Musawwir Muhtar (26), pemuda dari kampung yang menjelajah puluhan negara dan dianugerahi berbagai penghargaan terkait produk daun kelor dan pendampingan masyarakat, saat ditemui di Makassar, Jumat (14/12/2018).
Ketika bocah, Musawwir Muhtar (26), terbiasa berjalan kaki beberapa kilometer untuk sekolah. Sepulangnya, dia keliling kampung berjualan es lilin. Langkah kakinya belakangan terus membawanya jauh berkelana ke lebih dari 50 negara, mengikuti berbagai konferensi, pelatihan, juga menerima penghargaan. Dia ingin terus melangkah dan berdaya bersama warga.
Cekatan, pemuda kelahiran Rammang-Rammang, Maros, Sulawesi Selatan ini menunjukkan produk daun kelor dari telepon pintarnya. Morbi+ adalah nama produknya. Awi, panggilannya, menjelaskan seperti telah hapal di luar kepala tiga produk yang telah dibuat, yaitu Moringa Bar, Moringa Stick, dan Moringa Powder.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saat ini produk dijual di Belanda. Kebetulan kami kerja sama dengan sebuah perusahaan di sana yang membantu memasarkan di negara-negara Eropa. Untuk produksi kami hentikan dulu, karena rencananya akan dibawa kembali ke Indonesia,” tutur Awi, pekan lalu, di Makassar. Awi sempat memfokuskan pasar di Belanda saat dia dan rekannya melanjutkan pendidikan di negeri kincir Angin itu.
Morbi+ adalah nama produk Awi dan tiga rekannya. Diambil dari nama Moringa Biscuit Plus. Moringa merupakan nama ilmiah dari tanaman kelor, yang lalu dibuat menjadi biskuit untuk makanan segala umur, terutama untuk anak-anak.
Biskuit kelor pertama kali dijalankan Awi dan kawan-kawan pada 2013. Ini adalah produk perdana mereka. Bersama Sujardin Syarifuddin, Stella Alinesia, dan Yuni Setyaningsih, Awi terinspirasi untuk membuat kelor menjadi produk yang bisa dikomsumsi massal.
Ide itu datang dari pengalamannya semasa kecil. Orang tua di kampung biasa memberi nasihat untuk mengonsumsi kelor terutama pada ibu hamil. Selain itu, jika ada yang sakit mata, daun kelor juga menjadi obat alternatif.
“Dalam 100 gram serbuk daun kelor, kalsiumnya setara dengan lima gelas susu. Kandungan vitamin A nya lima kali lipat dari wortel, dan banyak lagi kandungannya,” cerita nominator Ashoka Young Changemaker 2012 ini.
Dari situ, lulusan Universitas Hasanuddin ini mengembangkan usaha berbasis kelor dengan membuat proyek percontohan di dua lokasi yaitu di Kabupaten Bone, dan Kabupaten Maros. Menggandeng ibu-ibu rumah tangga, mereka lalu membuat biskuit ini, dan dipasarkan secara lokal.
Di tahun yang sama, Awi dan rekannya mengikuti International Young Earth Solution Barilla Centre for Food and Nutrition di Milan, Italia. Mereka masuk dalam sepuluh besar, dan merupakan satu-satunya peserta dari Asia yang berhasil menembus babak itu.
“Kami memang membawa isu malnutrisi dan turunannya, yang mostly banyak ditemukan di negara berkembang, baik di Asia, Afrika, atau Amerika. Kecenderungannya negara-negara ini adalah negara tropis dan secara geografis cocok untuk tempat tumbuh kelor,” tutur Awi. “Kami tarik benang merahnya, kenapa negara-negara ini tidak memanfaatkan kelor untuk komsumsi rutin?”
–Musawwir Muhtar (26), lulusan Unhas, terus mengembangkan produk daun kelornya untuk memberi dampak yang besar ke masyarakat.
Dalam perjalanannya, karena kesibukan studi dan lainnya, produk mereka akan fokus kembali di Indonesia pada 2019 mendatang. Mereka juga telah merencanakan banyak hal untuk pengembangan produk dan usaha. Awi juga telah selesai menempuh studi Master of Animal Science di Mageningen University and Research, Wageningen, Belanda. Saat ini dia menjadi tenaga ahli di sebuah organisasi nirlaba yang berkantor pusat di Amerika Serikat.
“Tapi mimpi saya agar masyarakat, khususnya petani dan warga desa bisa lebih mendapatkan manfaat dari begitu banyak komoditas yang ada di sekitar kita. Banyak hal yang bisa diperbuat untuk kemajuan bersama,” katanya. Dia ingin merangkul masyarakat dan menjadikannya mitra yang setara. Dengan begitu, semuanya mendapatkan manfaat yang sama dan sejahtera bersama.
Menembus batas
Membuat produk berbasis penelitian ilmiah, kearifan lokal, dan potensi setempat, hanya satu dari berupa-rupa kegiatan Awi. Sejak 2011, hingga 2018 ini, dia rutin mengikuti berbagai konferensi, pelatihan, lomba, atau pertukaran pelajar. Serupa orang yang kehausan, dia ingin menelan banyak air pengetahuan dan pengalaman. Total 55 negara telah diinjaknya, di lima benua.
Langkah Awi sampai ke tahap ini lebih dulu dimulai dengan kegiatannya mendampingi anak-anak dan ibu-ibu pemulung. Sejak kuliah di Fakultas Peternakan Unhas, di 2011, dia menginisiasi gerakan peduli lingkungan bernama Laskar Pemulung. Kegiatan ini dibuatnya dalam rangka mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa.
Tidak berapa lama, dia mengikuti Indonesia Youth Conference di Jakarta. Di sinilah matanya terbelakak. Ilmu dan kemampuannya seakan-akan tidak ada artinya. Dia tertinggal jauh, utamanya dalam pengetahuan umum, dan bahasa.
“Saya kayak tidak ada apa-apanya. Tapi oke, pas pulang saya akan berbenah. Saya mulai belajar Bahasa Inggris sendiri. Tiap hari hapal 10 kata, begitu terus sampai lulus kuliah,” ungkapnya, terawa.
Kesempatannya melihat dunia yang lebih jauh datang pada 2013. Dia mengirimkan proposal untuk konferensi di Singapura dan terpilih. Kali pertama dia ke luar negeri. “Di situ modal nekat juga. Saya hapal presentasi, dan kemungkinan pertanyaan dalam Bahasa Inggris. Kalau ada diskusi terbuka saya hindari, ha ha.”
Kesempatan terus datang. Dalam jeda beberapa minggu, dia berkesempatan berkunjung ke Hongkong, juga Jepang. Kemampuannya terasah. Dia juga mengerti satu hal, bahwa dibutuhkan keberanian dan sedikit nekat untuk mengalahkan rasa takut. Saat melewatinya, semuanya akan jauh lebih baik.
Total, dalam dua tahun, dia mengunjungi belasan negara, termasuk AS. “Ini lifetime experience. Saya belajar banyak hal, dan meresapinya untuk diterapkan di kampung atau Indonesia,” ujarnya.
Pengalaman paling berkesannya saat menjadi peserta dalam Global Entrepreneur Summit, di AS, pada 2016 lalu. Dia seruangan dengan Barack Obama, Mark Zuckerberg, Larry Page, dan banyak lagi penguasa teknologi dunia. Dia juga berkesempatan untuk mempresentasikan produk daun Kelornya di hadapan beberapa tokoh penting ini.
Padahal, dia tidak pernah bisa membayangkan bisa berada di tahap ini. Dia adalah anak petani dari Dusun Rammang-Rammang, sekitar 45 km dari Kota Makassar. Saat SD, dia harus berjalan 2 km untuk mencapai jalan poros, lalu menumpang angkot atau mobil truk. Sepulangnya, dia ke sungai menangkap ikan untuk dijual. Saat subuh, dia bangun dan menjual ikan ke pengepul sebelum ke sekolah. Tidak hanya itu, dia juga berjualan es lilin berkeliling kampung. Dia senang menjalaninya.
Kedua orangtuanya tidak pernah menyuruhnya untuk berjualan. Hanya saja, dia sadar bahwa penghasilan keluarganya pas-pasan. Dia harus mencari penghasilan sendiri untuk jajan. Sedikit demi sedikit, jiwa bisnisnya juga terasah.
Di sisi lain, prestasinya terus bertahan. Dia selalu masuk tiga besar. Salah satu alasannya, dia telah membaca pelajaran SMP saat dia masih SD. Kesenangannya membaca membuatnya melahap buku apa saja. Namun, karena keterbatasan bacaan, dia hanya memiliki buku pelajaran lungsuran dari sepupunya.
“Saya baca buku pelajaran lebih dulu. Tapi Kalau baca Bobo, atau komik, malah saat SMA. Baru ada kesempatan baca dan beli, he he,” ungkapnya. Sulung tiga bersaudara ini ingin menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Bapak ibunya, yang hanya sampai Sekolah Rakyat (SD), mendukung impiannya.
“Saya terbiasa menempuh jalan berbeda, dan inimi jalanku. Tapi saya juga bukan siapa-siapa. Saya selalu merasa tidak bikin apa-apa, karena selalu saya kembalikan, apa yang sudah kamu lakukan?” papar Awi.
Musawwir Muhtar (26), pemuda dari kampung yang menjelajah puluhan negara dan dianugerahi berbagai penghargaan terkait produk daun kelor dan pendampingan masyarakat, saat ditemui di Makassar, Jumat (14/12/2018).
Musawwir Muhtar
Lahir: Maros, 8 Desember 1992
Pendidikan:
Master of Animal Science Wageningen University and Research, Belanda
Sarjana Peternakan Universitas Hasanuddin
Aktivitas
Co-Founder Morbi+
Penggagas Laskar Pemulung
Penghargaan
Indonesia Representative for Young Southeast Asian Leaderhip Initiative (YSEALI) Impact XL 2018 – Inlelake, Myanmar
Finalist of Philips Innovation Award 2017 – Rotterdam, The Netherlands
World Finlaist of GIST Tech-I Pitch Competition 2016 – Silicon Valley, USA
The 50 Most Influential Young People in Indonesia versi Climacteri
Young Southeast Asian Leadership Initiative (YSEALI) 2014 – University of Hawaii at Manoa, USA
Young Leaders for Indonesia (YLI) 2014 by McKInsey & Co.
The Winner of Youth Competition for Disaster Education (YCDE) by the Japan Foundation – Tokyo, Japan, dll
SAIFUL RIJAL YUNUS
Sumber: Kompas, 26 Desember 2018