Program penurunan deforestasi dan degradasi hutan atau REDD+ Indonesia berjalan lamban. Meskipun demikian, Indonesia tergolong maju bersama Brasil, Guyana, dan Vietnam yang memiliki modal dasar lebih kuat daripada Indonesia.
REDD+ Indonesia yang memasuki tahap pembayaran di tingkat nasional ini masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah terkait implementasinya di daerah. Minimnya perhatian sebagian besar daerah serta kondisi/tipe hutan yang berbeda-beda tiap daerah menjadikan mekanisme REDD+ yang berbasis metode ilmiah ini sulit diukur dan diverifikasi.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN–Anak-anak rimba nyaman bermain dalam hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di luar janji pembayaran, REDD+ diperlukan Indonesia untuk memperbaiki tata kelola kehutanan. Dalam diksi pemerintah saat ini, perbaikan tata kelola kehutanan merupakan corrective action atau langkah koreksi untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan pada masa lalu.
”REDD+ kesempatan untuk perbaikan tata kelola hutan,” kata peneliti senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), Cynthia Maharani, Rabu (13/3/2019), dalam diskusi Pojok Iklim di Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta.
Perbaikan itu telah dilakukan Indonesia antara lain melalui penerbitan instruksi presiden tentang penundaan sementara pemberian izin baru (moratorium) izin kehutanan sejak 2011 hingga kini, serta terbaru moratorium izin perkebunan kelapa sawit sejak 2018. Ini memberikan nilai besar bagi Indonesia dalam perkembangan penerapan REDD+.
Dalam studi yang dilakukan CIFOR pada 2011 dan 2015, Indonesia bersama Vietnam, Brasil, dan Guyana masuk kategori negara yang memiliki perkembangan REDD+ signifikan di antara 13 negara yang memiliki kerja sama REDD+ dengan Norwegia. Catatannya, Vietnam memiliki kebijakan pembayaran jasa lingkungan jauh sebelum diperkenalkan REDD+, Brasil memiliki mekanisme Pendanaan Amazone (Amazone Fund), dan Guyana memiliki tekanan deforestasi/degradasi hutan yang rendah.
Meskipun studi dilakukan pada 2015, Cynthia mengungkapkan hasilnya masih relevan dalam perkembangan terkini, kecuali untuk Brasil yang mengalami pergantian pemerintahan dengan orientasi lain.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Salah satu sesi diskusi pojok iklim yang digelar mingguan secara rutin oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Saat itu, Rabu (13/3/2019), diskusi mengangkat topik REDD+.
Menurunkan emisi
Belinda Arunarwati Margono, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menambahkan, REDD+ amat penting bagi perbaikan tata kelola hutan. Di sisi lain, REDD+ membantu Indonesia mencapai penurunan emisi seperti yang telah dijanjikan kepada dunia melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).
Ia mengatakan, penurunan emisi dari sektor kehutanan—dengan menekan deforestasi dan degradasi hutan—mencapai 17,2-23 persen dari janji penurunan emisi 29-41 persen. Artinya, apabila sektor kehutanan dapat menurunkan deforestasi dan degradasi hutan, sekitar 60 persen dari janji itu bisa dipenuhi.
Kabar baiknya, Indonesia mencapai fase baru tahapan REDD+ dalam kaitan kerja sama dengan Norwegia yang dibangun melalui letter of intent sejak 2010. Menurut siaran pers KLHK pada 16 Februari 2019, saat pertemuan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia Siti Nurbaya Bakar dan Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia Ola Elvestuen, diumumkan kedua negara menyetujui aturan pembayaran berbasis hasil dari Norwegia ke Indonesia untuk pengurangan emisi.
Belinda mengatakan, fase tersebut akan dilakukan dengan sejumlah tahapan uji coba. Hal ini karena perkembangan implementasi REDD+ di daerah (subnasional) berbeda-beda. Contohnya, REDD+ di Kalimantan Timur sangat baik karena didukung dan didampingi sejumlah pemangku kepentingan, sedangkan di beberapa provinsi masih dalam tahap persiapan.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 13 Maret 2019