Debat calon presiden yang berlangsung pada Minggu (17/2/2019) malam menyisakan kekecewaan sejumlah pihak. Salah satunya karena tidak disinggungnya soal polusi udara yang dinilai strategis dan vital bagi kebutuhan hidup masyarakat atas lingkungan yang sehat.
Dalam debat yang mengambil tema infrastruktur, pangan, energi, lingkungan hidup, dan sumber daya alam tersebut terdapat beberapa tema yang sebenarnya bersinggungan dengan isu pencemaran udara. Antara lain, isu kebakaran hutan dan lahan dan kegiatan pencemaran perusahaan-perusahaan besar. Namun pembahasan tak menyentuh pada isu polusi udara.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Aktivis yang menamakan diri Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) menggelar aksi di Bundaran HI, Jakarta, Rabu (5/12/2018). Dalam rangkaian aksinya, mereka juga mengajukan notifikasi gugatan warga negara kepada tujuh tergugat, yaitu Presiden, Menteri LHK, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten sebagai bentuk kekecewaan kepada pemerintah yang dinilai lalai menangani polusi udara di Jakarta. Melalui gugatan tersebut, diharapkan pemerintah dapat menerbitkan strategi dan rencana aksi yang jelas soal pengendalian pencemaran udara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ini membuat kecewa masyarakat pecinta lingkungan yang tergabung dalam Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (IBUKOTA). Mereka menyayangkan hasil debat ke-2 calon presiden ini tak menyinggung isu polusi udara sama sekali.
“Dari debat semalam (Minggu malam), kita bisa melihat bahwa isu polusi udara sejak jaman kapan tidak pernah jadi prioritas. Berapa kali ganti presiden isu polusi udara tetap tidak diperhatikan. Padahal menghirup udara bersih dan sehat adalah hak,” kata Bondan Andriyanu, perwakilan IBUKOTA yang juga Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Senin (18/2/2019), dalam pernyataan tertulis IBUKOTA.
Kenyataan ini bukan tanpa alasan. Dalam catatan IBUKOTA, proses perubahan baku mutu udara ambien oleh pemerintah sudah memakan waktu hampir 10 tahun. Padahal dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terdapat kewajiban mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) baru yang mengatur baku mutu udara ambien.
Baku mutu udara ambien selama ini diatur dalam PP Nomor 41 Tahun 1999 yang sudah berumur 20 tahun. Semua unsur yang dianggap aman pada PP tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan parameter baru yang ada, bahkan yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Seharusnya capres juga memaparkan program yang komprehensif soal lingkungan, termasuk polusi udara. Karena aturan yang ada sekarang sudah tidak sesuai dengan kondisi terkini, apalagi teknologi berubah dan riset soal polusi yang ada semakin banyak, konsentrasi pencemaran udara yang dulu dianggap aman sudah tidak aman” ungkap Fajri Fadhillah, peneliti Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) yang juga perwakilan IBUKOTA lain.
Angka kematian
Dalam laporannya pada 2017, WHO mencatat kematian tertinggi akibat polusi udara berada di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di Indonesia, angka kematian akibat polusi udara lebih dari 60.000 kasus per tahun.
Jakarta misalnya, kerap masuk dalam peringkat atas, kota dengan kadar polusi udara tinggi dalam perhitungan Air Visual. Sumber polusi udara bukan hanya dari kendaraan bermotor, tetapi juga dari sejumlah sumber lain seperti pembakaran sampah, industri, dan pembangkit listrik tenaga batu bara.
“Kecewa bahwa isu lingkungan urban seperti pencemaran udara dari sumber energi sama sekali tidak diangkat. Padahal sepanjang tahun 2018 media ramai memberitakan isu pencemaran udara di Jakarta dan Palembang menjelang Asian Games. Apalagi, pencemaran udara dari energi fosil mengancam kesehatan dan produktivitas masyarakat,” kata Adhityani Putri, Direktur Yayasan Indonesia Cerah, yang juga tergabung dalam gerakan ini.
Polusi udara dinilai merupakan ancaman kesehatan nyata yang membahayakan kualitas manusia Indonesia di masa kini dan mendatang. Apabila ini terlambat disikapi, masyarakat dan masa depan bangsa Indonesia yang akan menanggungnya.
“Siapapun presidennya seharusnya memprioritaskan hal ini demi kepentingan masyarakatnya,” kata Dwi Sawung, Manajer Kampanye Perkotaan, Tambang dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 18 Februari 2019