Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menemukan cara untuk menurunkan tengkes (stunting) dan diabetes. Mereka menggunakan nutrisi yang ada pada pangan lokal.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berinovasi mengembangkan penelitian untuk mengatasi masalah tengkes. Salah satunya, lewat pengembangan singkong unggul kaya nutrisi.
Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Ahmad Fathoni, Kamis (28/2/2019), mengatakan, LIPI telah menghasilkan bibit singkong unggul, salah satunya jenis Carvita hasil pemuliaan metode varian somaklonal dan beberapa jenis lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menemukan cara untuk menurunkan stunting atau tengkes dan diabetes dengan menggunakan nutrisi dari pangan lokal. Hal tersebut dipaparkan pada Media Briefing Hari Gizi Nasional 2019 di Jakarta, Kamis (28/2/2019).
“Jenis ini sangat potensial dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan bernutrisi karena memiliki kandungan beta karoten yang tinggi,” kata Fathoni dalam Media Briefing Hari Gizi Nasional 2019 di Jakarta, Kamis.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Ahmad Fathoni
Selain pembibitan, LIPI mengembangkan singkong sebagai bahan pangan berkualitas melalui pengolahan pascapanen. Mereka menghasilkan produk tepung termodifikasi (mocaf) yang kaya ?-karoten atau beta karoten.
Tepung tersebut digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi sayur. Fathoni mengatakan, inovasi tersebut merupakan upaya mempertahankan kualitas nutrisi bahan pangan untuk berbagai produk olahan makanan.
Menurut Fathoni, pengembangan penelitian terhadap singkong sangat penting karena tanaman ini dapat menjadi makanan pokok pengganti beras. Singkong merupakan salah satu komoditas pangan karbohidrat yang dapat dikonsumsi langsung maupun untuk bahan baku industri.
Selain itu, singkong memiliki sifat fleksibel karena dapat tumbuh dan berproduksi di daerah dataran rendah hingga tinggi. Singkong juga dapat tumbuh pada saat terjadi kekeringan.
Di samping pengembangan singkong untuk atasi tengkes, LIPI juga melakukan penelitian bagi mengembangkan kedondong hutan (Spondias pinnata) untuk mencegah diabetes.
Peneliti Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bali Wawan Sujarwo mengatakan, dari hasil uji, daun kedondong hutan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat. “Daun kedondong juga mengandung sejumlah besar senyawa fenolik untuk menangkal radikal bebas,” kata Wawan.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Wawan Sujarwo
Ia menceritakan, masyarakat Bali telah menggunakan antioksidan dan polifenol dari daun kedondong hutan sebagai bagian dari pengobatan tradisional selama berabad-abad untuk mencegah dan mengobati penyakit diabetes. Mereka biasanya mengkonsumsi daun kedondong hutan segar sebagai sayuran atau direbus terlebih dahulu sebagai minuman obat tradisional.
Berat bayi
Bayi dengan berat badan rendah saat lahir menjadi salah satu penyebab tengkes. Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Yuly Astuti mengatakan, bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah atau BBLR (berat bayi kurang dari 2.500 gram) disebabkan janin kekurangan gizi saat di dalam kandungan. Adapun kesehatan selama masa kehamilan ditentukan sejak masa remaja.
“Kasus bayi BBLR memengaruhi terjadinya tengkes sebanyak 20 persen,” kata Yuly. Hal tersebut didasari atas risetnya di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Yuly Astuti
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat pada 2017, Kota Mataram memiliki kasus tengkes yang tinggi yakni sebesar 37,8 persen. Salah satu penyebabnya diduga akibat bayi BBLR.
Dampak jangka pendek dari tengkes yakni peningkatan kejadian kesakitan dan kematian bayi, terganggunya perkembangan otak, serta gangguan perkembangan fisik. Tengkes juga menyebabkan gangguan perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak, serta peningkatan biaya kesehatan.
Adapun dampak jangka panjang tengkes yakni menurunnya kemampuan kognitif dan meningkatkan penyakit tidak menular (jantung, diabetes, serta stroke). Selain itu, tengkes dapat menyebabkan produktivitas dan kapasitas kerja menjadi tidak optimal.
Dalam risetnya tersebut, Yuly menemukan inovasi daerah yang dapat dijadikan rujukan untuk penanganan untuk penanganan kasus BBLR. Di Puskesmas Pejeruk, Mataram, pengelola memiliki inovasi berupa pendekatan keluarga secara integrasi dan berkesinambungan mengikuti siklus hidup.
Mereka berkunjung ke rumah untuk memberikan penyuluhan, pemeriksaan kesehatan, dan tindakan medis. Termasuk pemberian rujukan perawatan jika diperlukan.–PRAYOGI DWI SULISTYO
Editor PASCAL S BIN SAJU
Sumber: Kompas, 28 Februari 2019