Pengetahuan ilmiah tidak seharusnya hanya diterima mentah-mentah sebagai sebuah pengetahuan yang mutlak benar. Pada dasarnya, pengetahuan ilmiah tidak berhenti pada aspek teoritis dan terampil, tetapi harus muncul mentalitas kritis dan rasa ingin tahu untuk menciptakan suatu hal yang baru.
Ilmuwan Indonesia dalam bidang Fisika, Suharyo Sumowidagdo, mengatakan, secara umum, pandangan soal pengetahuan ilmiah saat ini masih belum dipandang sebagaimana kodratnya. Pengetahuan ilmiah seharusnya mengajak manusia untuk senantiasa berpikir kritis, mempertanyakan, lalu mencari pengetahuan sendiri dengan suatu ilmu yang baru. Suharyo menyebut konsep tersebut adalah perangai ilmiah (scientific temper).
“Dengan konsep perangai ilmiah, maka roda pengetahuan ilmiah ini akan terus berputar. Penelitian kita tidak akan terhambat,” ujar Suharyo, dalam jumpa pers jelang Indonesia Science Expo (ISE) 2018, di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, pada Rabu (14/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adapun, ISE 2018 merupakan penyelenggaraan ketiga, sebelumnya diadakan pada 2015 dan 2017. Acara akan diselenggarakan pada 1-4 November 2018 di Indonesia Convention Exhibition, Bumi Serpong Damai, Tangerang. Tak berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya, selain pameran, ada beberapa kegiatan yang akan digelar dalam acara tersebut antara lain konferensi ilmiah berskala internasional dan Youth Science Fair 2018.
Suharyo menuturkan, mentalitas perangai ilmiah tersebut harus sudah mulai dibangun sejak dini atau dunia persekolahan. Sejak kecil, anak-anak selalu memiliki pertanyaan kritis terhadap dunia yang orang dewasa telah mengetahui jawabannya. Namun, perbedaannya dengan mentalitas perangai ilmiah, anak-anak tersebut memiliki pertanyaan yang belum ada jawabannya.
NIKOLAUS HARBOWO–Pelaksana Tugas Kepala LIPI Bambang Subiyanto, Executive Vice President Media Group Mohammad Mirdal Akib, Peraih Anugerah Musik Indonesia (AMI) kategori Best Children Male Solo Artist, Kafin Sulthan Reviera, dan Ilmuwan Indonesia dalam bidang Fisika, Suharyo Sumowidagdo dalam jumpa pers jelang Indonesia Science Expo (ISE) 2018, di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, pada Rabu (14/3).
“Dia akan mencari jawaban atas pertanyaan yang belum terjawab. Rasa ingin tahu, berpikir kritis, dan selalu penuh rasa penasaran itu yang seharusnya dibangun. Kita di sekolah, di kampus, belajar banyak soal teori pengetahuan ilmiah, tetapi kita tidak pernah terpikir, dari mana ilmu itu berasal. Kita terima-terima saja rumus-rumus yang sudah ada,” katanya.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Laksana Tri Handoko berharap, acara ISE 2018 nanti tidak hanya menarik bagi para peneliti profesional, tetapi kalangan anak-anak, dari tingkat SD hingga SMA. “Kami ingin memancing kreativitas mereka, meningkatkan awareness mereka dalam hal penelitian. Kami ingin menarik minat anak terhadap ilmu pengetahuan,” ucap Handoko.
Menurut Handoko, investasi jangka panjang yang paling tepat bukan lagi infrastruktur dan komoditas, melainkan peningkatan kapabilitas dalam pengetahuan ilmiah sejak dini. Nantinya, para siswa tersebut akan mengembalikan pengetahuan ilmiahnya ke dalam pengetahuan yang baru.
“Investasi sumber daya manusia penting karena negara tidak hanya diuntungkan oleh warganya yang berpengetahuan tinggi, tetapi dia bisa mengembalikan dengan pengetahuan yang baru, menciptakan hal yang baru,” ujarnya.
Peraih Anugerah Musik Indonesia (AMI) kategori Best Children Male Solo Artist, Kafin Sulthan Reviera, ternyata tidak hanya piawai dalam bermusik, tetapi juga pengetahun. Kevin mengaku sudah mulai bisa membaca pada umur dua tahun.
“Dari umur enam bulan, saya tertarik banget huruf-huruf dan tabel-tabel yang disusun secara rapih. SD tertarik tabel periodik Kimia. Dari situ saya tertarik untuk cepat-cepat belajar Kimia,” ujar Kafin yang di umurnya 13 tahun saat ini, tetapi sudah menginjak kelas III SMA.
Kafin suka dalam dunia seni, karena itu, ia terkadang menghapalkan mata pelajaran sambil dibawa dalam alunan musik, atau divisualisasikan ke dalam gambar. “Saya senang karena saya dibebaskan oleh orang tua saya untuk belajar sesuai dengan dengan minat dan bakat saya. Jadi saya bebas mengeksplor lebih jauh,” ujarnya.
Tepat guna
Pelaksana Tugas Kepala LIPI Bambang Subiyanto mengatakan, selama ini banyak penelitian yang mangkrak karena tidak dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu, agar hasil penelitian dapat lebih tepat guna bagi masyarakat, LIPI telah membentuk dua tim yang terdiri dari ahli sosial dan teknologi.
“Prinsipnya, peneliti masuk desa. Mereka akan masuk dalam suatu wilayah yang kategori tertinggal. Kemudian, mereka akan telusuri permasalahan di sana, sumber daya alam apa yang bisa dikembangkan, kemudian mencari solusi teknologinya,” ujar Bambang.
Dengan demikian, menurut dia, hasil penelitian akan lebih tepat guna karena tidak hanya diintervensi secara teknologi, tetapi juga sosial. Tak berhenti di situ, menurut Bambang, upaya pendampingan juga perlu terus dilakukan kepada masyarakat dalam menggunakan teknologi agar tidak terbengkalai.
“Jadi, sistem kami tidak hit and run. Tetapi, kami akan mendampingi masyarakat di daerah itu sampai mandiri, baik pangan, energi, atau dalam menyelesaikan masalah,” ujarnya. (DD18)
Sumber: Kompas, 15 Maret 2018