Owa kalimantan (Hylobates albibarbis) yang hidup di rawa gambut di Kalimantan Tengah membutuhkan 21 hektar hingga 51 hektar wilayah hutan untuk setiap kelompok. Luasnya wilayah yang diperlukan ini membuat populasi mereka sangat rentan terhadap hilangnya habitat hutan tempat tinggal mereka.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO–Salah satu peneliti bidang biodiversitas dari Borneo Nature Foundation mengamati pohon-pohon di Laboratorium Alam Hutan Gambut di Sebangau, Kalimantan Tengah, Selasa (26/6/2018). Tempat ini memiliki kekayaan flora dan fauna alam Kalimantan, termasuk owa kalimantan.
Penelitian tentang luasnya habitat owa kalimantan ini berjudul ”Variasi Jangkauan Rumah dan Kesetiaan Situs Owa Kalimantan (Hylobates albibarbis) pada 2010-2018”. Penelitian dimuat dalam jurnal akses terbuka PLOS ONE31 Juli 2019, yang juga dipublikasikan Science Daily.
Penelitian dilakukan tim penelitian dari Universitas Oxford Brookes, Oxford, Inggris, seperti Susan M Cheyne, Bernat Ripoll Capilla, Abdulaziz K, Supiansyah, Adul, Eka Cahyaningrum, serta David Ehlers Smith dari Universitas Kwazulu Natal, Pietermaritzburg, Afrika Selatan.
Dalam jurnal disebutkan, lokasi penelitian adalah Laboratorium Nasional Hutan Rawa Gambut yang dikelola Pusat Kerja Sama Internasional dalam Pengelolaan Lahan Gambut Tropis. Lokasi penelitian terletak di Hutan Sebangau, Kalimantan Tengah.
Owa adalah makhluk yang sangat teritorial, yang habitatnya terancam oleh deforestasi dan kebakaran hutan. Namun, hanya sedikit yang diketahui tentang ukuran wilayah mereka atau bagaimana mereka menggunakan ruang untuk makan dan kegiatan sosial. Para peneliti memantau empat kelompok owa kalimantan liar di Sebangau antara 2010 dan 2018, merekam lokasi kelompok tersebut dengan alat global positioning system (GPS), serta pengamatan perilaku makhluk itu.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO–Suasana di Punggualas, kawasan ekowisata di Taman Nasional Sebangau, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Tutupan hutan dan danau hitam menjadi salah satu daya tariknya. Namun, habitat orangutan juga kerap menarik perhatian para peneliti atau pelajar.
Mereka menemukan bahwa wilayah owa kalimantan meliputi wilayah inti antara 21 hektar dan 52 hektar. Di wilayah inti ini, owa kalimantan tidur, bersosialisasi, dan melakukan panggilan ”duet” satu sama lain, dan wilayahnya mereka bela dengan keras. Namun, owa kalimantan juga menjelajah ke wilayah yang lebih luas hingga 148 hektar sehingga harus berbagi dengan dengan kelompok owa tetangga.
Wilayah tiga kelompok tetap lebih kurang sama selama studi sembilan tahun, tetapi satu kelompok terpaksa menggeser jangkauan mereka ke barat ketika bagian dari habitat mereka dirusak oleh kebakaran hutan pada tahun 2015, yang menghancurkan hutan di seluruh Pulau Kalimantan dan Sumatera. Daerah jelajahnya yang luas dan perilaku teritorialnya mungkin membuat owa kalimantan sangat rentan terhadap hilangnya habitat karena mereka didesak ke dalam hutan yang terlalu sempit untuk mengakomodasi berbagai kelompok yang bersaing.
”Owa menunjukkan kesetiaan situs yang tinggi untuk area hutan tertentu dan mempertahankan wilayah ini selama bertahun-tahun. Memahami bagaimana owa menggunakan hutan sangat penting untuk konservasi mereka. Data ini dapat dijadikan sumber untuk menciptakan kawasan lindung dengan ukuran yang sesuai dan kualitas habitat untuk mempertahankan populasi owa yang suka bernyanyi dan berayun-ayun ini,” kata Susan M Cheyne, seperti dikutip Science Daily.
Harian Kompas, 13 Juni 2008, sudah melaporkan ancaman atas habitat owa kalimantan ini. Beralihnya kawasan hutan untuk beragam peruntukan, terutama perkebunan kelapa sawit, mengancam kelestarian owa kalimantan. Hutan alam merupakan habitat primata tersebut.
AP–Owa siam (Hylobates lar) di Taman Satwa Nyiregyhaza, Hongaria, 17 Februari 2016. Indonesia memiliki owa asli, seperti owa kalimantan.
Setiap keluarga owa atau kalaweit dalam bahasa Dayak membutuhkan area jelajah hingga 30 hektar dan tidak bisa berbagi wilayah dengan keluarga owa lainnya. ”Saat ini sulit mencari hutan alami untuk pelepasan owa,” kata Manajer Program Yayasan Kalaweit untuk Wilayah Kalimantan Hamdani di Palangkaraya, seperti dikutip harian Kompas (Kamis, 12/6/2008).
Owa merupakan satwa yang banyak diburu. Selain oleh masyarakat umum, satwa ini juga banyak dipelihara pejabat karena sering kali diberikan sebagai tanda mata kepada pejabat bersangkutan. Owa memiliki suara lengkingan yang bagus sehingga fungsinya bagi si pemilik tak ubahnya burung kicau. Harga jual anakan owa usia enam bulan di pasar gelap tergolong murah, hanya Rp 200.000 per ekor pada tahun 2008.
Oleh SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas, 1 Agustus 2019