Nobel Kedokteran untuk Penelisik Oksigen di Tubuh

- Editor

Kamis, 10 Oktober 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oksigen merupakan elemen dasar yang menopang kehidupan di Bumi, termasuk bagi manusia. Dengan mempelajari bagaimana sel-sel tubuh beradaptasi terhadap perubahan kadar oksigen, trio peneliti dari Amerika Serikat dan Inggris mendapatkan penghargaan Nobel Fisiologi dan Kedokteran 2019.

AFP/JONATHAN NACKSTRAND–Anggota Komite Nobel (dari kiri ke kanan) Patrik Ernfors, Anna Wedell dan Randall Johnson duduk di depan layar yang menampilan pemenang Nobel Kedokteran 2019 yaitu Gregg Semenza, Peter Ratcliffe dan William Kaelin. Nama ketiganya diumumkan oleh, Sekretaris Komite Nobel Thomas Perlmann dalam konferensi pers di Stockholm, Swedia, Senin (7/10/2019).

Penelitian dasar ini selain memberikan perspektif baru tentang metabolisme sel-sel tubuh, juga memberi harapan dan cara baru untuk melawan penyakit mematikan, termasuk kanker, serangan jantung, dan stroke.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ketiga ilmuwan tersebut adalah ahli kanker William Kaelin, peneliti kedokteran Peter Ratcliffe, serta ahli genetika Gregg Semenza. Ketiganya bekerja secara terpisah selama lebih dari dua dekade untuk menelisik tema serupa, yaitu berupaya memahami respon tubuh terhadap oksigen.

Kaelin lahir di New York pada tahun 1957 dan mendirikan laboratorium penelitiannya sendiri, yaitu Dana-Farber Cancer Institute di Boston. Dia menjadi profesor penuh di Harvard Medical School sejak tahun 2002.

Semenza, juga lahir di New York, pada tahun 1956. Dia menjadi profesor penuh waktu di Universitas Johns Hopkins pada tahun 1999. Sedangkan Ratcliffe, yang lahir di Lancashire, Inggris pada tahun 1954, belajar kedokteran di Universitas Cambridge dan menjadi profesor di Universitas Oxford sejak tahun 1996.

EPA-EFE/MICHAEL REYNOLDS–Gregg L. Semenz menggelar jumpa pers seusai diumumkan sebagai pemenang Nobel Kedokteran 2019. do Johns Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Maryland, Amerika Serikat, Senin (7/10/2019).

Kunci kehidupan
Untuk memahami penemuan ketiga peneliti ini, pertama-tama kita perlu memahami bagaimana pentingnya oksigen bagi tubuh. Tanpa oksigen, triliunan sel dalam tubuh kita tidak dapat bertahan dan berfungsi. Manusia masih bisa bertahan tanpa makanan selama tiga minggu dan tiga hari tanpa air. Namun, rata-rata kita tak bisa bertahan hidup tanpa oksigen lebih dari tiga menit.

Setiap sel menggunakan oksigen untuk membantu memecah nutrisi menjadi energi. Jadi, tidak ada oksigen, tidak ada energi. Tanpa energi, tanpa sel, dan itu artinya kematian.

Masalahnya, oksigen, sebagaimana makanan bergizi dan hal lain yang baik dalam hidup, tidak selalu hadir pada tingkat yang kita dan sel tubuh inginkan. Tingkat oksigen dapat berfluktuasi di udara, demikian juga yang masuk ke dalam tubuh kita. Kemampuan masing-masing sel untuk mendapatkan oksigen dapat sangat bergantung pada “lokasi, lokasi, lokasi,” seperti kata pengiklan perumahan.

Bayangkan tubuh sebagai metropolitan yang kompleks. Sel darah merah ibarat pipa kecil yang mengambil oksigen di paru-paru dan membawa molekul ini di seluruh ruang kota.

Sama seperti jalan-jalan di Jakarta yang ruwet, kepadatan dan jaringan pembuluh darah bervariasi di seluruh tubuh kita. Dengan demikian, tidak setiap bagian tubuh akan mendapatkan jumlah darah dan oksigen yang sama. Variasi ini dapat diperburuk, misalnya karena kolesterol jahat yang memampatkan pipa darah.

Seperti kota yang baik, tubuh membutuhkan cara untuk merasakan apa yang terjadi di tiap sudut lingkungan dan menyesuaikan tingkat oksigen yang dibutuhkan. Salah satu cara menyesuaikan pasokan oksigen tubuh yang lazim diketahui adalah dengan mengubah laju pernafasan.

Misalnya, jika otot kelelahan karena aktivitas fisik yang berat, secara otomatis kita akan bernafas lebih cepat untuk menyerap oksigen lebih banyak. Jika kadar oksigen terlalu rendah, arteri karotid, yaitu pembuluh darah utama di leher, mengirimkan sinyal melalui saraf untuk meningkatkan laju pernapasan Anda.

Jika kadar oksigen terlalu tinggi, karotid akan memberi sinyal untuk memperlambat pernapasan.

Nah, selain respons fisiologis dengan mengatur ritme pernafasan, tubuh ternyata memiliki EPO, kependekan dari erythropoietin, yaitu hormon yang dapat merangsang tubuh memproduksi lebih banyak sel darah merah dan dengan demikian memiliki lebih banyak mengirimkan oksigen. Ketika kadar EPO naik, produksi sel darah merah atau erythropoiesis akan meningkat.

Kini, kita bisa dengan mudah menjelaskan bagaimana kerja EPO ini. Namun sebelum adanya serangkaian penelitian dari Semenza, Ratcliffe, dan Kaelin dan tim masing-masing, bagaimana kadar oksigen dapat mempengaruhi kadar EPO ini masih merupakan misteri.

AFP/HO– Peter Ratcliffe

Pada 1990-an, tim Semenza dan Ratcliffe menemukan bahwa semua jaringan tubuh memiliki kemampuan untuk merasakan kadar oksigen. Sebuah momen eureka itu datang ketika mereka menemukan kompleks protein, yang mereka beri nama HIF karena faktor hipoksia-inducible. Hipoksia adalah istilah medis untuk oksigen rendah. Jadi, hipoksia yang diinduksi berarti sesuatu yang akan dirangsang oleh kadar oksigen yang rendah.

Semenza berhasil mengidentifikasi sepasang gen yang bertugas mengkode dua protein yang meningkatkan produksi EPO ketika kadar oksigen rendah. Sementara itu, Kaelin menunjukkan bahwa gen yang disebut VHL juga juga terlibat dalam merespons oksigen. Dia menemukan hal ini saat mempelajari sindrom genetik yang disebut von Hippel-Lindau, yaitu penyakit yang membawa mutasi pada VHL dan meningkatkan risiko kanker.

Secara terpisah, Ratcliffe dan timnya menemukan bahwa ketika sel merespon keberadaan oksigen, terjadi modifikasi kimiawi terhadap protein VHL, yang disebut prolyl hydroxylation. Hal ini memungkinkan VHL untuk berikatan dengan HIF, yang mendorong pada penguraiannya. Tetapi modifikasi ini diblokir ketika sel-sel kekurangan oksigen dan memulai aktivitas HIF. Sebagai hasilnya, sel-sel dapat bereaksi terhadap kadar oksigen yang rendah dengan menghalangi pemecahan HIF.

Lalu, apa makna pengetahuan ini?

EPA-EFE/CJ GUNTHER–William G. Kaelin Jr

Melawan penyakit
Melalui pengetahuan baru ini, kini kita bisa mengetahui cara menghidupkan dan mematikan gen yang dapat meningkatkan atau menurunkan kadar oksigen. Dengan melakukan ini, kita dapat membunuh sel kanker, atau merangsang pertumbuhan pembuluh darah pada pasien jantung. Orang dengan penyakit ginjal kronis bisa mendapatkan suntikan untuk meningkatkan kadar oksigennya, demikian juga penderita anemia.

Kanker menggunakan alat pengatur oksigen tubuh untuk membajak pembentukan pembuluh darah dan memungkinkan sel kanker ini menyebar. Komite Nobel menyebutkan, beberapa percobaan sedang dilakukan pengembangan obat untuk mengganggu proses ini, yang berpotensi mengganggu pertumbuhan sel kanker, sehingga memberi harapan untuk melawan penyakit mematikan ini.

“Upaya intens yang sedang berlangsung di laboratorium akademik dan perusahaan farmasi sekarang difokuskan pada pengembangan obat yang dapat mengganggu berbagai penyakit dengan mengaktifkan, atau memblokir, mesin pengindera oksigen,” sebut Komite Nobel.

Di luar pentingnya penelitian mereka, ketiganya diapresiasi atas ketekunan menelisik hal mendasar yang selama ini kerap diabaikan, karena banyak peneliti yang fokus pada riset terapan. Hal ini seperti tercermin dalam tulisan Kaelin dalam salah satu esainya di jurnal ilmiah Nature pada 2017, “Kemajuan nyata ilmu pengetahuan dibangun dengan batu bata, bukan jerami.”

Penghargaan Nobel Fisiologi dan Kedokteran 2019 ini seolah menujukkan bahwa trio Kaelin, Ratcliffe, dan Semenza telah meletakkan fondasi batu bata bagi rumah pengetahuaan baru untuk memahami metabolisme tubuh kita, dan bagaimana melawan berbagai penyakit mematikan.

Oleh AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 10 Oktober 2019

Editor PUTU FAJAR ARCANA

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum
Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023
Tiga Ilmuwan Penemu Quantum Dots Raih Nobel Kimia 2023
Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023
Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023
Teliti Dinamika Elektron, Trio Ilmuwan Menang Hadiah Nobel Fisika
Temukan Celah Pembangkit Listrik Tenaga Angin, Mahasiswa ITB Jadi Juara Nasional
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Senin, 13 November 2023 - 13:42 WIB

3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum

Senin, 13 November 2023 - 13:37 WIB

Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023

Senin, 13 November 2023 - 05:13 WIB

Tiga Ilmuwan Penemu Quantum Dots Raih Nobel Kimia 2023

Senin, 13 November 2023 - 05:01 WIB

Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:52 WIB

Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:42 WIB

Teliti Dinamika Elektron, Trio Ilmuwan Menang Hadiah Nobel Fisika

Senin, 4 September 2023 - 07:47 WIB

Temukan Celah Pembangkit Listrik Tenaga Angin, Mahasiswa ITB Jadi Juara Nasional

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB