Palapa, Visi Ruang Angkasa

- Editor

Jumat, 10 Juli 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Boleh jadi satu pemandangan yang kontras: Presiden Soeharto tampak masih mengenakan sarung dan surjan, sementara yang ia saksikan adalah pameran teknologi canggih, berupa peluncuran satelit Palapa. Sungguh harmoni yang mengesankan.

Setidaknya ada tiga hal yang dapat kita jadikan refleksi atas peristiwa bersejarah tersebut.

Pertama, peluncuran Palapa A—yang kemudian diikuti dengan seri Palapa B, C, D, dan yang akan datang seri E, direncanakan diluncurkan tahun 2016—menandai kemenangan visi. Keputusan Presiden Soeharto untuk mengadakan satelit bisa saja dilihat sebagai ”proyek mercusuar”, mengingat Indonesia baru satu dekade bangkit dari kekalutan dan lilitan kemiskinan. Mengapa tidak memperluas jaringan telekomunikasi terestrial secara bertahap, tetapi malah memilih satelit yang dikategorikan sebagai teknologi tinggi?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Didukung oleh teknolog cemerlang dan visioner seperti mendiang Prof Iskandar Alisjahbana, program Palapa dapat diwujudkan, lengkap dengan stasiun pengendalinya di Cibinong.

4ae96a59cb9f4aeabdb46ce690c4d2c9KOMPAS/DUDI SUDIBYO–Peluncuran satelit Palapa A1 berlangsung 8 Juli 1976 waktu timur Amerika, dan beritanya dimuat di Kompas 10 Juli 1976 sebagai headline, mengambil judul ”Peluncuran Palapa Berjalan Sempurna”.

Palapa mengingatkan besarnya manfaat visi. Ibaratnya, ia bak skala mikro Proyek Apollo yang dicanangkan Presiden John Kennedy tahun 1961. Proyek besar dilaksanakan tanpa takut dikritik menghabiskan uang dan dicap proyek mercusuar.

Kedua, meski sempat dilihat sebagai salah satu prasarana untuk memenangi pemilu yang dilaksanakan setahun kemudian, Palapa secara nyata memperlihatkan keampuhannya untuk mempersatukan Nusantara. Dengan dukungannya, pidato kenegaraan Presiden Soeharto Agustus 1976 dapat disiarkan secara langsung ke segenap penjuru Indonesia. Sambungan telepon interlokal pun semakin mudah dan berkualitas. Seiring dengan itu, Palapa pun memperkuat rasa kebangsaan dengan semakin meningkatnya konektivitas antarwarga bangsa.

Ketiga, melalui Palapa ikut bangkit kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya teknologi antariksa. Untuk mengetahui pola cuaca, ada satelit yang dibuat khusus untuk maksud itu. Demikian pula untuk mengetahui kandungan mineral ataupun sumber daya alam lain, ada satelit jenis itu. Peta yang dihasilkan oleh foto satelit bisa membantu perencanaan wilayah dan pembangunan. Luar biasa manfaat teknologi antariksa yang satu ini.

Kini, secara bertahap Indonesia juga mulai membuat satelit sendiri. Mula-mula bekerja sama dengan lembaga asing, kini Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) mulai mengembangkan kemampuannya untuk mendesain satelit nasional. Mungkin masih primitif dibandingkan dengan satelit mata-mata Amerika yang bisa melihat pelat nomor mobil dari orbitnya. Namun, kita berbesar hati bahwa tekad itu kini nyata tumbuh di sanubari bangsa.

Yang tidak kalah pentingnya, satelit juga melahirkan spin-off, atau dorongan samping, antara lain teknologi peroketan ikut berkembang, meskipun ini lebih sulit karena peroketan merupakan teknologi berwajah ganda (sipil dan militer, sebagai peluru kendali, atau misil).

Semoga Palapa terus menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia, tidak saja untuk memanfaatkannya di bidang telekomunikasi dan inventarisasi sumber daya alam, tetapi juga sebagai bekal angan-angan untuk berhijrah ke koloni antariksa, manakala Bumi sudah tak laik huni.–NINOK LEKSONO

merupakan ARSIP KOMPAS, 10 JULI 1976
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Juli 2015, di halaman 15 dengan judul “Palapa, Visi Ruang Angkasa”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Anak-anak Sinar

Selasa, 15 Jul 2025 - 08:30 WIB

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB