Home / Berita / Neurosains jadi Pendekatan Kampanye Politik

Neurosains jadi Pendekatan Kampanye Politik

Pendekatan neurosains melalui manipulasi otak dengan hal tidak rasional dan tak relevan dalam kontestasi politik menjadi fenomena baru pemilihan presiden di sejumlah negara. Masyarakat Indonesia yang menghadapi pemilihan presiden diharapkan menentukan pilihan politik secara rasional.

Hal itu mengemuka pada diskusi kelompok terarah bertema ”Neurosains, Media, dan Masa Depan Politik Indonesia” di Jakarta, Senin (26/11/2018). Pemilihan presiden yang disebut memanfaatkan pendekatan neurosains ialah pemilihan presiden Amerika Serikat dan Brasil.

Menurut ahli neurogenetika Roslan Yusni Hasan atau akrab dipanggil Ryu Hasan, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dan Jair Bolsonaro sebagai Presiden Brasil jadi contoh aplikasi neurosains dalam politik. Melalui riset neurosains, sikap dan respons warga di dua negara itu dipetakan, lalu ditindaklanjuti dengan strategi kampanye agar warga memilih salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden.

KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN–Diskusi kelompok terarah tentang neurosains, media, dan politik di Indonesia antara para wartawan dan sejumlah neurosaintis berlangsung di Jakarta, Senin (26/11/2018).

Kampanye Trump, misalnya, menggunakan banyak jargon bernada ancaman. Otak manusia yang dipenuhi konstruksi teori konspirasi merespons itu dengan cepat. Teori konspirasi memberi keuntungan evolusioner sehingga mereka yang menanggapi kampanye bernada ancaman lebih banyak dan bertahan.

Selain itu, manusia juga cenderung suka dengan dikotomi. Akibatnya, kampanye yang mendikotomikan sesuatu lebih menarik perhatian dibandingkan kampanye yang memberikan pilihan bagi otak untuk berpikir kritis sebelum menentukan sikap.

Respons publik
“Dengan riset neurosains, respons publik terhadap pernyataan kontroversi pasangan calon presiden bisa diprediksi. Kalau kita lebih sehat secara emosional dan sosial, tentu tidak akan terbawa arus. Hal yang membuat tidak sehat ya diri kita sendiri yang lebih suka dikotomi. Orang cenderung ingin mendengar yang mereka ingin dengar, bukan informasi tapi afirmasi yang dinanti,” kata Ryu.

Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Dalam masa kampanye sekarang, bermunculan banyak hal tidak relevan dan tak rasional dari sudut pandang pengembangan demokrasi. Namun, sesuatu irasional dan tak relevan itu menarik perhatian dan jadi perbincangan. Di ruang publik, sahut-sahutan membahas sesuatu tidak relevan itu mengalahkan pertarungan ide substansial.

Dalam situasi itu, media memiliki peran besar saat ikut memberitakan hal-hal tidak relevan dengan demokrasi. Sebaliknya, berita yang mengedepankan pembangunan gagasan, menyajikan nilai-nilai universal, dan memenuhi standar etik, dapat membuat masyarakat berpikir kritis serta tidak mudah terbawa arus.

Menurut Ryu, manipulasi otak cenderung lebih mudah terjadi pada masyarakat relijius, terlepas apa pun bentuk relijiusitasnya. Masyarakat relijius memiliki konsep penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Relijiusitas itu akan memperkuat ikatan kelompok.

Ahli bedah saraf Satyanegara Brain and Spine Center, Subrady Leo, menambahkan, otak memiliki sistem kerja sendiri. Otak bisa memproses hal rasional dan tak rasional sekaligus. Saat otak dibanjiri informasi tidak relevan atau tidak rasional, seseorang jadi tidak rasional dalam membuat keputusan. Itu bisa terjadi pada hal apa pun, tak terbatas pada politik. Melalui edukasi kepada masyarakat luas, warga diharapkan rasional dalam pengambilan keputusan.–ADHITYA RAMADHAN

Sumber: Kompas, 27 November 2018

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d blogger menyukai ini: