Hingga saat ini, teori-teori ekonomi mainstream (arus utama) masih sangat sedikit memberikan perhatian terhadap nilai-nilai sosial dan ’sungkan’ menempatkan modal sosial sebagai determinan dari outcome ekonomi, baik dalam lingkup nasional maupun daerah, termasuk daerah perdesaan.
Salah satu model ekonomi menunjukkan hubungan positif antara modal dan output, yang diilustrasikan sebagai Q = f(K,L). Modal (K) dalam model fungsi produksi itu cenderung merupakan barang modal, seperti mesin
(modal fisik/material), lahan (modal natural), dan dana (modal finansial), sedangkan L tak lain adalah modal manusia. Modal sosial belum diperhitungkan.
Demikian pula model lain seperti model pertumbuhan Solow dan model ekuilibrium Walrasian, fokus pada variabel ekonomi semata. Padahal, modal sosial memiliki peran yang tak dapat dipandang sebelah mata dalam mengembangkan aktivitas ekonomi. Modal sosial merupakan aset kolektif dalam bentuk norma, nilai, keyakinan, rasa percaya, pengakuan timbal balik, jejaring, relasi sosial, dan institusi bersama yang memfasilitasi kerja sama dan aksi kolektif saling menguntungkan. ”Musim” mudik Lebaran merupakan saat tepat untuk menyemai kembali modal sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mobilitas antarwilayah membuat anggota keluarga atau komunitas di tempat asalnya harus terpisah jauh secara geografis dari orangtua, kerabat, handai taulan, dan kampung halamannya demi mencari penghidupan yang lebih baik. Oleh karena terpisah relatif jauh secara geografis, modal sosial mungkin saja ’menyusut’ sehingga perlu dipupuk kembali dengan mempererat tali silaturahmi saat mudik Lebaran.
Pertama, dengan menjalin kembali silaturahmi, rasa saling percaya dapat menguat kembali. Kedua, bagi kaum urban, pada satu sisi, mudik memungkinkan pengakuan atas keberhasilan pemudik bermigrasi ke kota atau ke daerah lain dengan bekerja atau berusaha hingga memperoleh status atau prestasi tertentu.
Menjadi orang sukses di kota tentu dapat menjadi kebanggaan bagi warga di kampung halamannya. Dengan mudik dapat diperoleh legitimasi sosial ini. Pada sisi lain, mudik secara implisit merupakan pengakuan bahwa kampung halaman menjadi bagian penting, bersejarah, dan tak terpisahkan serta dirindukan oleh para pemudik, baik karena keberadaan orangtua, kerabat, komunitas, maupun leluhurnya. Ketiga, dengan silaturahmi, terbangun (kembali) jejaring sosial antara pemudik dengan warga di kampung halaman, dalam lingkup yang berkembang dari tahun ke tahun.
Dampak ekonomi
Sudah diketahui secara umum, mudik memberikan dampak ekonomi, mulai lingkup nasional, daerah, hingga desa. Yang pasti para pemudik pulang kampung membawa sejumlah uang baik yang akan dibagi-bagi atau dibelanjakan. Berdasarkan estimasi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, sebanyak Rp 33,4 triliun dibelanjakan di daerah perdesaan selama libur Lebaran oleh sejumlah besar pemudik yang totalnya mencapai 23 juta orang (Kompas, 8/6/2019).
Bukan hanya desa atau kampung halaman yang menjadi destinasi mudik yang terdampak ekonominya, melainkan juga yang sekadar dilintasi pemudik, misalnya daerah perdesaan/perkotaan di sepanjang jalur pantura.
Bagi para pemudik berkendaraan pribadi dari Jabodetabek, jalur pantura menjadi favorit kedua setelah Jalan Tol Trans-Jawa. Toko dan gerai cendera mata (oleh-oleh), khususnya kuliner khas di sepanjang jalur ini, bahkan termasuk ”bawang merah Brebes” memperoleh peningkatan omzet pada musim mudik dan arus balik ini. Tempat peristirahatan di sepanjang jalan tol/arteri non-tol dapat dimanfaatkan menjadi etalase produk-produk unggulan daerah yang dilintasi.
Berdasar survei Kementerian Perhubungan, April 2019, sebanyak 14,6 juta (44 persen) penduduk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) mudik lebaran. Paling besar ke arah Jawa Tengah/DIY. Jabodetabek masih merupakan magnet ekonomi nasional terkuat. Sebagian lainnya mudik dari kota-kota besar seperti Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar menuju daerah-daerah di sekitanrya.
Sementara itu, di daerah perdesaan, beruntunglah desa-desa yang telah mengembangkan kawasan wisatanya karena dapat dipastikan jumlah pengunjung meningkat atau bahkan membeludak selama musim libur
Lebaran ini. Contohnya, Desa Ponggok di Kabupaten Klaten dengan obyek wisata tirtanya yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Ponggok atau Desa Kembanglangit di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dengan obyek ekowisata yang dikelola oleh kelompok swadaya masyarakat (KSM). Pada hari-hari libur Lebaran dari hari H sampai dengan H+5, jumlah pengunjung meningkat 5 hingga 10 kali lipat daripada hari-hari biasa di akhir pekan.
BUMDes Ponggok yang kini omzet usahanya mencapai Rp 15 miliar lebih per tahun, berawal dari modal sosial, di mana BUMDes diberi kepercayaan oleh pemerintah desa dengan difasilitasi hibah modal awal Rp 100 juta, yang kemudian didukung kontribusi urun modal (crowdfunding) dari ratusan warga desa sebagai investor yang juga mencerminkan kepercayaan publik terhadap BUMDes. Hasilnya, berkat BUMDes sebagai motor penggerak utama, Ponggok berubah status dari desa tertinggal menjadi desa mandiri (setingkat lebih tinggi dari desa maju).
Sebanyak 30 persen hasil usaha disetor ke pundi APBDes sebagai pendapatan Asli Desa (PADes), dan bahkan 10 persen hasil usaha untuk mem-back up premi BPJS warga desa. Padahal, BUMDes ini berdiri 2009, jauh sebelum hadirnya dana desa. Dus, tak dapat dimungkiri, bahwa modal sosial berperan besar dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi ataupun kemajuan desa itu.
Alhasil, daerah dan desa destinasi mudik yang relatif ’siap’ (sarana, prasarana, dan kelembagaan sosial ekonominya) serta dapat mengelola momentum libur Lebaran dengan baik dengan memupuk modal sosial dan modal ekonomi sekaligus dapat memperoleh manfaat lebih besar untuk mengembangkan (ekonomi) wilayahnya. Modal sosial yang kuat memungkinkan pertumbuhan ekonomi desa lebih cepat. Selanjutnya, desa-desa dengan modal sosial yang kuat ini akan menopang akselerasi pertumbuhan ekonomi daerahnya.
Wihana Kirana Jaya Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM
Sumber: Kompas, 14 Juni 2019