Mewaspadai Jatuhan Sampah Antariksa

- Editor

Kamis, 3 September 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Setiap benda yang mengorbit Bumi, termasuk sampah antariksa, pasti akan melintasi khatulistiwa. Indonesia, negara yang paling panjang dilintasi garis khatuslitiwa, berpotensi besar mendapat jatuhan sampah tesebut.

NASA—Satelit OGO-1 saat mengorbit. Satelit ini kini telah tidak aktif dan jatuh ke Bumi.

Setiap benda yang mengorbit Bumi, termasuk sampah antariksa, pasti akan melintasi khatulistiwa. Karena itu, Indonesia sebagai negara yang paling panjang dilintasi garis khatuslitiwa, baik darat maupun laut, berpotensi besar mendapat jatuhan sampah antariksa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sebuah bola berasap terlihat di atas langit Fa’a’a, Kepulauan Windward, Polinesia Perancis, pada Sabtu (29/8/2020). Meski hari masih terang, gumpalan asap itu terlihat jelas terbang melesat dengan kecepatan tinggi. Sesaat kemudian, gumpalan putih itu terpecah menjadi banyak bagian di langit.

Gambaran jatuhnya obyek langit itu dipublikasikan di media sosial Asosiasi Prosains Tahiti. Hingga kini, belum ada laporan apakah pecahan dari obyek langit yang terbakar itu sampai ke daratan atau melukai manusia.

KOMPAS/GOOGLE MAPS—Fa’a’a, kota di Polinesia Perancis, selatan Samudra Pasifik, menjadi kota terakhir terlihatnya gumpalan asap putih dari sampah antariksa satelit Orbiting Geophysics Observatories-1 (OGO-1) pada Sabtu (29/8/2020) siang waktu setempat atau Minggu (30/8/2020) subuh waktu Indonesia barat.

Bola berasap itu adalah bekas satelit Orbiting Geophysics Observatory 1 (OGO-1) milik Badan Penerbangan Antariksa Nasional Amerika Serikat atau NASA. Satelit OGO-1 ini diluncurkan pada 1964 utuk mempelajari magnetosfer Bumi, wilayah yang melingkupi planet Bumi dan dikendalikan oleh medan magnet Bumi.

OGO-1 beroperasi hingga 1969. Sejak saat itu, wahana ini diatur dalam mode siaga (standby) karena sudah tidak dapat mengirimkan data ilmiahnya ke Bumi. Sistem pendukung satelit ini akhirnya dimatikan penuh pada 1971 hingga membuatnya menjadi sampah antariksa yang terus mengorbit Bumi. Dia hanya menunggu waktu untuk jatuh atau masuk kembali ke atmosfer Bumi.

Keberadaan sampah antariksa satelit OGO-1 itu terdeteksi dalam Survei Langit Catalina (CSS) di Universitas Arizona, AS pada Selasa (25/8/2020). Lintasan obyek yang sangat kecil itu berpeluang besar menabrak Bumi. Temuan itu kemudian dikonfirmasi oleh Sistem Peringatan Akhir Tumbukan Asteorid ke Bumi (ATLAS) di Universitas Hawaii, AS.

NASA—Gambaran artis pada satelit OGO-1 saat mengorbit. Satelit ini kini telah jatuh kembali ke Bumi.

Dari perhitungan lebih akurat yang dilakukan Pusat Studi Obyek Dekat Bumi (CNEOS) di Laboratorium Propulsi Jet NASA dan dibandingkan dengan data Pusat Koordinasi Obyek Dekat Bumi Badan Antariksa Eropa (ESA), dipastikan obyek yang akan menubruk Bumi itu bukan asteroid, melainkan satelit mati OGO-1.

Ketika itu, OGO-1 yang memiliki bobot 487,2 kilogram diperkirakan akan jatuh di selatan Samudra Pasifik, tepatnya di perairan antara Tahiti dan Kepulauan Cook. Proses kejatuhan itu akan diawali dengan masuknya OGO-1 ke atmosfer Bumi pada Sabtu (29/8/2020) pukul 17.10 waktu pantai timur AS (EDT), pukul 11.10 waktu Tahiti, atau Minggu (30/8) pukul 04.10 WIB.

Sesuai prediksi, saat satelit ini jatuh atau memasuki atmosfer Bumi, dia akan terbakar dan terpecah menjadi beberapa bagian. Kondisi itu diyakini tidak akan mengancam penduduk Bumi di sepanjang jalur jatuhnya benda tersebut karena benda tersebut akan habis terbakar di udara. Ini adalah proses lazim dari masuk kembalinya satelit buatan manusia ke Bumi dan sudah sering terjadi.

Kasus sampah antariksa terakhir yang kejatuhannya ke Bumi cukup heboh terjadi pada 2 April 2018. Saat itu, Stasiun Luar Angkasa China Tiangong-1 yang sudah tidak berfungsi dan berbobot 8,5 ton juga jatuh ke selatan Samudra Pasifik. Meski demikian, tidak ada laporan bahwa jatuhan sampah antariksa itu melukai manusia.

Aman
Setiap benda yang mengorbit Bumi, termasuk satelit yang sudah mati atau sampah antariksa, pasti akan melintasi khatulistiwa sepanjang perjalanannya mengelilingi Bumi. Indonesia sebagai negara dengan wilayah darat dan laut terpanjang yang ada garis khatulistiwa memiliki potensi paling besar tertimpa jatuhan sampah antariksa.

”Probabilitas sampah antariksa melintasi Indonesia saat menjelang jatuh cukup tinggi,” kata Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, Minggu (30/8/2020).

Namun, karena wilayah lautan, hutan, maupun daerah tak berpenduduk lebih besar dari wilayah yang dihuni manusia, sebagian besar sampah antariksa itu akan jatuh di wilayah yang tidak berpenghuni. Belum lagi, banyak sampah antariksa itu tidak teridentifikasi karena habis terbakar di udara.

Selama 40 tahun terakhir, tahun 1980-2020 ini, pantauan Lapan menunjukkan setidaknya hanya ada lima laporan jatuhan sampah antariksa di dekat permukiman penduduk, yaitu di Gorontalo (1981), Lampung (1988), Bengkulu (2003), Selat Madura, Jawa Timur (2016), dan Sumatera Barat (2017).

LAPAN—Sampah antariksa berupa tangki bahan bakar roket milik Rusia yang jatuh di Gorontalo tahun 1981 (kiri) dan Lampung tahun 1988 (kanan).

Dalam kasus jatuhnya satelit OGO-1 tersebut, sampai saat ini belum ditemukan laporan adanya jatuhan benda langit di Indonesia. Kemiringan orbit satelit ini mencapai 55 derajat. Artinya, dia bergerak bolak-balik di antara 55 derajat lintang utara hingga 55 derajat lintang selatan. Kondisi itu membuat lintasan jatuhan OGO-1 bisa saja tidak melewati wilayah udara Indonesia.

Besarnya potensi mendapat jatuhan sampah antariksa itu membuat Lapan memiliki sistem yang memantau sampah antariksa yang berpeluang jatuh di Indonesia. ”Sampah antariksa yang dipantau Lapan adalah yang melintasi Indonesia pada ketinggian kurang dari 200 kilometer (km) dari permukaan tanah,” tambah Thomas.

Sebuah benda antariksa dikatakan jatuh jika dia masuk kembali ke atmosfer Bumi (atmospheric reentry) pada ketinggian sekitar 120 km dari permukaan Bumi. Pada ketinggian kurang dari 120 km itu, atmosfer Bumi menjadi lebih rapat. Dari ketinggian ini, obyek hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai ke permukaan Bumi.

LAPAN—Salah satu pemantauan benda jatuh yang dilakukan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Kedua benda yang terdeteksi tersebut melintasi angkasa Indonesia dengan ketinggian kurang dari 200 kilometer. Pemantauan dilakukan selama satu jam sebelum dan satu jam sesudah benda tersebut melintasi Indonesia.

Makin rendah ketinggian sebuah benda, makin singkat pula waktu dia jatuh ke Bumi. Sebagai perbandingan, benda pada ketinggian 1.000 km butuh ratusan tahun untuk mengorbit Bumi sebelum akhirnya jatuh ke Bumi. Namun, benda dengan ketinggian 500 km hanya butuh beberapa tahun dan benda di ketinggian kurang dari 200 km hanya perlu 1-2 hari sebelum jatuh ke Bumi.

Selain ketinggian awalnya, kecepatan sebuah benda jatuh ke Bumi juga ditentukan oleh koefisien balistik, yaitu besaran yang menggambarkan seberapa kuat obyek tersebut mengatasi hambatan di atmosfer. Benda dengan koefisien balistik besar cenderung makin lama di atmosfer.

Situasi itu membuat perhitungan kapan dan di mana jatuhnya benda antariksa itu di Bumi tidaklah mudah. Belum lagi, kerapatan atmosfer itu bersifat dinamis dan sulit diprakirakan. Akibatnya, rentang kesalahan titik jatuh benda antariksa di permukaan Bumi bisa mencapai ribuan kilometer. Sebagai gambaran, lanjut Thomas, sampah antariksa yang jatuh di Selat Madura pada 2016 itu semula diperkirakan jatuh di Samudra Hindia barat Sumatera.

Ancaman wahana
Jika sampah antariksa itu jatuh di wilayah yang dekat dengan permukiman penduduk, risikonya tentu mengancam keselamatan manusia di permukaan Bumi. Potensi bahaya lain muncul dari zat beracun dari sisa-sisa bahan roket kendali. Namun, kedua potensi bahaya ini relatif jarang dilaporkan karena peluang jatuhnya obyek antariksa di wilayah permukiman itu hingga kini sangat jarang.

Risiko bahaya lain berasal dari bahaya radiasi nuklir. Namun, ancaman ini juga jarang terjadi karena wahana antariksa yang menggunakan nuklir sebagai sumber dayanya umumnya beroperasi di wilayah luar tata surya, seperti sejumlah wahana ke Jupiter dan Saturnus. Penggunaan nuklir sebagai sumber daya itu untuk mengantisipasi makin lemahnya pengaruh Matahari.

Menurut Thomas, tidak ada cara khusus untuk melindungi Bumi dari sampah antariksa. ”Hal yang bisa dilakukan hanya memantau dan mengidentifikasinya asal obyek dan lintasan orbitnya,” katanya.

Untuk pemantauan sampah antariksa ini, Lapan tergabung dalam Jaringan Pemantau Antariksa (Space Surveillance Network) bersama Departemen Pertahanan AS. Pemantauan obyek-obyek kecil yang berpeluang menubruk Bumi itu dilakukan menggunakan teleskop optik ataupun radar landas Bumi yang di pasang di sejumlah belahan dunia.

Dikutip dari situs NASA, ada sekitar 500.000 keping puing atau sampah antariksa terlacak mengorbit Bumi pada 2013. Jumlah itu akan bertambah seiring waktu akibat makin banyaknya satelit yang diluncurkan ke luar angkasa.

Belum lagi, tren penggunaan satelit masa kini adalah satelit berjaringan, yaitu menggunakan sejumlah satelit mini yang digunakan untuk satu misi tertentu dan diterbangkan pada orbit rendah Bumi. Metode ini dianggap lebih murah dibandingkan meluncurkan satelit tunggal yang besar di orbit geostasioner Bumi. Metode ini diyakini akan menambah jumlah sampah antariksa di masa depan.

Sementara itu, data Museum Sejarah Alam (NHM), London, Inggris, menyebut, sejak satelit pertama ke luar angkasa, yakni Sputnik milik Uni Soviet (sekarang Rusia) pada 4 Oktober 1957, hingga kini sudah ada sekitar 2.000 satelit aktif dan 3.000 satelit yang sudah tidak berfungsi. Sebagian besar satelit yang mati itu masih tetap mengorbit Bumi.

KOMPAS/YULVIANUS HARJONO—Berbagai wahana antariksa Rusia, seperti Sputnik-1, satelit pertama di dunia yang mengorbit di luar angkasa, dipamerkan di Museum Antariksa Rusia.

Selain sisa satelit, puing itu juga berasal dari sisa peluncur yang ditinggalkan, buangan sisa-sisa misi, hingga bagian dari sebuah wahana yang hancur berkeping-keping. Sejumlah tabrakan antara satelit aktif dan puing atau satelit mati lainnya juga menambah makin banyak jumlah sampah antariksa.

Sejumlah peristiwa tabrakan yang menambah jumlah sampah antariksa antara lain tabrakan antara sebuah satelit Perancis yang dihantam puing-puing roket Perancis pada 1996. Puing roket itu meledak satu dekade sebelumnya.

Sementara pada 10 Feberuari 2009, satelit Rusia yang tidak berfungsi menabrak dan menghancurkan satelit komersial aktif milik AS, Iridium, hingga menghasilkan lebih dari 2.000 puing yang bisa dilacak keberadaannya. Adapun uji antisatelit China tahun 2007 yang dilakukan dengan menembakkan peluru kendali untuk menghancurkan satelit cuaca lama China menambah lebih 3.000 puing di luar angkasa.

Meski hanya puing yang kemungkinan berukuran kecil, sampah antariksa itu bergerak dengan kecepatan sangat tinggi hingga mencapai 28.000 km per jam atau 7,8 km per detik. Dengan kecepatan setinggi itu, meski hanya berupa cat wahana yang terkelupas, tetap bisa membahayakan wahana yang ada, khususnya wahana berawak, seperti Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), pesawat ulang alik, atau wahana kapsul yang mengirim manusia ke ISS.

”Risiko terbesar misi luar angksa berasal dari puing-puing yang tak terlacak,” kata ilmuwan NASA, Nicholas Johnson, yang dikutip dari situs NASA, 27 September 2013.

Kondisi itu membuat bahaya terbesar sampah antariksa adalah tabrakan dengan wahana antariksa lain yang masih aktif beroperasi, bukan pada manusia. Hingga kini, korban luka akibat sampah antariksa yang tercatat hanya satu orang di Oklahoma, AS, yaitu akibat jatuhnya puing roket Delta II pada 1997. Sementara itu, seorang warga Kazakhstan dilaporkan meninggal pada 2017 karena kebakaran hutan akibat jatuhan roket Rusia, bukan tertimpa puing roketnya langsung (Kompas, 3 April 2018).

Karena itu, kini sejumlah negara sedang mengembangkan misi untuk membersihkan sampah antariksa. Berbagai metode dikembangkan, seperti misi uji RemoveDebris yang diluncurkan Inggris pada 2018 untuk menjaring sampah antariksa. Sementara ESA mengembangkan misi ClearSpace-1 yang akan membersihkan puing-puing antariksa di orbit dan direncanakan diluncurkan pada 2025.

Meski berbagai metode pembersihan sampah antariksa itu masih membutuhkan pembuktian, situasi ini menyadarkan manusia bahwa mereka dituntut bertanggung jawab lebih dengan setiap sampah yang dihasilkannya. Salah pengelolaan sampah, termasuk sampah antariksa, akan berakibat kembali secara lebih fatal pada kehidupan manusia.

Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 2 September 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB