Puskesmas Seharusnya Menjadi Garda Depan Layanan Kesehatan
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Komunitas Konservasi Indonesia Warsi menuntaskan pengambilan genetika dan pemeriksaan kesehatan Orang Rimba di Bukit Duabelas, Jambi. Itu diharapkan jadi dasar penanganan kesehatan Orang Rimba, yang belum terakses layanan dari pemerintah.
Sebanyak 590 sampel darah individu diambil dari 7 kelompok Orang Rimba di Bukit Duabelas. Jumlah itu, menurut data Warsi, sekitar sepertiga dari total Orang Rimba berjumlah 1.657 orang di Bukit Duabelas. Sebagian kecil Orang Rimba menetap di luar kawasan hutan dan berbaur dengan masyarakat desa, tetapi sebagian besar masih berburu dan meramu di dalam hutan.
Pengambilan sampel terakhir dilakukan di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) Rimba Hutani Mas, Kabupaten Batanghari, Jumat (11/12). Daerah itu dihuni Orang Rimba anggota kelompok Tumenggung Ngamal dan Ngirang, yang tengah melangun, tradisi mengelana karena ada kematian keluarga mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Di dua komunitas itu, banyak ditemukan kematian karena batuk rejan. Beberapa tahun lalu ditemukan kasus gizi buruk,” kata Kristiawan, anggota Warsi.
Sementara kasus kematian hepatitis ditemukan selama 4 tahun berturut-turut sejak 2011 pada rombongan Tumenggung Menyurau dan Tumenggung Nyenong, di Terab, Kabupaten Batanghari. “Orang Rimba yang kami bawa ke rumah sakit karena sakit dan positif hepatitis B sudah 4 orang. Semuanya akhirnya meninggal karena kondisinya parah. Namun, yang tak terpantau lebih banyak lagi karena tak ada pendataan dan layanan medis rutin bagi mereka,” ujarnya.
Terkait hal itu, Warsi kemudian mengajak Lembaga Eijkman, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk membantu memetakan kesehatan Orang Rimba.
“Dari pengambilan sampel ini, kita akan tahu peta genetika Orang Rimba, kerentanan dan ketahanan pada penyakit, termasuk varian virus atau parasit dalam darah mereka, sehingga bisa ditangani dengan tepat,” ucap Deputi Direktur Bidang Penelitian Fundamental Lembaga Eijkman Herawati Sudoyo.
Kepala Unit Malaria dan Resistensi Vektor Eijkman Syafruddin mengatakan, survei itu terutama untuk memetakan sebaran malaria dan hepatitis di Orang Rimba, termasuk resistensi pada obat-obatan yang ada. Itu juga untuk memetakan penyakit infeksi lain, misalnya filariasis atau kaki gajah dan tuberkulosis.
Selama ini pemetaan kesehatan warga, khususnya masyarakat adat di pedalaman, cenderung lemah. Sebab, tenaga medis setempat tak bisa menjangkau mereka. “Banyak kejadian, kita kaget setelah jatuh korban, seperti kasus terakhir di Papua,” ujarnya.
Layanan dasar
Dalam pengambilan sampel, Eijkman dibantu staf medis dari empat puskesmas di lokasi terdekat. Mereka juga memeriksa kesehatan dan memberi obat- obatan bagi warga setempat. Hampir semua staf medis puskesmas terdekat baru pertama kali bertemu Orang Rimba di tempat asalnya.
“Ini pertama kali ada orang puskesmas datang kemari. Semoga berikutnya rutin kunjungan kesehatan seperti ini,” kata Menti Gentar, kepala rombongan Orang Rimba di Makekal Hilir.
Harapan serupa juga disampaikan Bungo, tokoh muda Orang Rimba dari Makekal Tengah. Bungo dan sejumlah anak muda secara bergantian mengangkut anak-anak dan perempuan dari komunitasnya di dalam hutan ke pinggir jalan lintas, dengan menggunakan sepeda motor, agar bisa bertemu Tim Eijkman.
Hal itu menunjukkan antusiasme mereka pada layanan medis yang selama ini tak pernah diperoleh. “Orang Rimba butuh layanan kesehatan, tetapi tak ada yang peduli,” kata Bungo.
Menurut Kristiawan, sejak 2013, Warsi sudah mengusulkan ke Kementerian Kesehatan agar menyediakan layanan medis keliling bagi Orang Rimba, tapi belum diwujudkan. Padahal, puskesmas-puskesmas yang ada tak menjangkau Orang Rimba.
Syafruddin mengatakan bahwa layanan kesehatan adalah hak dasar Orang Rimba. Apalagi, Orang Rimba makin rentan terkena penyakit infeksi mengingat kerusakan hutan kian masif.
Sebagian besar lokasi Orang Rimba di Bukit Duabelas saat ini dikepung hutan tanaman industri, baik kelapa sawit, karet, maupun akasia. Interaksi Orang Rimba dengan pendatang pun kian tinggi. Kondisi itu menyebabkan mereka lebih mudah terpapar penyakit dari luar.
“Seharusnya, puskesmas menjadi ujung tombak layanan medis bagi Orang Rimba karena itu merupakan hak dasar mereka. Tak hanya melayani kesehatan, puskesmas sebenarnya bisa menjadi ujung tombak bagi survei penyakit infeksi menular seperti malaria. Kalau itu bisa berjalan, tak perlu tim survei dari Jakarta,” ujarnya. (AIK)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Desember 2015, di halaman 14 dengan judul “Orang Rimba Belum Terakses”.