Naturalisasi dan Normalisasi

- Editor

Kamis, 9 Januari 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Terkait dengan normalisasi dan naturalisasi sungai, sebenarnya bukan hanya masalah bagaimana menangani sungai saja, tetapi dalam implementasi metode tersebut juga melibatkan sungai yang harus dikelola.

Naturalisasi dan normalisasi adalah suatu metode engineering yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Selain itu, terkait dengan normalisasi dan naturalisasi ini, sebenarnya bukan hanya masalah bagaimana menangani sungai saja, tetapi dalam implementasi metode tersebut juga melibatkan sungai yang harus dikelola (managed).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KOMPAS/AGUS SUSANTO–Luapan Kali Ciliwung memutus Jalan Jatinegara Barat di Jakarta Timur, Rabu (1/12020) pukul 18.15 WIB.

Naturalisasi dalam masalah banjir adalah suatu cara menyelesaikan genangan akibat kelebihan air hujan yang jatuh dengan cara meresapkannya pada suatu daerah, seperti zaman ketika suatu wilayah itu masih alami rapat vegetasi, sedikit rumah, dan bangunan lain sehingga air hujan sebesar-besarnya dapat meresap dengan sendirinya ke dalam tanah.

Namun, karena saat ini vegetation cover telah musnah akibat adanya pembangunan, seperti gedung dan jalan, yang menghambat infiltrasi air hujan ke dalam tanah, air hujan sebagian besar menjadi runoff atau aliran permukaan penyebab banjir.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI–Pekerja menyelesaikan pemasangan turap beton di Kali Mookervart, Jakarta, Selasa (27/11/2018). Pemasangan turap merupakan bagian normalisasi saluran dan sungai di sejumlah wilayah di Jakarta untuk mengendalikan banjir.

Pada keadaan seperti ini, diusahakan tetap terjadi infiltrasi yang sebesar-besarnya dengan bantuan teknologi, misalnya menggunakan recharge system yang berupa recharge well (sumur resapan), recharge trench (parit resapan) dan recharge yard (halaman peresapan) ataupun waduk, embung, telaga situ, dan retarding basin lain.

Metode ini sering disebut Teknik Drainase Berwawasan Lingkungan yang mulai dapat perhatian besar sejak 1970-an ketika semangat keberlanjutan (sustainability) berkembang, imbas dari telah diadakannya United Nation Conference on the Human Environment di Stockholm, Swedia, 5-16 Juni 1972, yang diikuti 113 negara, termasuk Indonesia. Tanggal 5 Juni kemudian menjadi Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Secara konsep, nenek moyang telah mengisyaratkan perlunya konservasi air dengan menggunakan banyak metode, antara lain pemredikatan penamaan air yang prestisius, seperti amrtanjiwani atau air kehidupan, budaya yang dikaitkan dengan pelestarian air, misalnya mandi sebelum ijab kabul dari tujuh mata air, penamaan daerah dengan nama air, seperti Cibeureum (air merah), dan juga pemali, seperti celaka menimbun sumur.

Bahkan, ayat suci pun (Al Quran) menempatkan air dalam posisi penggambaran surga, begitu juga ritual agama Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha, semua menggunakan air dan ini semua karena kesadaran ’No living thing exists without water’ (tiada kehidupan tanpa air).

Kelebihan metode ini, selain menyelesaikan masalah banjir, juga akan meresapkan runoff atau aliran permukaan menjadi groundwater storage atau tampungan air hujan. Kekurangan metode ini bahwa akan berhasil jika semua daerah aliran sungai (DAS) dikelola semuanya. Sementara untuk kasus DKI Jakarta, sebagian DAS-nya berada di Provinsi Jawa Barat dan menyumbang debit yang signifikan pada Sungai Ciliwung yang melalui wilayah DKI Jakarta.

Selain itu, apabila akan menerapkan metode ini, selain membuat retarding basin di semua DAS, juga harus konsekuen dihitung setiap rumah dengan luas atap yang berbeda harus mempunyai recharge systems yang berbeda juga dimensinya.

Saluran drainase yang kedap air perlu dibuat porus pada bagian dasarnya, kemudian taman juga harus berwawasan lingkungan karena hampir semua taman di DKI, bahkan seluruh Indonesia, sangat jarang yang berasaskan konservasi air, yaitu yang seharusnya permukaan taman cekung kebawah bukan cembung ke atas sehingga bila hujan turun dapat berfungsi sebagai daerah resapan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO–Lanskap Situ Rawa Gede di Bojong Menteng, Rawalumbu, Kota Bekasi, Jawa Barat, Minggu (14/4/2019). Selain menjadi lokasi wisata baru, Situ Rawa Gede yang memiliki luas 7,3 hektare ini menjadi tempat konservasi air, resapan air, dan cadangan air ketika musim kemarau serta untuk meminimalisir banjir. Kini Kampung Peduli Pencemaran Lingkungan (KPPL) Amphibi Bojong Menteng terus memperbaiki lingkungan sekitar dengan rutin mengangkat sampah dan membuat spot foto untuk menarik warga berkunjung.

Normalisasi
Sementara metode normalisasi, untuk masalah banjir adalah suatu cara yang lain lagi walau punya tujuan sama, yaitu mencegah genangan dengan cara secepatnya kelebihan air dialirkan lewat jaringan saluran drainase, kemudian ke sungai, dan selanjutnya melimpah ke laut. Fokus metode ini adalah menghitung luas tampang jaringan dengan parameter debit air dan kecepatan aliran yang dipengaruhi banyak faktor, seperti kemiringan, kekasaran dinding, dan radius hidrolik saluran.

Metode ini sudah berkembang sejak zaman peradaban dimulai dan didukung formulasi perhitungan sudah sejak muncul ahli-ahli hidrolika maupun hidrolologi di era renaisans dan selanjutnya dalam keilmuan cara ini umum disebut Teknik Drainase Perkotaan (Urban Drainage Engineering).

Kelebihan metode ini adalah kecepatan menyelesaikan masalah banjir dengan segera karena dengan mengelola termasuk memperbesar dimensi sungai maka akan dapat mengalirkan seluruh air hujan dengan segala cara, seperti dengan polder dan pompa seperti di Belanda, hingga limpasannya tak menggenang menjadi banjir. Kekurangannya adalah aliran akan terganggu bila terjadi pendangkalan sungai dan saluran dan tak ada unsur konservasi guna menambah cadangan air tanah.

Manfaat konservasi untuk wilayah pantai bukan saja menjaga water balance namun juga mencegah intrusi air laut yang saat ini sudah mencapai kawasan Monas. Di negara-negara subtropis recharge systems tak terlalu populer mengingat curah hujannya kecil—biasanya di bawah 600 mm per tahun, di Indonesia sekitar 2.500 mm per tahun—dan juga hujan berbentuk salju yang begitu jatuh tak langsung mengalir namun menunggu panas matahari dahulu hingga hingga persentase infiltrasinya besar.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO–Sejumlah warga menonton aliran Sungai Ciliwung di pintu air Bendungan Katulampa, Bogor, Jawa Barat, Jumat (3/1/2020). Menurut petugas setempat aliran sungai Ciliwung di Katulampa dalam dua hari terakhir mulai menurun dan kini tinggi permukaan pada angka 30 sentimeter atau masuk dalam kategori normal. Tinggi permukaan air di Katulampa sempat meningkat pada Rabu (1/1/2020) dengan ketinggian permukaan mencapai 140 sentimeter. Kini kawasan bendungan tersebut ramai dikunjungi warga untuk melihat kondisi bendungan.

Dalam bidang engineering untuk mendapatkan hasil yang efisien dan efektif lazim dan tidak haram ditempuh dengan cara hybrid solution yang artinya bahwa beberapa metode digabungkan sesuai kondisi yang biasanya tergantung dari sudut pandang keadaan alam seperti sifat hujan, karakter geologi batuan, sifat tanah, potensi longsor, keadaan sungai meliputi dimensi, tipe, kemiringan, posisi sungai terhadap muka air laut, pasang surut, luas genangan, topografi, bathimetri.

Selain itu juga bangunan yang telah ada seperti jembatan, turap, gorong-gorong, jaringan saluran drainase, jumlah recharge systems dan lain-lain. Kemudian, dari sudut pandang sosial ekonomi menyangkut perilaku, kebiasaan mengelola sampah, dan pendapatan penduduk, dan dari segi lingkungan terutama water balance di daerah itu.

Jadi sebenarnya tak ada lagi polemik naturalisasi vs normalisasi dan yang ada adalah bagaimana membebaskan DKI dari banjir dan suatu saat tak kekurangan air karena kelalaian para engineer. Penulis yakin, nanti dalam implementasinya, metode apapun, naturalisasi atau normalisasi, pada hakikatnya di dalamnya pasti ada bagian atau serpihan metode lain, hingga tak sekalipun kedua metode itu pernah dan akan berversus antara satu dan lainnya.

(Sunjoto Dosen Fakultas Teknik UGM, Penerima Kalpataru 1995, Pembina Lingkungan Bidang Konservasi Air)

Sumber Kompas, 9 Januari 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 28 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB