Mikroplastik dalam Tubuh Ikan yang Ditangkap di Selat Bali

- Editor

Jumat, 5 Oktober 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sampah plastik yang hanyut ke laut menimbulkan dampak lingkungan. Plastik ini akan berubah menjadi mikroplastik dan nanoplastik yang mengancam kehidupan biota laut, termasuk di Selat Bali. Peneliti Centre for Remote Sensing and Ocean Sciences Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana Bali menemukan mikroplastik dalam tubuh ikan yang ditangkap di Selat Bali.

Peneliti Centre for Remote Sensing and Ocean Sciences (CreSOS) Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana I Gede Hendrawan mengatakan, sampah plastik di laut sangat berbahaya bagi terumbu karang, ikan dan biota laut lainnya. Plastik memilik zat adiktif dan bersifat racun serta memiliki kandungan toxic.

AGUIDO ADRI UNTUK KOMPAS–Peneliti Centre for Remote Sensing and Ocean Sciences (CreSOS) Universitas Udayana Fakultas Kelautan dan Perikanan I Gede Hendrawan menjelaskan ancaman yang ditimbulkan dari mikroplastik, Kamis (4/10/2018), di Jakarta

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Mikroplastik ini menjadi makanan ikan-ikan kecil, lalu dimakan ikan besar. Dan manusia memakan ikan yang mengandung mikroplastik atau memakan racun,” kata Gede.

Dalam penelitiannya, Gede menemukan mikroplastik dalam tubuh ikan yang ia tangkap di Selat Bali. “Dari 50 ikan (yang ditangkap), persentase mikroplastik sebesar 80 persen,” kata Gede saat acara diskusi Audit Sampah 2018, Kamis (4/10/2018), di Jakarta.

Ia mengatakan, akan terus melakukan penelitian terkait bahaya mikroplastik terutama ikan yang terkontaminasi mikroplastik. Gede menuturkan, pengujian lebih lanjut adalah pengaruh sistem reproduksi ikan yang terdampak mikroplastik.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO (ICH)–Sampah Plastik Di Laut – Atraksi wisata bawah laut di Bangsring, Banyuwangi, Jawa Timur kerapkali terganggu oleh sampah plastik kiriman dari sungai. Perilaku jorok dan tak bertanggungjawab yang menempatkan sampah tak sesuai tempatnya mengganggu pesona bawah laut yang mulai menjadi destinasi ekowisata baru di ujung timur Jawa. Seperti tampak, Kamis (24/3) di Pantai Bangsring yang dikelola warga setempat.

Selanjutnya, pengujian terkait, ikan mengalami kesulitan nafas sehingga membuat ikan mati. Jika sistem rantai makan terganggu tentu menjadi kerugian besar untuk manusia. Menurut Gede, jika penelitian pada ikan yang terkontaminasi terbukti akan membuat sumber makanan Indonesia berkurang.

Sampah plastik yang mengapung di Samudera Pasifik bagian utara Khatulistiwa semakin luas, mencapai 1,6 juta kilometer persegi atau 12,5 kali luas Pulau Jawa. Sebagian besar masih berukuran makro sehingga bencana lebih besar bakal terjadi, saat plastik ini meluruh jadi mikro atau nano. (Kompas, 3/4/2018)

Berdasarkan Jurnal Science Universitas Georgia, Jenna Jambeck, 2015, yang dikutip Greenpeace, Indonesia masuk sebagai penyumbang sampak plastik terbesar kedua ke laut di dunia dengan perkiraan 0,48-1,29 juta metrik ton per tahun. Produksi sampah Indonesia mencapai 65 juta ton per tahun dan 16 persen diantaranya adalah sampah plastik.

Aksi peduli lingkungan
Greenpeace bersama beberapa komunitas lokal sebulan lalu melakukan aksi peduli lingkungan dengan membersihkan sampah di Pantai Kuk Cituis, Teluk Naga, Tanggerang; Pantai Pandansari, Bantul, DI Yogyakarta; dan Pantai Mertasari, Sanur, Bali.

Aksi mereka ini untuk mendukung inisiatif global #BreaksFreePlastic yang bertujuan untuk mendorong solusi berkelanjutan dalam penanganan sampah plastik dan pengurangan produksi plastik sekali pakai secara massal.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA (ZAK)–Ilustrasi: Pemulung mencari sampah yang masih layak di antara berbagai jenis sampah mengotori sisi selatan kawasan Pantai Padang, Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa (10/10/2017).

Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia Muharram Arha Rasyadi mengatakan, ada 797 merek sampah plastik yang ditemukan dari tiga lokasi tersebut. Terbanyak adalah 594 merek makanan dan minuman, 90 merek perawatan tubuh, 86 kebutuhan rumah tangga, dan lainnya sebanyak 27 merek. Total sampah yang terkumpul 10.594 kemasan.

“Setelah dikumpulkan, cukup banyak sampah plastik yang tidak lagi terlihat mereknya. Ini mengindikasikan, sampah tersebut sudah lama terbuang berada di lingkungan tersebut. Sampah plastik itu bisa berasal dari masyarakat sekitar dan dari tempat yang jauh terbawa arus,” kata Atha.

Aksi peduli lingkungan Greenpeace di tiga lokasi menunjukan, Pantai Mertasari (Bali) sebagai daerah yang penyumbang volume sampah plastik terbanyak yaitu 999 liter, disusul (Tanggerang) 660 liter, dan Pantai Pandansari Pantai Kuk Cituis (Yogyakarta) 594 liter.

Berdasarkan Jurnal Science Universitas Georgia, Jenna Jambeck, 2015, yang dikutip Greenpeace, Indonesia masuk sebagai penyumbang sampak plastic terbesar kedua ke laut di dunia dengan perkiraan 0,48-1,29 juta metric ton per tahun. Produksi sampah Indonesia mencapai 65 juta ton per tahun dan 16 persen diantaranya adalah sampah plastik.

Aksi peduli lingkungan Greenpeace di tiga lokasi menunjukan, Pantai Mertasari (Bali) sebagai daerah yang penyumbang volume sampah plastik terbanyak yaitu 999 liter, disusul (Tanggerang) 660 liter, dan Pantai Pandansari Pantai Kuk Cituis (Yogyakarta) 594 liter.

SEKAR GANDHAWANGI UNTUK KOMPAS–Salah satu peserta gerakan Menghadap Laut sedang membersihkan sampah di Pantai Ancol Timur, Jakarta Utara, Minggu (19/8/2018). Sebanyak 2,85 ton sampah berhasil dikumpulkan pada kegiatan ini.

Menurut Atha, kehadiran Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut belum tegas mendorong produsen untuk mengubah kemasan produknya menjadi dapat digunakan secara terus menerus atau diisi ulang.

“Bila kebijakan perusahaan dan pemerintah hanya sebatas daur ulang dan menggunakan plastik ramah lingkungan, maka target Indonesia untuk mengurangi 70 persen sampah plastik di lautan pada 2025 hanya sekadar angan-angan,” ujarnya.

Produsen mempunyai tanggung jawab besar untuk menyelesaikan masalah sampah plastik yang mereka ciptakan, sementara pemerintah harus tegas terhadap para produsen seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18. Kebijakan pemerintah sejauh ini, menurut Atha, belum kuat. (AGUIDO ADRI)–YOVITA ARIKA

Sumber: Kompas, 5 Oktober 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma
Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa
Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap
Di Balik Lembar Jawaban: Ketika Psikotes Menentukan Jalan — Antara Harapan, Risiko, dan Tanggung Jawab
Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan
Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara
Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya
Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Berita ini 18 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 12 November 2025 - 20:57 WIB

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Sabtu, 1 November 2025 - 13:01 WIB

Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa

Kamis, 16 Oktober 2025 - 10:46 WIB

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Rabu, 1 Oktober 2025 - 19:43 WIB

Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan

Minggu, 27 Juli 2025 - 21:58 WIB

Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara

Berita Terbaru

Artikel

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Rabu, 12 Nov 2025 - 20:57 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Okt 2025 - 13:23 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Sabtu, 18 Okt 2025 - 12:10 WIB

etika

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 16 Okt 2025 - 10:46 WIB