Musibah Lion Air, Tes DNA Pastikan Status Korban

- Editor

Sabtu, 3 November 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tes genetika menjadi kunci untuk identifikasi korban jatuhnya pesawat Lion Air JT 160. Hal ini dilakukan dengan mencari kecocokan pola genetika keluarga korban dengan potongan tubuh yang ditemukan di lokasi kejadian. Namun demikian, hal ini harus dilakukan dengan segera karena material DNA bisa cepat rusak di air laut.

?“Materi DNA dari tubuh korban bisa didapat dari bagian mana saja, terutama untuk kasus kecelakaan seperti ini idealnya dari gigi atau tulang yang relatif masih bisa bertahan dibandingkan jaringan tubuh,” kata ahli genetik yang juga Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Herawati Sudoyo Supolo, di Jakarta, Selasa (30/10).

?Menurut Herawati, DNA (deoxyribonucleic acid) merupakan materi genetik yang ada di setiap jaringan tubuh individu. Karena sifatnya diwarisi dari orang tua, setiap orang memiliki DNA yang unik. Setiap anak akan menerima setengah pasang kromosom dari ayah dan setengah pasang kromosom lainnya dari ibu sehingga setiap individu membawa sifat yang diturunkan baik dari ibu maupun ayah. Dengan karakteristik ini, DNA bisa menjadi bukti kuat untuk mengidentifikasi seseorang sekalipun hanya dari sebagian jaringan yang ditemukan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

–Tes genetika menjadi kunci untuk identifikasi korban jatuhnya pesawat Lion Air JT 160. Hal ini dilakukan dengan membandingkan DNA korban dengan keluarga dekat, seperti orang tua dan anak. Sumber: Herawati Sudoyo, Lembaga Eijkman, 2018

?“Dalam kasus kecelakaan seperti ini, bukti DNA menjadi penting dalam ranah hukum, misalnya untuk asuransi bagi keluarga korban,” kata Herawati.

?Untuk melakukan identifikasi ini, pertama-tama dibutuhkan data antemortem atau DNA dari keluarga korban. Diutamakan ayah dan ibu jika korbannya belum punya anak. Sedangkan jika sudah berkeluarga, dibutuhkan DNA istri atau anak. Selain itu, juga bisa dari adik atau kakak korban. DNA keluarga ini kemudian dicocokkan dengan jaringan tubuh korban yang telah diisolasi genetiknya.

?“Untuk analisis genotipe ini bisa sehari selesai, namun yang jadi kendala dan butuh waktu lama dan biaya mahal jika jaringan tubuh yang ditemukan sangat banyak dan harus dikelompokkan satu per satu untuk diserahkan kepada keluarga korban. Kecuali yang dibutuhkan cukup untuk memastikan status korban telah meninggal,” kata dia.

?Menurut Herawati, laboratorium DNA Forensik milik Polri yang dibangun di Cipinang, Jakarta Timur telah memiliki kapasitas untuk melakukan pemeriksaaan ini. “Di awal pembentukannya setelah bom Bali 2004, Eijkman turut membantu pengembangan kapasitas di sana, namun sekarang sudah bisa sendiri. Namun, dalam kasus-kasus tertentu, Eijkman juga siap membantu,” kata dia.

?Herawati menambahkan, ada bebrapa kasus analisi DNA sulit dilakukan, yaitu jika jaringan rubuh sangat rusak, misalnya karena bom atau ledakan. “Namun, teknologi analisis DNA ini juga sudah berkembang menjadi lebih sensitif untuk membaca jaringan yang sudah rusak sekalipun. Di laboratorium kami menggunakan PowerPlex Fusion 23 loki yang cukup sensitif. Jadi, makin banyak lokus makin sensitif dalam membandingkan satu individu dengan lainnya,” kata dia.

Cepat rusak
Herawati menambahkan, identifikasi harus dilakukan cepat karena jasad korban yang terendam di air laut mudah rusak. “Bahkan tulang san gigi kalau terendam di dalam air laut juga mudah rusak. Degradasi sudah dimulai sejak 24 jam, di air laut 72 jam degradasi hampir maximal, hilang sekitar 350 kali jadi misalnya konsentasi tadinya 350 ng (nano gram) lalu jadi 1 ng,” kata dia.

Jadi setelah 72 jam identifikasi DNA terhadap jasad korban yang terendam di air laut akan lebih sulit dilakukan. “Dibutuhkan mtDNA yang jumlahnya lebih banyak dan teknologi yang lebih sensitif untuk proses analisisnya,” kata dia.–AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 31 Oktober 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa
Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap
Di Balik Lembar Jawaban: Ketika Psikotes Menentukan Jalan — Antara Harapan, Risiko, dan Tanggung Jawab
Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan
Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara
Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya
Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Berita ini 10 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 1 November 2025 - 13:01 WIB

Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa

Kamis, 16 Oktober 2025 - 10:46 WIB

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 2 Oktober 2025 - 16:30 WIB

Di Balik Lembar Jawaban: Ketika Psikotes Menentukan Jalan — Antara Harapan, Risiko, dan Tanggung Jawab

Rabu, 1 Oktober 2025 - 19:43 WIB

Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan

Minggu, 27 Juli 2025 - 21:58 WIB

Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Okt 2025 - 13:23 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Sabtu, 18 Okt 2025 - 12:10 WIB

etika

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 16 Okt 2025 - 10:46 WIB