Sejak awal 1970-an, Jakarta diyakini mulai mengenal ojek. Kala itu, becak dilarang masuk Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta Utara. Ojek sepeda onthel pun muncul menjawab kebutuhan para karyawan bermobilitas di dalam salah satu obyek vital Ibu Kota tersebut.
Kemunculan ojek sepeda terekam dalam berita di Kompas , 12 September 1970. Tidak diketahui pasti alasan pelarangan becak, tetapi diyakini, itu bagian dari kebijakan penataan pelabuhan. Ojek sepeda yang lalu muncul ternyata diminati karena dibutuhkan oleh mereka yang tak terfasilitasi kebutuhan bermobilitasnya. Di sisi lain, ngojek mendatangkan rezeki bagi tukang ojek.
Simak cerita Ali, mantan pejuang kemerdekaan berusia lebih dari 50 tahun yang aktif ngojek di pengujung 1970-an ( Kompas , 21 September 1979). Selain Ali, feature berjudul “Ojek Angkutan Rakyat” itu menyelisik kehidupan Manto dan Marzuki. Keduanya perantau yang dengan mengojek dan hidup pas-pasan di Jakarta menghidupi keluarga di daerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gambaran itu sesuai dengan pengertian ojek di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). KBBI online menyebut ojek berarti sepeda atau sepeda motor yang ditambangkan dengan cara memboncengkan penumpang atau penyewanya.
Tidak diketahui pasti kata ojek berasal dari mana atau dari apa. Namun, banyak ditafsirkan ngojek berhubungan dengan ngobyek , upaya cari duit, cari sabetan ( Kompas , 22 September 1979). Peluang mendapatkan uang itu datang dari banyaknya permintaan orang untuk difasilitasi kebutuhan mobilitasnya.
Sesuai penelusuran pemberitaan pada 1970-1980-an, di Jakarta sudah ada bus-bus umum yang melayani lintas kota, seperti Senen-Jatinegara-Kampung Melayu. Juga ada trayek ke arah Jakarta Selatan, seperti ke arah Blok M dan Pasar Minggu. Akan tetapi, tidak semua daerah terlayani bus. Angkutan kecil, seperti helicak dan bemo, pun tidak tersebar merata.
Jakarta yang masih memiliki banyak desa dan menjadi daerah yang terus tumbuh berkembang ke segala arah menyebabkan banyak area tak terlayani angkutan umum yang terbatas. Ojek yang gesit bisa menembus berbagai macam area pun jadi pilihan jenius.
Tak heran jika populasi ojek sepeda dan sepeda motor makin bertambah. Seperti disebutkan pada berita koran ini tanggal 17 Juli 1974, layanan ojek sepeda motor di Jakarta meluas, tak hanya di Tanjung Priok, tetapi telah merambah Ancol. Jumlahnya diyakini mencapai ribuan unit. Pada berita bertanggal 22 Oktober 1974, harian ini juga mencatat bahwa ojek sepeda motor pun mulai muncul di Jawa Timur.
Terus meluas dan menular ke daerah lain, meski dibutuhkan, ojek tetap dianggap pengganggu. Sepanjang 1979, misalnya, sesuai penelusuran berita dari Januari sampai Desember, Pemprov DKI Jakarta sibuk menertibkan ojek. Tahun berganti tahun, berita penertiban ojek juga ditemukan pada 1980-an, 1990-an, sampai sekarang. Pengojek yang suka mangkal pun kadang diidentikkan dengan para penganggur terselubung dan preman kampung.
Namun, faktanya, ojek terus ada dan sekarang bahkan menemukan model baru yang makin merebut hati warga kota.
tantangan
Ya, sudah beberapa tahun terakhir ojek sepeda motor dalam jaringan (daring) bisa dikatakan sukses menguasai Jakarta dan sekitarnya serta telah merambah ke sejumlah kota lain di Indonesia. Untuk berbagai kebutuhan, banyak warga memilih menggunakan ojek yang dinilai murah dan efektif ini.
Jumlah pengojek yang bermitra dengan tiga perusahaan, yaitu Go-Jek, Grab, dan Uber, dipastikan terus membengkak. Mitra Go-Jek saja saat ini mencapai 300.000 orang yang tersebar di 25 kota di Indonesia.
Keberadaan pengojek daring dengan jaket dan helm yang seragam mudah dikenali. Coba perhatikan. Di jalanan Ibu Kota, pesepeda motor berjaket hijau-hitam, berhelm hijau dengan tulisan Go-Jek atau Grab, banyak ditemukan berbaur dengan para pengendara lain. Mereka juga mudah ditemukan mangkal di trotoar, tikungan, warung, dan beberapa tempat lain.
Penolakan dari ojek basis, pengemudi dan pengusaha angkutan reguler, sampai taksi secara massal berujung pada pengetatan perizinan dan aturan main ojek daring. Meski demikian, kebijakan pemerintah itu tak kuasa membatasi tumbuhnya moda berbasis aplikasi ini.
Sekali lagi, ini tidak aneh karena sampai sekarang pun sistem angkutan publik di Jakarta jauh dari sempurna. Pengembangan mobil komuter KRL, jaringan bus Transjakarta, hingga makin banyaknya jalan tol tidak langsung memudahkan orang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ini karena integrasi antarmoda yang masih buruk.
Dengan ojek daring, perjalanan dari langkah pertama ( first mile ) sampai langkah terakhir ( last mile ) sangat mudah. Pengemudi ojek daring bisa mengundang pemesan tepat di depan pintu rumah dan mengantar sampai ke gerbang tujuan.
Vice President Business Intelligence PT Gojek Indonesia Crystal Widjaja mengatakan, Go-Jek salah satunya menangkap peluang di last mile tersebut. “Kami senang bisa membantu orang Jakarta keluar dari masalahnya. Ketika mereka tidak mau terjebak dalam kemacetan, kami menyediakan beberapa platform yang akan membantu mereka,” ujar Crystal, Kamis (10/8).
Hal senada dilontarkan Public Relations Manager Grab Dewi Nuraini dan Head of Communication Uber Dian Safitri.
Namun, Ketua Dewan Transportasi Jakarta Iskandar Abubakar berpendapat, ojek, termasuk ojek daring, hanyalah angkutan sementara sembari menunggu transportasi umum benar-benar tertata hingga makin terjangkau oleh masyarakat.
Apakah nanti angkutan massal MRT dan LRT dipadukan dengan KRL dan jaringan Transjakarta serta segenap angkutan reguler bisa benar-benar mematikan lubang rezeki ojek? Kreativitas pengelola kota pembuat kebijakan diuji. Diuji untuk bisa menelurkan kebijakan yang menjawab kebutuhan riil warga kota dengan karakteristik wilayah yang khusus ini. (DD05)– NELI TRIANA & DIAN DEWI PURNAMASARI
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Agustus 2017, di halaman 27 dengan judul “Jalan Pintas atas Kebuntuan Dulu dan Kini”.