Ketika Bumi ternyata ”hanya” merupakan susunan teka-teki potongan gambar (jigsaw puzzle) yang pada garis pertemuannya ada bagian yang masuk ke bawah bagian lain, muncul pertanyaan: ”apakah gempa di suatu wilayah akan memicu terjadinya gempa di bagian lain dunia?” Pertanyaan klasik tersebut dipicu logika: karena semua ”keping gambar Bumi” tersebut terkait satu sama lain, apabila satu keping bergeser, kepingan lain juga bergerak.
Atas pertanyaan di atas, jawaban yang umum terdengar dari kalangan pakar seismologi dan ilmuwan kebumian lain adalah belum tentu lempeng lain akan turut bergerak jika terjadi gempa di tempat lain. Itu tergantung sistem lempeng yang bergerak dan jauh jarak lempeng lainnya.
Berbicara soal gempa, pada awalnya terdapat teori tektonik lempeng yang bertutur soal sejarah terbentuknya benua dan tentang fakta adanya lempeng samudra dan lempeng benua (daratan) yang bergerak satu sama lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gempa terjadi saat dua lempeng yang saling mendesak tidak dapat lagi menahan kekuatan tekanan sehingga sebagian energi dilepaskan. Energi tersebut menimbulkan getaran yang kita rasakan sebagai gempa. Getaran amat kuat akan mengakibatkan pergeseran atau terbelahnya permukaan Bumi.
Rentan gempa
Sejumlah negara amat rentan gempa karena menjadi tempat pertemuan sejumlah lempeng, di antaranya Indonesia dan Jepang. Pada dua negara tersebut bertemu tiga lempeng. Indonesia merupakan pertemuan Lempeng Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia. Adapun Jepang menjadi tempat pertemuan Lempeng Eurasia, Pasifik, dan Filipina.
Gesekan dua lempeng di beberapa tempat mengakibatkan munculnya hotspot yang menjadi asal-muasal magma. Magma yang keluar ke permukaan Bumi akan membentuk gunung api. Dari proses terbentuknya gunung api, menjadi mustahil jika kita bertanya: apakah aktivitas gunung api memicu gempa? Yang benar adalah aktivitas tektonik dapat memicu aktivitas gunung api.
Gelombang gempa dari gempa tektonik bisa menjalar sampai jauh. Saat gelombang melewati sistem magmatik, aktivitas gunung api bisa terpicu. Contoh terdekat adalah aktifnya Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, serta Gunung Marapi, Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, pascagempa dan tsunami Aceh.
Pakar deformasi kerak Bumi dari Kelompok Keilmuan Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (FITB ITB), Irwan Meilano, menunjuk aktivitas yang meningkat pada beberapa gunung api di utara Jepang, yaitu di Jazirah Kamchatka, wilayah Rusia, yang muncul pada waktu yang berdekatan dengan gempa Tohoku.
Soal keterkaitan satu gempa dengan gempa lain, Sri Widiyantoro dari FITB ITB, menegaskan, gempa di Jepang tidak terkait dengan gempa Christchurch, Selandia Baru, meski selisih kejadian hanya 17 hari. ”Yang terpengaruh adalah lempeng-lempeng yang dekat dengan gempa, misalnya antara gempa Aceh dan gempa Nias,” kata Sri Widiyantoro pekan lalu di Bandung.
Pascagempa Aceh, gempa seolah tidak berhenti melanda Indonesia. Pada periode 2004-2009 terjadi sembilan kali gempa besar. Yang terakhir, gempa Bengkulu, Jambi. Selain itu, juga gempa Yogyakarta yang memicu tsunami di Pantai Pangandaran.
Musim gempa
Ketika secara teori seluruh rangkaian gempa yang susul-menyusul belum bisa mendapat jawaban yang memuaskan, yang paling mudah didapatkan adalah kita melirik catatan sejarah.
Menilik sejarah kegempaan pada rentang 300 tahun (1600-1999) yang disusun Hamzah Latief dan Nanang Puspito dari FITB bersama Fumihiko Imamura, kita akan miris membacanya. Katalog tersebut dimuat dalam Journal of Natural Disaster Science.
Salah satu contoh yang menunjukkan ”keterkaitan” satu gempa dengan gempa lain atau satu aktivitas seismik dengan aktivitas seismik lain adalah tsunami akibat gempa di Seram, Maluku, yang menenggelamkan sebagian wilayah itu akhir September 1899. Hal itu bisa dikatakan ”puncak” dari sederetan gempa dan letusan gunung api yang terjadi pada 1896 (Pulau Timor, NTT). Pada 1897 di Sulawesi Utara terjadi dua kali gempa besar pada Januari dan September. Peristiwa di Seram jadi ”babak penutup”.
Tahun 1814 diawali dengan gempa di Maluku. Ledakan dahsyat Gunung Tambora di Sumbawa (NTB) menyusul. Tambora yang menelan korban sekitar 70.000 jiwa disusul gempa dengan magnitudo 8,0 di Bali (1816), disusul di Bengkulu (1818), gempa di Sumbawa (1820), dan berakhir dengan ledakan dahsyat Gunung Krakatau 1833. ”Setelah itu baru diam,” kata Hamzah Latief. Kemudian ada gempa Flores (1992) yang disusul Maluku dan Banyuwangi (1994), Timor Timur (1995), Sulawesi Tengah dan Pulau Biak, Papua, pada 1996, kemudian ditutup oleh gempa di Taliabu, Maluku. Sementara itu, juga terjadi gempa besar Cile (1990) dan Sanriku, Jepang, pada tahun 1993.
”Tsunami di dunia (rupanya) ada musimnya, tetapi belum tahu apakah semua itu ada kaitannya atau berhubungan satu sama lain secara langsung,” Hamzah beretorika. ”Yang pasti, saat musim bergerak (lempengnya), semua bergerak,” tuturnya. Menurut dia, terdapat data paleotsunami (tsunami purba) yang belum terkuak. Di balik data itu masih ada data gempa dan tsunami besar yang tersembunyi.
Irwan Meilano menjelaskan, ”Gempa merupakan sistem multilinier dengan variabel yang banyak dan kita tak tahu subsistem di dalamnya. Misalnya, apa yang mengontrol sebuah gempa?” ”Ada fakta nonlinieritas alam yang kita tidak paham sepenuhnya. Misalnya, apa peran dari air pada gempa?” lanjutnya. Untuk menguak misteri gempa banyak alat digunakan. Mulai dari seismograf hingga global positioning system (GPS).
”Mungkin secara temporal (waktu) berkaitan, namun kita tidak memiliki bukti jelas apakah gempa tersebut berkaitan secara fisik dan spasial (ruang),” kata Irwan Meilano. ”Itu tantangan kami,” ujarnya. Dan, itulah renungan tentang keterbatasan pengetahuan kita. [BRIGITTA ISWORO LAKSMI]
Sumber: Kompas, 23 Maret 2011