Hari kedua pasca musibah Lion Air PK-LPQ, keluarga dan kerabat korban terus berdatangan ke Posko Ante-mortem di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. Mereka datang untuk menyampaikan berbagai informasi mengenai korban yang hilang, termasuk informasi genetik yang dikandung sedarah.
DNA, sidik jari, dan struktur geligi jadi rekam jejak primer yang diperlukan untuk mengidentifikasi jasad-jasad tak utuh yang terus masuk ke Posko Post-Mortem. Informasi tersebut tidak hanya bisa diolah berdasarkan penuturan semata, tetapi juga membutuhkan media untuk menerjemahkannya.
ERIKA KURNIA UNTUK KOMPAS–Hasil olah sidik jari korban musibah Lion Air PK-LQP yang pertama kali teridentifikasi, Rabu (31/10/2018). Dari data tersebu, tim dokter RS Polri berhasil mengidentifikasi jasad Jannatun Cintya Dewi (21) asal Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Orang yang berhak memberikan informasi tersebut pun tak sembarang. Meski sedarah, Novi Cahyadi, kakak kopilot Lion Air Harvino yang belum jelas keberadaannya, harus menarik diri. Informasi DNA yang diperlukan untuk mengidentifikasi jasad pria 41 tahun tersebut hanya bisa didapat dari orangtua atau anak.
ADITYA DIVERANTA UNTUK KOMPAS–Proses identifikasi jenazah di Posko Ante Mortem Rumah Sakit Bhayangkara R Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur, Selasa (30/10/2018), terus menerima laporan dari pihak keluarga korban.
Rabu sore (31/10/2018), Novi mendampingi adik iparnya, Nia, yang membawa anak tertua Harvino, Khanza. Air muka di wajah putri delapan tahun tersebut tampak baik-baik saja. Namun, sang ibu menyatakan hal yang sebaliknya.
“Dia jadi lebih pendiam setelah diberi tahu apa adanya tentang peristiwa ini,” ungkap Nia dengan nada suara lemah.
Hasil pemeriksaan DNA dari tubuh Khanza bisa didapat minimal empat hari. Hasil tersebut baru akan berguna ketika jasad dengan DNA sama ditemukan. Setidaknya, masih ada waktu pencarian sebelum pelaksanaan Operasi DVI (Disaster Victim Identification) disudahi.
Sebuah keberuntungan justru lebih dahulu didapat korban bernama Jannatun Cintya Dewi (21). Jasadnya berhasil diidentifikasi melalui sidik jari dari lima jemari tangan kanannya yang masih utuh. Kondisi jasadnya dikatakan lebih baik daripada potongan tubuh di 48 kantong jenazah sampai pukul 15.00 hari ini.
“Syukur alhamdulilah, kondisinya agak lebih baik daripada temuan yang lain,” ujar Kepala Pusat Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis) Brigjen Pol Hudi Suryanto dalam konferensi pers yang berlangsung mulai pukul 19.00.
ERIKA KURNIA UNTUK KOMPAS–Kepala Pusat Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis) Brigjen Pol Hudi Suryanto.
Utuhnya jari memungkinkan tim Inafis menggunakan alat yang terkoneksi dengan data tunggal KTP elektronik dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Alat yang disebut Inafis portable tersebut kemudian memunculkan rekam 10 sidik jari, foto, hingga data kartu keluarga Jannatun.
“Untuk memastikan bahwa data ini akurat, kami harus membandingkan dengan sidik jari yang diambil lewat format AK23,” jelas Hadi.
Ia menjelaskan, berdasarkan ilmu sidik jari atau daktiloskopi, hanya perlu ada 12 titik persamaan untuk memastikan satu jari korban dengan data yang ada identik. Beruntungnya, pada jari telunjuk dan kelingking Jannatun ditemukan lebih dari 12 titik persamaan.
“Jadi, inilah keyakinan kami, mengapa dari sidik jari ini akhirnya teridentifikasi jenazah korban kecelakaan Lion Air tersebut. Kami juga meyakini, tidak satu pun dari 10 juta bahkan 100 juta orang memiliki sidik jari yang sama,” Hadi menyimpulkan. (ERIKA KURNIA)–ADHI KUSUMAPUTRA
Sumber: Kompas, 1 November 2018