (kiri-kanan) Alexander Richter (Presiden Asosiasi Geotermal Internasional/IGA), Peter Johansen (World Bank), Yuichiro Yoi (Asian Development Bank), Hardiv Situmeang (Dewan Riset Nasional), dan Darwin Trisna Djajawinata (PT Sarana Multi Infrastruktur/SMI sebagai moderator).
”Kita harus menjalankan aksi. Sektor energi ini tidak hanya soal supply ballance, tetapi juga mitigasi (perubahan iklim),” kata Hardiv Situmeang, anggota Dewan Riset Nasional, seusai menjadi panelis di Pertemuan dan Ekshibisi Geotermal Internasional Indonesia Ke-6, Jumat (7/9/2018), di Jakarta.
Kita harus menjalankan aksi. Sektor energi ini tidak hanya soal supply ballance, tetapi juga mitigasi (perubahan iklim).
Panas bumi termasuk solusi menekan emisi gas rumah kaca Indonesia. Hardiv yang juga anggota Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim
di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengingatkan, sektor energi memiliki pekerjaan rumah besar terhadap kontribusi penurunan emisi nasional atau NDC.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)–Aktivitas perawatan instalasi separator di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wayang Windu yang dikelola oleh PT. Star Energy di Desa Margamukti, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (28/9/2012). PLTP Wayang Windu dengan 2 unit pembangkitnya mampu memproduksi energi listrik 227 megawatt. –Kompas/Priyombodo
Penurunan emisi
Pada NDC Indonesia, diproyeksikan pada 2030, sektor energi mengemisi 1.669 juta ton CO2-e, lebih tinggi dibanding sektor kehutanan 714 juta ton CO2-e. Namun, target penurunan emisi sektor energi (11-14 persen) lebih rendah dari sektor hutan (17,2-23 persen) dari janji penurunan emisi Indonesia 29-41 persen tahun 2030.
Penurunan emisi lebih ambisius diperlukan karena kalkulasi seluruh NDC anggota Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) belum mampu mengerem penambahan suhu 2 derajat celsius dibanding masa praindustri.
Alexander Richter, Presiden Asosiasi Geotermal Internasional (IGA), mengatakan, Turki cepat mengembangkan energi panas bumi lantaran skema feed in tariff atau tarif khusus jangka panjang yang menjamin investor. Ambisi Turki membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) didukung insentif dana komponen pembangkit yang diproduksi di Turki.
Namun, pembiayaan pada risiko eksplorasi jadi tantangan. Bank Dunia menyebut, lebih dari separuh PLTP di dunia dibiayai dana publik (pemerintah) sebagai penanggung risiko.
Grafis kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi di Indonesia sejak 2014-2017 dan rencana pengembangan di 2018.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 8 September 2018