Sebagian besar zona musim di Indonesia akan mengalami musim hujan mulai Oktober-November 2020. Namun, puncak hujan diperkiakan akan mundur.
Musim hujan tahun 2020/2021 di sebagian wilayah Indonesia diperkirakan lebih basah dari rata-ratanya karena terjadi fenomena iklim La Nina. Sebanyak 60 persen zona musim di Indonesia akan mengalami musim hujan mulai Oktober-November 2020. Namun, puncak hujan diperkiakan mengalami kemunduran.
Kepala Subbidang Peringatan Dini Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Supari dalam diskusi di Jakarta, Senin (7/9/2020), mengatakan, selama satu bulan terakhir indeks ENSO melebihi batas normal. ”Kami perkirakan La Nina moderat akan terjadi hingga Januari nanti. Sementara IOD (Indian Ocean Dipole) negatif berpotensi terjadi sampai akhir tahun,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
La Nina berkaitan dengan lebih dinginnya suhu muka laut di Pasifik ekuator dan lebih panasnya suhu muka laut wilayah Indonesia sehingga menambah suplai uap air untuk pertumbuhan awan-awan hujan di wilayah Indonesia dan menghasilkan peningkatan curah hujan.
Sementara itu, IOD negatif menandai suhu muka laut di Samudra Hindia sebelah barat Sumatera lebih hangat dibandingkan dengan suhu muka laut Samudra Hindia sebelah timur Afrika. Hal ini juga menambah suplai uap air untuk pertumbuhan awan hujan di wilayah Indonesia dan menghasilkan peningkatan curah hujan, khususnya untuk wilayah Indonesia bagian barat. Kondisi IOD negatif ini berpeluang bertahan hingga akhir tahun 2020.
Kondisi La Nina dan IOD negatif itu diprediksi mengakibatkan sebagian wilayah Indonesia atau 27,5 persen Zona Musim (ZOM) berpotensi mengalami musim hujan yang lebih basah daripada rerata klimatologisnya meski secara umum kondisi musim hujan 2020/2021 di sebagian besar wilayah Indonesia atau pada 243 ZOM (71 persen) diprakirakan normal atau sama dengan rerata klimatologisnya.
Mulai Oktober
Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto mengatakan, sebanyak 34,5 persen zona musim di Indonesia akan memasuki musim hujan pada Oktober dan pada November sudah meliputi 60 persen zona musim hujan. ”Yang juga perlu perhatian, ada sekitar 45 persen wilayah Indonesia mengalami keterlambatan awal musim hujan,” ucapnya.
Daerah yang mengalami keterlambatan awal musim hujan 10-30 hari, yaitu sebagian besar Riau, Jambi, Sumatera Selatan, sebagian Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, sebagian Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, sebagian besar Banten, sebagian Jawa Barat, sebagian kecil Jawa Tengah, Jawa Timur, sebagian Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Sementara daerah yang akan mengalami keterlambatan awal musim hujan hingga lebih dari satu bulan atau lebih meliputi sebagian kecil Riau dan Jambi, sebagian Kalimantan Timur bagian timur, dan sebagian Papua.
Untuk puncak musim hujan di Pulau Sumatera diprakirakan terjadi mulai dari November 2020. Puncak musim hujan di Pulau Jawa dan Bali hingga Nusa Tenggara umumnya diprakirakan terjadi pada bulan Januari hingga Februari 2021. Sementara di Pulau Kalimantan, fenomena cuaca itu terjadi mulai dari Desember hingga Januari 2021.
Siswanto menambahkan, sejumlah daerah yang berisiko mengalami kekeringan sehingga perlu mempersiapkan cadangan air hingga Oktober 2020, di antaranya wilayah sepanjang jalur pantau utara atau pantura Jawa, sebagian Jawa Timur-Madura, Bali, NTB, NTT, sebagian Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan sebagian Papua selatan.
Sebaliknya, daerah yang berpeluang mendapatkan curah hujan tinggi saat puncak musim hujan di antaranya sebagian besar Jawa-Bali dan pesisir barat Sumatera, sebagian Sulawesi bagian tengah dan selatan, Papua selatan dan Teluk Cendrawasih.
Wakil Kepala BMKG Bidang Iklim Herizal menjelaskan, pembuatan perkiraan musim ini dilakukan secara hati-hati dan berjenjang karena implikasinya besar. Misalnya, di sektor pertanian, petani garam, pengairan, kebencanaan, dan transportasi. ”Namun, perkiraan yang berlaku enam bulan akan terus diperbarui setiap 10 hari karena ada dinamika bersifat harian juga,” tuturnya.
Di bidang pertanian, perkiraan cuaca dibutuhkan petani untuk mengantisipasi perubahan iklim. ”Misalnya, dari sekolah lapang di Gunung Kidul, masyarakat kerap gagal saat tebar benih karena menggunakan patokan lama. Padahal, iklim berubah. Kami harap produk ini bisa meminimalkan kegagalan karena faktor iklim. Selama ini iklim diabaikan karena dianggap biasanya seperti tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 8 September 2020