Sejumlah warga senior duduk bercengkerama sambil menikmati makan siang di Kafe Observatorium Mount Stromlo, Canberra, Australia, akhir November lalu. Sebagian orang memilih duduk di balkon kafe agar bisa menikmati pemandangan luar, perbukitan berumput hijau dan kubah-kubah putih yang menjadi rumah sejumlah teleskop. Indah dan menenangkan.
Observatorium Mount Stromlo beroperasi sejak 1911. Semula, observatorium ini fokus untuk pengamatan Matahari. Namun dalam perkembangannya, observatorium ini juga mengamati obyek-obyek langit redup dan menjadi salah satu observatorium penting di belahan Bumi selatan.
Observatorium ini terletak 15 kilometer (km) di barat kota Canberra dan bisa ditempuh 30 menit berkendara. Meski bukan hari libur dan siang hari, 30 November lalu, observatorium ramai didatangi pengunjung. Mereka melihat kompleks observatorium, berolahraga, atau sekadar makan siang dan berkumpul bersama teman di kafe.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di dekat kafe, terdapat kubah-kubah putih berbagai ukuran menjulang di sejumlah lokasi. Meski bagian luarnya tampak terawat, tidak semua kubah itu berisi teleskop yang bisa dipakai untuk penelitian. Kebakaran lahan pada 2003 akibat panas yang tinggi menghancurkan sejumlah kubah rumah teleskop, teleskop, dan beberapa fasilitas penelitian.
Sisa kebakaran, termasuk beberapa teleskop besar yang hangus dan tidak bisa digunakan lagi, tetap dirawat. Pemugaran sejumlah fasilitas observatorium dilakukan dengan tetap menjaga bagian yang terbakar sehingga menjadi bukti sejarah. Bahkan di salah satu kubah rumah teleskop yang hancur justru dijadikan lokasi pertunjukan seni.
KOMPAS/M ZAID WAHYUDI–Tiga kubah kecil berjajar di Observatorium Mount Stromlo, Canberra, Australia, Rabu (30/11/2016). Ketiga kubah itu berisi teleskop kecil yang bisa digunakan pengunjung atau siswa untuk mengamati benda-benda langit. Sementara kubah besar di bagian belakang adalah situs sejarah yang dahulu berisi teleskop berdiamater 1,88 meter yang rusak akibat kebakaran pada 2003.
Astrofisikawan Observatorium Mount Stromlo, Brad Tucker, mengatakan, kehancuran sejumlah teleskop itu tidak terlalu mengganggu penelitian. “Sejak pertengahan 1960, penelitian lebih banyak dilakukan menggunakan teleskop-teleskop yang ada di Observatorium Siding Spring,” katanya.
Observatorium Siding Spring terletak sekitar 600 km di utara Canberra. Pembangunan observatorium baru yang memiliki teleskop berdiamater 3,9 meter itu didasari kegelisahan astronom akan langit Canberra pada 1960 yang dinilai terlalu terang. Padahal, Canberra saat itu hanya berpenduduk 50.000 orang.
Baik Observatorium Mount Stromlo maupun Siding Spring dikelola Universitas Nasional Australia (ANU) Canberra. Karena itu, setelah ada Siding Spring yang lebih mendukung untuk riset, Observatorium Mount Stromlo difokuskan untuk pendidikan mahasiswa astronomi dan astrofisika ANU, edukasi publik, atau penelitian obyek langit yang tak terlalu redup.
Bahkan, Observatorium Mount Stromlo menyediakan sejumlah teleskop kecil dalam kubah-kubah kecil yang bisa dimanfaatkan siswa SMA dan masyarakat umum untuk mengamati obyek-obyek langit.
Indonesia
Dengan penduduk kurang dari 25 juta orang, Australia punya perhatian cukup tinggi dalam pengembangan astronomi. Selain teleskop dari berbagai observatorium di Australia, peneliti dan mahasiswa astronomi Australia juga bisa memakai teleskop-teleskop besar dunia yang bekerja sama dengan mereka.
Namun, di Indonesia sebagai negara tetangga Australia dan memiliki tradisi astronomi tertua di Asia Tenggara, perkembangan astronomi berjalan lambat. Kini Thailand pun mulai menyalip dalam pengembangan fasilitas dan riset astronomi.
Sejak 1923, Indonesia hanya mempunyai Observatorium Bosscha di Lembang, Jawa Barat. Kondisinya pun sudah sejak lama terancam oleh polusi cahaya yang kian parah di kawasan Bandung Raya yang berpenduduk 10 juta orang.
Saat ini, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) sedang menyiapkan pembangunan observatorium nasional di Gunung Timau, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Observatorium yang berjarak sekitar 200 km dari Kota Kupang dan bernilai lebih dari Rp 300 miliar itu direncanakan beroperasi pada 2019.
“Observatorium nasional difokuskan untuk pengamatan astronomi, khususnya obyek redup yang sulit diamati dari Observatorium Bosscha,” kata Kepala Lapan Thomas Djamaluddin, Jumat (3/2). Adapun kegiatan edukasi astronomi untuk publik akan dilakukan di pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (science center) yang akan dibangun di Oelnasi, sekitar 25 km dari Kota Kupang.
Gunung Timau mempunyai tingkat kegelapan langit yang baik sehingga memungkinkan pengamatan obyek redup dengan magnitudo 22. Sementara di Bosscha, obyek teredup yang bisa diamati hanya bermagnitudo 15-16 (makin besar magnitudo benda langit berarti makin redup).
Selain itu, Gunung Timau memiliki 70 persen hari cerah dalam setahun, sedangkan Lembang hanya 30-40 persen hari cerah dalam setahun. Makin panjang hari cerah berarti kesempatan untuk mengamati obyek langit makin besar karena gangguan awan dan hujan lebih sedikit.
Di sekitar observatorium akan dikembangkan menjadi kawasan wisata atau taman nasional langit gelap. Di daerah itu, turis bisa mengamati obyek langit malam lebih baik dibandingkan di perkotaan.
Untuk mendukung fokus riset, observatorium nasional akan dilengkapi teleskop optik berdiameter 3,6 meter dan teleskop radio. Teleskop akan dikembangkan dengan sistem robotik hingga bisa dikendalikan dari jarak jauh, termasuk dari Bandung. Dengan model itu, di Gunung Timau hanya perlu petugas untuk menjaga atau merawat teleskop.
Namun, meski nanti observatorium nasional sudah dioperasikan, peran dan fungsi Observatorium Bosscha yang dikelola Institut Teknologi Bandung (ITB) tetap harus dipertahankan. Selain sudah ditetapkan sebagai benda cagar budaya, Observatorium Bosscha masih punya peran penting dalam pendidikan astronomi di Indonesia.
“Hingga 10-20 tahun ke depan, pendidikan astronomi Indonesia masih akan bertumpu ke ITB sebagai satu-satunya perguruan tinggi yang punya program studi astronomi,” kata Kepala Observatorium Bosscha ITB Mahasena Putra.
Karena itu, Observatorium Bosscha berharap bisa ikut melakukan pengamatan jarak jauh di observatorium nasional. Dengan demikian, observatorium baru bisa dimanfaatkan langsung oleh dosen, peneliti, atau mahasiswa Astronomi ITB. Proses itu akan mematangkan pendidikan astronomi sekaligus mematangkan sumber daya manusia yang ke depan bisa mengelola observatorium nasional.
Untuk itu, Mahasena berharap, program langit gelap terus digaungkan di Bandung Raya. Pembangunan serampangan kawasan utara Bandung juga harus dihentikan.–M ZAID WAHYUDI
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Februari 2017, di halaman 14 dengan judul “Menjaga Sejarah, Mengembangkan Pengetahuan”.