Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Jawa Timur, meluncurkan dan menguji coba purwarupa mesin cetak braille ke-4. Purwarupa mesin cetak braille itu sudah siap ditawarkan ke investor untuk produksi massal. Mesin tersebut dibutuhkan guna menunjang proses belajar-mengajar siswa tunanetra di sekolah luar biasa.
Ketua Tim Braille ITS Tri Arief Sardjono, mengatakan, pihaknya akan segera berkonsultasi dengan Direktorat Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi, Direktorat Jenderal Penguatan Inovasi – Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Dengan begitu, purwarupa mesin cetak braille ITS bisa dikenalkan Kemristek dan Dikti ke Kementerian Perindustrian.
Tahun ini, Tim Braille ITS, yang tim intinya beranggotakan tiga dosen Fakultas Teknik Elektro ITS, berencana terus mengembangkan teknologi industri mesin cetak braille. Sementara di tahun 2018, mereka berencana menggodok standardisasi produksi massal sembari terus menggaet investor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mesin cetak braille ITS diharapkan bisa diproduksi massal mulai 2019,” ujar Tri saat uji coba mesin cetak braille ITS di Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa-A Yayasan Pendidikan Anak-anak Buta (SMPLB-A YPAB) Surabaya, Kamis (23/11).
“Mesin cetak braille ITS diharapkan bisa diproduksi massal mulai 2019.”
Kompas/Ryan Rinaldy (ADY)–Siswa Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa-A Yayasan Pendidikan Anak-anak Buta (SMPLB-A YPAB) Surabaya, Jawa Timur, tengah membaca lembaran berisi huruf braille yang baru dicetak purwarupa mesin cetak braille buatan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kamis (23/11). Purwarupa mesin cetak braille itu memiliki kecepatan cetak 400 karakter per detik atau 1.200 halaman per jam.
Targetnya, kata Tri, mesin cetak braille ITS bisa dimanfaatkan SLB negeri atau swasta Indonesia. Berdasarkan Data Referensi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada 2.230 SLB negeri dan swasta di Tanah Air. Tak hanya itu, pihak lain seperti Balai Penerbitan Braille Indonesia dan Yayasan Penyantun Wiyata Guna dinilai juga berpotensi menjadi calon pembeli inovasi itu.
Menurut Tri, kebutuhan mesin cetak braille mendesak karena banyak mesin cetak braille hasil bantuan Pemerintah Norwegia pada tahun 1998, yang tersebar di sejumlah sekolah luar biasa (SLB), rusak. Sementara suku cadang untuk memperbaiki mesin itu sulit didapat.
Pada 2012, ITS memperbaiki 200 mesin cetak braille asal Norwegia yang rusak di 46 lokasi di lima pulau besar Indonesia. Setahun kemudian, ITS bekerja sama dengan Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah –Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mulai melakukan penelitian awal untuk mengembangkan purwarupa mesin cetak braille serupa.
Sebanyak tiga mesin cetak braille ITS telah dihibahkan ke SLB negeri di Ambon (Maluku), Jayapura (Papua), serta Pangkal Pinang (Bangka Belitung), pada 2015. Mesin itu memiliki kecepatan cetak 400 karakter per detik atau 1.200 halaman per jam.
Mandiri
Rektor ITS Joni Hermana menuturkan, komponen suku cadang yang digunakan dalam mesin cetak braille ITS 90 persen buatan lokal. Dengan begitu, perawatan dan perbaikan lebih mudah dilakukan dibandingkan menggunakan mesin cetak braille dari luar negeri.
“Dengan adanya mesin cetak braille ITS, kita bisa mandiri dan tidak tergantung dengan mesin cetak braille luar negeri,” ucap Joni.
“Dengan adanya mesin cetak braille ITS, kita bisa mandiri dan tidak tergantung dengan mesin cetak braille luar negeri.”
Pihak SLB diperkirakan bisa memperoleh mesin tersebut dengan harga yang lebih murah jika dibandingkan dengan produk luar negeri. Mesin itu bisa mencetak buku atau bahan ujian braille untuk menunjang proses belajar-mengajar di SLB.
Kepala SMPLB-A YPBA Surabaya, Eko Purwanto menyatakan, mesin cetak braille bantuan Pemerintah Norwegia kerap rusak sehingga menghambat kegiatan mencetak buku braille untuk siswa.
“Sementara buku braille masih belum banyak dijual di Indonesia. Mesin cetak braille lokal rasanya akan lebih mudah diperbaiki jika ada masalah sehingga hambatan percetakan bisa berkurang,” kata Eko.–RYAN RINALDY
Sumber: Kompas, 24 November 2017